Muaragembong Satu Bulan Terendam Banjir, Bukti Abainya Penguasa

 


 Bencana banjir di penghujung bulan Februari melanda hampir seluruh wilayah di Kabupaten Bekasi. Banjir tahun ini merupakan yang paling parah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Curah hujan yang tinggi mengakibatkan banyak tanggul penahan air jebol sehingga air meluap ke pemukiman warga. Naasnya, wilayah Kecamatan Muaragembong, Kabupaten Bekasi mengalami kondisi yang lebih parah. Sebelum wilayah lain terdampak, Kecamatan Muaragembong sudah 25 hari terendam banjir, hampir satu bulan. Warga mau kemana-mana susah, harus pakai perahu, karena kondisi banjir hampir sepinggang orang dewasa. Bapak Ahmad Hasan (40), warga setempat menerangkan kepada Sindonews.com (25/2/2021). 


Terjadi pengedapan pada mulut Sungai Citarum yang mengakibatkan air tidak mengalir ke laut dan meluap ketika curah hujan tinggi. Selain itu, absennya turap dan rapuhnya tanggul penahan di sepanjang aliran sungai menyebabkan air mudah masuk merendam pemukiman. Hingga Rabu, 3 Maret 2021, Wartakotalive.com memberitakan kondisi wilayah di Kecamatan Muaragembong, khususnya di Desa Pantai Harapan Jaya, warga harus menggunakan sampan untuk beraktivitas. Sayangnya, tidak semua warga memiliki sampan sehingga masih banyak yang terpaksa menerjang air dengan tubuhnya. Beberapa penyakit kulit di area kaki bermunculan karena terlalu lama terendam air kotor.


Sedikitnya, 200 warga di wilayah Muaragembong terdampak banjir. Sekretaris Desa Pantai Harapan Jaya, Deden Denas Febriansyah berharap pemerintah dapat memberikan penanggulangan banjir jangka panjang (Sindonews.com, 25/2/2021). 


Sementara itu Camat Muaragembong, Lukman Hakim, telah menyampaikan laporan kepada Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC) Jawa Barat agar bisa segera merealisasikan rencana perbaikan tanggul sungai. Tahun lalu, BBWSC bersama DAOP PT KAI, Perum Jasa Tirta, dan Forkopimda Kabupaten Bekasi menyepakati rencana perbaikan tanggul di 13 titik yang berpotensi jebol (Antaranews.com, 4/2/2021).


Musibah banjir yang menimpa wilayah Muaragembong seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah baik daerah maupun pusat. Meskipun bantuan swasta kerap hadir untuk meringankan beban para korban, namun warga tidak bisa selamanya mengandalkan bantuan. Masalah banjir ini akan terus berulang dan semakin parah bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Ironisnya, permohonan baik lisan maupun tulisan kepada pemerintah seolah menguar begitu saja. Tidak ada realisasi konkret atas permohonan yang telah diajukan.

 

Hal ini menunjukkan bahwa keselamatan warga tidak dijamin oleh penguasa. Warga diminta bertahan dengan kaki dan tangannya sendiri dalam tingginya arus bercampur air kotor. Kejadian ini menambah rentetan panjang PR penguasa dalam menjalankan sistem kenegaraan. Sesungguhnya, menjalankan negara dengan sistem kapitalisme-demokrasi tidak akan memberikan dampak signifikan dalam pemenuhan hak rakyat. Jangankan untuk keadaan luar biasa seperti bencana alam, sampai saat ini saja negara belum mampu memenuhi hak pokok warganya seperti sandang, pangan, dan papan. 


Sistem positif saat ini meniadakan peran negara sebagai pengayom rakyat. Struktur kenegaraan dibuat hanya sebagai regulator kebijakan, yang seluruh keputusannya ditetapkan berdasarkan kepentingan pemegang modal tertinggi. Dengan adanya peran dari pemilik modal, pemerintah tidak punya waktu untuk memikirkan kepentingan warganya, karena kebijakan pemerintah akan disetir oleh kepentingan pemilik modal. Alhasil, solusi dari setiap permasalahan hanyalah tambal sulam. 


Biaya yang dikeluarkan dan juga kualitas penanganan terkesan ala kadarnya. Setelahnya, pemerintah dapat berdalih di balik alibi penanganan bertahap. Seolah segala sesuatu yang bertahap itu telah menunjukan komitmen Pemerintah dalam mengakomodir keluhan warga. Padahal, dalih tersebut tidak lebih dari pengaburan fakta atas ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaikan masalah secara cepat dan tuntas. Berbelitnya regulasi juga menjadi alasan lain yang menyebabkan warga sulit mendapatkan jawaban jelas atas keluhannya. 


Semua ini terjadi karena negara berkiblat pada aturan yang dibuat oleh manusia. Seolah-olah regulasi yang dibuat telah paten dan terbaik, padahal hanya mempersulit warga semata. Semua kebobrokan yang telah dipaparkan tidak akan terjadi bila sistem Islam dijadikan pedoman dalam bernegara. Berikut ini, cara-cara negara Islam menangani banjir: 


Pertama, pada kasus banjir seperti yang terjadi di Muaragembong karena adanya keterbatasan daya tampung air akan disikapi oleh Khalifah (pemimpin negara Islam) dengan upaya membangun bendungan. Bendungan yang dibangun harus memenuhi syarat layak guna. Setiap insinyur muslim akan dikerahkan untuk membuat desain bendungan terbaik demi kebermanfaatan ummat. Para insinyur tidak melakukan hal tersebut karena pesanan segelintir kelompok atau hanya untuk mencari keuntungan. Karena dalam negara Islam, para insinyur sudah tercukupi kebutuhan pokoknya tanpa perlu menjual hasil karyanya. Selain itu, proses pendidikan di negara Islam mengedepankan dasar aqidah yang kuat sehingga tidak akan menciptakan ahli ilmu yang mudah tergoda oleh gemerlap dunia. 


Kedua, negara tidak akan menahan pengeluaran biaya bila itu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan warga, karena negara Islam memiliki pengelolaan keuangan yang baik dan mandiri. Negara Islam tidak memiliki beban utang luar negeri yang membuat harus patuh pada kebijakan moneter luar negeri. Negara juga tidak terikat pada penanaman modal segelintir kelompok, sehingga tidak akan ada pihak yang menyetir arah kebijakan. Kas negara terkelola dengan baik di Baitul mal yang bersumber dari pengelolaan sumber daya alam, infaq para aghniya (orang kaya), keuntungan transaksi ekspor yang halal, dan masih banyak lagi.


Ketiga, negara Islam akan memetakan daerah rawan banjir dan selanjutnya membuat kebijakan melarang warga membangun pemukiman baru di wilayah tersebut. Bila kondisi wilayah tersebut telah terdampak parah, negara akan mengevakuasi warganya ke lokasi yang lebih aman dan berusaha menanggulangi penyebab terjadinya banjir. Dalam Islam, tempat tinggal bukan merupakan komoditas bisnis melainkan kewajiban yang harus dipenuhi negara atas setiap warganya. Menyediakan rumah layak huni, bahkan dapat juga memberikan kompensasi pada masyarakat adalah kewajiban penguasa Muslim. 


Keempat, negara Islam akan membuat resapan-resapan air baru dan mengalirkannya ke tempat yang aman sesuai perencanaan dari para ahli untuk memecah penumpukan volume air. Kelima, negara Islam akan memaksimalkan pengelolaan sumber daya alam yang merupakan kepemilikan bersama, seperti sungai, danau, dan laut. Negara akan membersihkan secara berkala sumber daya alam tersebut agar tidak terjadi pendangkalan akibat endapan.  Negara juga menetapkan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang mengotori atau mencemari sungai, danau, dan laut.

Keenam, negara Islam menerapkan kebijakan pembangunan yang tegas. Pembukaan lahan dan pembangunan harus memerhatikan drainase, resapan air, karakteristik tanah dan topografi, sebelum izin mendirikan bangunan keluar. Dalam negara Islam, pihak yang melanggar aturan pembangunan akan diberikan sanksi tegas tanpa pandang bulu dengan tidak dikeluarkannya izin mendirikan bangunan karena negara menerapkan kaidah fikh al-adlaru yuzaalu (bahaya itu harus dihilangkan).


Terakhir, negara Islam akan menyediakan tempat pengungsian, pakaian, makanan, dan obat agar korban bencana tidak semakin menderita akibat tempat istirahat kurang memadai, kelaparan, atau penyakit. Negara akan membina warga yang terdampak bencana dengan mendatangkan para ulama agar keimanan para korban tetap terjaga sehingga dapat menyikapi musibah dengan tabah, tawakal kepada Allah Ta’ala, dan dapat mengambil ibroh dari apa yang menimpa mereka. Inilah kegemilangan negara Islam dalam mengatasi banjir. Dengan kembalinya negara, pemimpin, dan masyarakat pada sistem Islam, maka masalah banjir dapat diatasi secara tuntas. Wallahu a’lam bishshawab.


Oleh Ainani Tajriyani, S.Farm. (Aktivitas Dakwah)



Posting Komentar

0 Komentar