Upaya untuk menguatkan paham pluralisme saat ini kian menguat. Paham yang menganggap semua agama sama ini memang senantiasa digaungkan terutama di negeri-negeri kaum mulimin. Bukan tanpa alasan hal ini dilakukan. Orang-orang yang mengusung ide ini beranggapan hanya Islam yang tidak mau mengambil paham ini. Itu sebabnya paham ini sangat gencar dijajakan ke berbagai negeri kaum muslimin.
Masif dan Progresif
Jika menilik peristiwa yang terjadi belakangan di Indonesia, maka beberapa peristiwa yang terjadi sebenarnya menggambarkan betapa gencarnya paham ini disuarakan. Peristiwa pertama adalah digantinya frasa agama dalam PJPN 2020-2035 dengan frasa akhlaq dan budaya adalah salah satu contohnya. Frasa akhlaq dan budaya dianggap bisa menggantikan kata agama.
Ajaran agama (terutama Islam, red) cukup diwakili dengan kata akhlaq. Padahal akhlaq hanyalah sebagian saja dari ajaran Islam. Demikian pula ketika kata akhlaq disandingkan dengan kata budaya. Seolah kedudukan akhlaq yang merupakan ajaran agama Islam itu sama dengan hasil budaya manusia. Meski sudah direvisi, setidaknya peristiwa ini bisa memberikan gambaran kepada kaum muslimin betapa halusnya cara-cara yang dilakukan untuk menanamkan paham ini.
Contoh lain adalah permintaan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Puan Maharani, agar masjid Istiqlal setelah selesai di renovasi, bisa semakin menjadi pusat kajian dan dakwah Islam, serta pusat religi umat Muslim di seluruh dunia. Puan juga menginginkan agar masjid ini bisa menjadi wajah bagi umat non-Muslim mempelajari Islam Indonesia yang moderat dan cinta toleransi serta perdamaian. Demikian dilansir cnnindonesia.com.
Merespon hal tersebut, pembelaan kaum muslimin lebih menunjukkan kesan defensif apologetik. Jika dicermati pernyataan Puan ini terkesan menegasikan fungsi masjid. Masjid sebagai tempat ibadah umat Islam yang suci. Islam memiliki pengaturan tersendiri, siapa yang boleh masuk, bagaimana cara menghormati dan memakmurkannya, bahkan Islam mengatur doa saat masuk dan keluar masjid dan juga detil-detil lain terkait bangunan masjid itu sendiri. Yang jelas masjid sebagai tempat ibadah umat Islam ini berbeda secara diametral dengan keberadaan temapat ibadah umat lain yang bisa diatur sesuai kehendak pihak-pihak yang berkepentingan. Jadi memposisikan masjid sebagaimana tempat ibadah umat lain, jelas merupakan bentuk penanaman paham pluralisme.
Penanaman paham seperti ini memang sudah lama dilakukan sehingga mengubah sedikit demi sedikit pemahaman kaum muslimin. Yang sering dinarasikan adalah ajaran Islam yang selalu dianggap intoleran. Harapannya kaum muslimin merubah sikapnya menjadi lebih toleran, lebih toleran dan lebih toleran lagi. Hingga akhirnya kaum muslim mengikuti pemikiran mereka. Keadaan ini persis sebagaimana yang digambarkan dalam hadits Nabi yang di riwayatkan dari Abu Said Al Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun kalian pasti akan mengikuti mereka. Kami bertanya; Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab: Siapa lagi kalau bukan mereka? (HR Musim Shahih)
Pluralisme: Propaganda Barat
Pluralisme sebagai sebuah paham yang menganggap semua agama adalah sama, telah ditolak secara jelas oleh MUI sejak tahun 2005. Melalui fatwanya nomor 7/Munas VII/MUI/11/2005, MUI menegaskan bahwa pluralisme agama hukumnya haram. Pluralisme agama bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Pluralisme agama telah lama dipropagandakan di tanah air. Ahmad Wahib dianggap sebagai salah tokoh generasi awal pengusung pluralisme agama di Indonesia. Sejak itu, propaganda pluralisme agama tak pernah berhenti hingga kini. Umumnya propaganda pluralisme agama ini dilakukan oleh kaum liberal.
Bukan tanpa alasan, sebab pluralisme ini memang tidak memiliki akar sosio historis dengan ajaran Islam. Istilah pluralisme agama diperkenalkan secara sistematik oleh John Hick lewat karyanya An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent. Fakta sejarah membuktikan bahwa agama Kristen adalah agama dominan di Barat.
Paham ini kemudian muncul di Barat yang saat itu sempat mengalami trauma konflik antara Kristen Katholik dan Protestan dan juga Ortodoks. Peristiwa yang dikenal dengan The St Bartholomeus Days Massacre di Paris tahun 1527 telah mengilhami revisi teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965) yang sebelumnya menyatakan bahwa tidak ada keselamatan di luar gereja. Jadi jelaslah bahwa paham ini justru diimpor dari setting sosio historik kaum Kristian di Eropa.
Ternyata, dalam pelaksanaannya, gereja tidak konsisten. Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentu gereja perlu menganggap agama Islam juga benar. Faktanya, gereja terus saja melakukan kristianisasi terhadap umat Islam. Kalau mereka mengakui pluralisme, maka agama Islam harus dianggap benar pula. Faktanya tidak demikian.
Lebih jauh paham ini justru digunakan sebagai senjata untuk mempengaruhi dan melemahkan pemikiran kaum muslimin. Nilai-nilai seperti kebebasan beragama, berekspresi dan berpendapat yang berkembang seiring dengan proses demokratisasi di negeri-negeri kaum muslimin mempermudah masuknya paham ini. Bagaimanapun pluralisme, sekulerisme dan liberalisme selalu berkelindan dengan nilai-nilai demokrasi. Maka tak heran bila dalam sebuah negara yang demokratis, paham pluralisme tumbuh dengan subur.
Menyikapi Pluralisme
Seorang muslim jelas harus memiliki sikap terhadap pemahaman dari barasal dari Barat ini. Sebab paham ini jelas bertentangan dengan aqidah Islamiyah. Pengakuan bahwa semua agama sama jelas itu bertentangan dengan Al Quran itu sendiri. Allah swt berfirman
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (QS. Ali Imran: 19)
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
“Maka mengapa mereka mencari agama yang lain selain agama Allah, padahal apa yang ada dilangit dan di bumi berserah diri kepada-Nya, (baik) dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada-Nya-lah mereka dikembalikan ?” (QS. Ali ‘Imran: 83)
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85)
Di sisi lain paham ini juga mengatakan bahwa kebenaran itu relatif. Ini juga tidak bisa diterima dalam Islam. Bahkan bertentangan secara jelas dengan firman Allah swt:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. AL Baqarah: 147)
Karenanya, seorang muslim harus memahami dengan benar definisi plurlisme, membedakannya dengan pluralitas yang diakui Islam dan bagaimana ajaran Islam menuntun umatnya dalam memperlakukan umat yang lain. Dengan demikian, kaum muslimin tidak akan tergelincir dengan pemahaman ini. Wallahu alam bis showwab.
Penulis: Kamilia Mustadjab
0 Komentar