Persoalan seputar hak-hak bagi perempuan sejak lama tak pernah selesai dibahas di alam Kapitalisme. Diawali dengan diselenggarakannya konferensi yang mengumpulkan 100 perempuan dari 17 negara, pada tanggal 28 Februari 1909, di New York City. Dilansir dari The Independent, konferensi ini pertama kali diinisiasi oleh Partai Sosialis Amerika, dalam rangka menghormati para pekerja tekstil perempuan di New York, yang berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Aksi mogok kerja juga dilakukan menandai protes terhadap kondisi tidak layak yang dialami para pekerja perempuan.
Semula konferensi pada 28 Februari 1909 itu belum berhasil menetapkan Hari Perempuan Internasional ( _International Woman Day_ / _IWD_ ) yang akan diperingati setiap tahunnya di seluruh dunia. Namun _IWD_ kemudian diperingati pertama kali pada 19 Maret 1911 oleh satu juta orang di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss.
Di London, Inggris, tercatat pada 8 Maret 1914 pernah diadakan pawai untuk mendukung hak pilih perempuan. Pawai yang digelar di sepanjang jalan dari Bow hingga ke Trafalgar Square pada waktu itu berujung dengan diamankannya aktivis perempuan Sylvia Pankhurst di depan stasiun Charing Cross. Pankhurst sedianya akan berorasi di Trafalgar Square dalam acara tersebut.
Pada 8 Maret 1917, menurut kalender Gregorian, di Petograd, ibu kota Kekaisaran Rusia, pekerja tekstil wanita memulai demonstrasi yang kemudian menjalar ke seluruh kota. Demostrasi ini kemudian bahkan memicu terjadinya Revolusi Rusia. Sekitar 100.000 perempuan Rusia melakukan aksi turun ke jalan dan bergabung dengan para pekerja pabrik, ini tak lepas dari upaya antiklimaks akibat kehancuran Perang Dunia I.
Kondisi paska Perang Dunia I ini menyebabkan tekanan ekonomi luar biasa yang menyebabkan kehancuran Rusia. Aksi ini menuntut pemerintah Rusia di bawah pimpinan Tsar Nicholas II untuk mengakhiri Perang Dunia I , dan memberi makan kepada anak-anak yang kelaparan akibat terpuruknya ekonomi negara. Aksi yang awalnya damai kemudian berujung bentrok ketika para demonstran yang menghancurkan gedung dan kantor-kantor berhadapan dengan pasukan Tsar. Aksi yang meluas menjadi kerusuhan masal kemudian memicu terjadinya Revolusi Februari yang akhirnya berdampak pada kejatuhan Tsar Nicholas II pada 15 maret 1917.
Dilansir dari Unesco.org, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian secara resmi melakukan penghormatan atas andil para perempuan yang menjadi korban kerusuhan 8 Maret 1917 di Rusia tersebut, dengan menetapkan 8 Maret sebagai _International Woman Day_. Tujuan peringatan _IWD_ ini adalah untuk menyerukan perubahan, dan merayakan keberanian para perempuan yang telah berperan luar biasa besar dalam kancah sejarah dunia. PBB lebih jauh menegaskan pula tentang pentingnya prinsip kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Demikian sekilas sejarah yang mengawali lahirnya _IWD_.
Perspektif Barat Seputar Hak-Hak Perempuan
Berawal dari sejarah yang melatarbelakangi ditetapkannya _IWD_ di atas, 8 Maret dikukuhkan sebagai hari di mana perempuan diakui eksistensi dan prestasinya. Gerakan buruh kemudian digelar dalam merayakan _IWD_ tersebut di Amerika Utara dan di seluruh Eropa. Bahkan sekarang setiap tahun Presiden AS akan mengeluarkan pernyataan tentang pengakuan resmi _“Presidential Proclamation”_ untuk menghormati pencapaian perempuan Amerika.
Tidak hanya di AS, di Itali, _IWD_ diperingati tiap tahun dengan dijual dan dipajangnya Bunga Mimosa. Bunga yang berwarna kuning ini dianggap sebagai lambang penghormatan terhadap perempuan. Di negeri tirai bambu, _IWD_ diperingati dengan diberlakukannya kerja setengah hari bagi karyawan perempuan. Di Jerman, _IWD_ ( _Frauentag_ ) ditetapkan sebagai hari libur nasional. Sedangkan di Inggris, _IWD_ diperingati dengan melakukan pengumpulan uang amal melalui acara lelang produk-produk barang mewah seperti produk Isabel Marant, dan lain-lain.
Di tahun 2021 ini, tema _IWD_ adalah _“Choose to Challenge.”_ Tema ini bermakna, perempuan bebas memilih untuk menunjukkan bahwa mereka bisa ikut serta dalam berkomitmen menantang dan menyerukan ketidaksetaraan gender. Pesan dari tema ini, perempuan diharapkan dapat memilih untuk mencari serta merayakan pencapaian mereka. Motivasi ini dianggap dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi perempuan di dunia.
Demikianlah, sesungguhnya sudah banyak upaya yang sudah dilakukan dunia untuk menaikan posisi perempuan di seluruh ranah kehidupan. Upaya ini utamanya bertumpu pada menyetaraan gender, sehingga perempuan bisa setara dengan laki-laki di semua aspek kehidupan. Perempuan ditantang untuk terus memperjuangkan hak agar tidak dinomorduakan di berbagai bidang, termasuk dalam hal kepemimpinan.
Terpilihnya beberapa sosok yang dianggap menjadi representasi perempuan berprestasi dan menginspirasi dalam kepemimpimpinan di tahun ini dianggap menandai semakin besarnya pengaruh perempuan di kancah perpolitikan dunia. Dinobatkannya Angela Merkel, Kanselir Jerman; Christine Lagarde, Direktur Pelaksana _IMF_ dan Bank Sentral Eropa; Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan RI; dan Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru sebagai pemimpin perempuan berprestasi tingkat dunia adalah beberapa contoh.
Pandangan Barat terhadap perbaikan kondisi perempuan di berbagai bidang kehidupan adalah bahwa, dengan perempuan menjadi pemimpin, maka akan meningkatlah level perempuan. Demikian pula, dengan meningkatnya partisipasi perempuan di lembaga legislatif, maka dianggap akan dapat memperbaiki nasib perempuan secara umum. Padahal sesungguhnya tidak bisa diambil kesimpulan demikian.
Dengan perempuan menjadi pemimpin dan banyak berkiprah di ranah legislasi ternyata pada faktanya tidak berkorelasi sama sekali dengan perbaikan perempuan secara umum. Hal ini karena, perempuan sehebat apapun ia, ketika terjun ke sistem Demokrasi Kapitalis ataupun Komunis, maka ia akan terjerat dalam jaring-jaring yang membuatnya tidak bisa lepas dari sistem tersebut. Akibatnya seidealis apapun perempuan dalam memperjuangkan kepentingan kaumnya, ia akan tersandera oleh sistem yang menjadikannya tidak bisa berbuat banyak untuk mengimplementasikan idealismenya.
Contohnya, selama Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan di Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan di era Presiden Joko Widodo jilid 1 dan 2, ternyata tidak berdampak secara signifikan terhadap perbaikan ekonomi perempuan Indonesia. Perempuan Indonesia masih saja harus terjun untuk mencari uang. Perempuan Indonesia harus berjibaku mencari tambahan uang belanja bagi rumah tangganya. Bahkan tidak sedikit perempuan yang terpaksa menggantikan posisi suaminya, menjadi tulang punggung keluarga.
Perspektif Islam Seputar Hak-Hak dan Kewajiban Perempuan
Dalam perspektif Islam, tidak boleh dibeda-bedakan kesempatan untuk menuntut ilmu dan berprestasi bagi laki-laki ataupun perempuan. Perempuan diperlukan ilmu dan keahliannya yang berguna bagi masyarakat. Di kancah politik, perempuan juga boleh berkiprah, asalkan mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam Islam. Islam tidak pernah mengekang perempuan untuk berprestasi dan menggunakan keahliannya. Sehingga rasanya, dalam naungan sistem Islam, tidak diperlukan lagi peringatan _IWD_, berikut semua pejuangan mencapai kesetaraan yang diwacanakan di dalamnya.
Bagi perempuan, terjun mencari uang membuktikan bahwa perempuan yang seharusnya berhak mendapatkan nafkah, malah jadi wajib mencari nafkah. Sedangkan kewajiban sejatinya sebagai penanggung jawab rumah tangga dan pendidik anak-anaknya justru tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna. Hal ini karena perempuan sebagai istri dan ibu harus mengalokasikan lebih banyak waktunya di ranah mencari nafkah.
Akibatnya anak-anak kurang mendapat asuhan dan asupan didikan penuh kasih sayang dari ibunya. Anak-anak yang tumbuh dengan jiwa yang kosong dari kasih sayang ibunya, akan sangat menyedihkan secara psikis. Anak-anak yang tumbuh dalam didikan dan kebiasaan asisten rumah tangga akan menjadi generasi yang jauh dari rengkuhan orang tuanya. Mereka seolah mandiri dan tegar, namun jiwa mereka hampa. Terbukti tak sedikit generasi muda yang salah bergaul, bebas berpacaran, terjerumus dalam lingkaran narkoba, terbiasa buli membuli, terseret tawuran, dan lain-lain.
Menurut perspektif Islam, Ibu adalah Madrasah al-Ula (pendidik pertama dan utama) bagi anak-anaknya. Kewajiban ibu menanamkan akidah dan ibadah yang kuat kepada anak-anaknya sejak dini. Ibu wajib menanamkan adab-adab dan akhlak yang mulia kepada anak-anaknya. Ibu harus menjadi teladan bagi anak-anaknya di berbagai sisi kehidupan. Ibu harus mendampingi anak-anaknya tumbuh, bahkan hingga mereka dewasa. Ibu harus siap menjadi _‘the shoulder to cry on’_ dan tempat curahan hati anak-anaknya, sehingga anak-anak tidak pergi ke sosok lain ketika mereka punya masalah.
Di alam Kapitalisme dan Sosialisme dipastikan sangat sulit seorang ibu bisa menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik. Apalagi ketika beban membantu ekonomi keluarga harus dipikulnya juga. Ibu kurang mendapatkan hak-haknya untuk bisa berdaya menjalankan kewajiban-kewajibannya. Mendapatkan kecukupan nafkah di sistem selain Islam sangat sulit bagi seorang ibu. Minimnya lapangan pekerjaan bagi para bapak, ditambah lagi dengan melangitnya harga-harga kebutuhan hidup adalah diantara penyebabnya.
Penerapan Sistem Ekonomi Kapitalisme juga telah nyata menjadi penyebab perempuan berlomba-lomba untuk terjun ke kancah politik, dengan idealisme ingin mengubah kondisi menjadi lebih baik lewat kebijakan politik. Namun sekali lagi, upaya inipun tidak akan banyak membuahkan hasil manakala sistem bernegara yang diberlakukan bukan sistem Islam. []
Oleh: Dewi Purnasari, Aktivis dakwah politik.
0 Komentar