Pasca Banjir Petani Bekasi Merugi, Asuransi Pertanian Diklaim Jadi Solusi?

 


 Sepertinya masyarakat masih harus disuruh bersabar. Pasca banjir yang tak hanya melanda wilayah ibu kota tapi juga kabupaten di Bekasi, Jawa Barat. Berdampak pada kerugian sosial dan ekonomi masyarakat. Hampir seluruh sektor bidang usaha yang menjadi mata pencaharian semakin sulit, ekonomi masyarakat kian terpuruk, jumlah pendapatan merosot sementara kebutuhan setiap hari harus tetap dipenuhi. 


Tak terkecuali usaha di sektor pertanian banyak petani yang mengeluhkan jika tahun ini mereka gagal panen di awal musim akibat banjir yang merendam areal persawahan. Ditaksir ada sekitar 21.000 ha areal persawahan yang terendam banjir dengan kalkulasi biaya kerugian mencapai 500 miliar. 


Jumlah ini belum termasuk wilayah di bagian Utara. Hampir 19.000 ha sawah terendam akibat luapan air yang berasal dari sungai Citarum, Cibeet, Ciherang, Kali Sadang, Kali Jambe, CBL dan juga kali Bekasi yang membuat lebih dari 8.000 terpaksa di evakuasi sekalipun ada sebagian warga yang menolak. 


Nasib petani bak sudah jatuh tertimpa tangga. Mereka tak hanya gagal panen kondisi malang yang melingkari petani manakala petani juga mengalami kesulitan mendapatkan bibit dan pupuk yang jauh lebih murah. Sektor pertanian yang digadang-gadang menjadi sektor strategis di negara agraris nyatanya masih kelimpungan dalam hal pengadaannya. 


Tentu ini berbanding terbalik dengan jargon pemberdayaan UMKM yang terus diumbar. Kenyataanya sektor pertanian semakin kritis. Harapan pemberdayaan UMKM sektor pertanian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup para petaninya tidak dibarengi dengan keseriusan pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap sektor strategis ini. 


Alih-alih memberikan solusi yang ada pemerintah mencoba menangguk untung. Melalui Kementerian Pertanian (Kementan) mengajak petani untuk menggunakan asuransi demi menjaga lahan pertanian.


Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengatakan, "Ribuan hektare lahan pertanian menjadi rusak dan gagal panen. Untuk itu, kami mengajak petani untuk mengasuransikan lahan agar terhindar dari kerugian yang lebih besar," 


Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian Sarwo Edhy juga mengamini, asuransi lahan pertanian merupakan bagian dari mitigasi bencana. Petani bisa mengasuransikan lahannya saat memasuki musim tanam. Dengan begitu, jika lahan pertanian mengalami gagal panen, petani bisa mendapatkan klaim. (https://amp.kompas.com/)


Adapun Klaim yang dikeluarkan asuransi sebesar Rp 6 juta per hektare. Asuransi dianggap sebagai win win solution bagi petani. Mereka tidak akan menderita kerugian justru petani memiliki modal untuk tanam kembali. 


Program asuransi yang di tawarkan pemerintah tentu bukanlah solusi bijak. Sebab petani akan kembali terbebani dengan membayar sejumlah uang baik sekaligus atau dicicil, kepada penanggung sebagai kompensasi dari pengalihan resiko lahan pertanian serta komitmen mereka. 


Di lain sisi dalam Islam asuransi dianggap batil karena obyek akad (ma’quud ‘alaihi) dalam muamalah yang sah hanya dua, yaitu barang (al ‘ain) dan jasa (al manfa’ah) bukan janji/komitmen (at ta’ahhud) atau pertanggungan (al dhamanah), yang tak dapat dikategorikan sebagai barang ataupun jasa.


Selain ketidaksesuaiannya dengan hukum Islam. Munculnya asuransi pertanian menunjukan bahwa hari ini negara telah mengamputasi perannya dalam menyelesaikan perkara umat. Negara menyerahkan problem petani hari ini melalui lembaga. 


Padahal semuanya merupakan tanggungjawab negara. Dengan memberikan jaminan kebutuhan tiap individu tanpa terkecuali. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW: 


“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). 


Wallahu'alam.


Oleh Mia Annisa 


Posting Komentar

0 Komentar