Jumlah vaksin masih terbatas, awalnya akan diprioritaskan kepada pihak- pihak yang beresiko tinggi, karena harus bekerja di sektor publik, salah satu kelompok prioritas dalam vaksinasi tahap kedua adalah petugas pelayanan publik yakni anggota TNI, Polri, guru, pegawai pemerintahan, tokoh agama, anggota DPRD, dan wartawan. Namun, ada saja penyalahgunaan jatah vaksin Covid-19 untuk kerabat atau keluarga pejabat dalam pelaksanaan vaksinasi Covid-19 tahap kedua di kota Tangerang Selatan (Tangsel), tentu kondisi ini disayangkan banyak pihak.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merilis, ada 4 tahapan vaksinasi yang akan dijalankan di Indonesia. Tahap 1, sasarannya adalah tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan, tenaga penunjang serta mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan profesi kedokteran yang bekerja pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Tahap 2, sasaran adalah petugas pelayanan publik yakni Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat hukum, dan petugas pelayanan publik lainnya yang meliputi petugas di bandara/pelabuhan/stasiun/terminal. Kemudian, para pekerja di bidang perbankan, perusahaan listrik negara, dan perusahaan daerah air minum, serta petugas lain yang terlibat secara langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Tahap 3, sasarannya adalah masyarakat rentan dari aspek geospasial, sosial, dan ekonomi. Tahap 4, sasarannya adalah masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya dengan pendekatan kluster sesuai dengan ketersediaan vaksin. (kompas.com, 9/1/2021)
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengungkapkan, tujuan utama vaksinasi di masa pandemi yakni untuk menciptakan kekebalan komunitas atau herd immunity. (covid19.go.id, 14/1/2021). Program ini juga diharapkan dapat mengurangi penularan Covid-19, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat virus corona. Pada vaksinasi tahap 2 yang termasuk dalam pelayan publik adalah anggota DPR dan DPRD, akan tetapi praktek di lapangan ada yang juga sekalian menyertakan keluarganya.
Hal itu diungkap oleh situs resmi ombudsman, beberapa anggota dewan yang menyertakan keluarganya ada dari DPR RI, DPRD DKI Jakarta. Menurut Robert Na Endi Jaweng, anggota Ombudsman RI, pemberian vaksin kepada keluarga pejabat merupakan bentuk maladministrasi publik karena melanggar ketentuan, kewenangan, bahkan kepatutan sebagai pejabat publik yang semestinya menjadi contoh dan teladan (Ombudsman.go.id, 14/3/2021).
Untuk kejadian yang di Tangsel, Kepala Kantor Ombudsman Perwakilan Banten Dedy Irsan mengatakan, pihaknya bakal meminta penjelasan soal dugaan anggota keluarga ASN dan DPRD menjadi peserta vaksinasi di RSUD Tangsel (Kompas.com, 21/3/2021). Hanya saja, Dinas Kesehatan (Dinkes) Tangsel angkat bicara terkait kepesertaan vaksinasi Covid-19 di RSU Tangsel, Pamulang, Selasa (16/3/2021).
Kepala Dinkes Tangsel, Allin Hendalin Mahdaniar, mengatakan, pihaknya akan memeriksa data peserta vaksinasi Covid-19 hari ini, menurutnya bisa saja keluarga dewan dan keluarga pegawai Pemkot yang ikut vaksinasi, juga tergolong petugas publik. Karena rumah sakit pasti sudah melakukan screening ketat data tersebut. (wartakota.tribbunnews.com, 17/3/2021).
Wakil Wali Kota Tangsel, Benyamin Davnie angkat bicara terkait sejumlah keluarga aparatur sipil negara (ASN) dan DPRD yang kedapatan mengikuti program vaksinasi covid-19 pada tahap dua ini. Bahwa Itu tidak benar karena mekanismenya sudah disampaikan ke Ombudsman bahwa pendaftaran nama per nama. Jadi kalau di luar nama per nama tidak bisa dilayani karena dosis vaksinnya tidak ada. (wartakotalive.com, 22/3/2021).
Bantahan yang sama juga terjadi di lingkungan kantor DPR RI pusat, Vaksinasi untuk anggota DPR serta keluarga digelar tertutup di Kompleks Parlemen. Meskipun sempat dibantah oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, tapi muncul video yang diunggah anggota DPR dari Fraksi PKB, Abdul Kadir Karding, melalui akun Instagram pribadinya, @abdulkadirkarding, Kamis (25/2).
Karding membenarkan, dia bersama istri dan anaknya menjalani vaksinasi di DPR. Karding menjelaskan, vaksinasi untuk anggota Fraksi PKB DPR dijadwalkan Kamis. "Itu (program vaksinasi) dari DPR. Di DPR itu khusus anggota sama anak-istri.Tadi jatahnya PKB sama Gerindra.(wartaekonomi.co.id, 27/2/2021).
Menyikapi hal ini, Ahli epidemiologi Griffith University Australia Dicky Budiman menjelaskan, Kondisi ini berbahaya. Keluarga pejabat bukan termasuk dalam kelompok yang rentan yang bekerja di sektor publik, mereka termasuk masyarakat umum, sehingga tidak masuk dalam vaksinasi tahap kedua ini. (kompas.com, 19/3/2021). Dari sini mengesankan paradoks kebijakan Pemerintah dan pelaksanaan di lapangan.
Kejadian ini sepertinya tidak terjadi kali ini saja, di awal pandemi ketika virus ini merebak, seluruh anggota DPR RI beserta anggota keluarganya diberikan fasilitas tes PCR virus corona lebih dulu sebagai bagian fasilitas dari asuransi Jasindo, sebagaimana yang diungkapkan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.(kompas.com, 21/3/2020). Maka, kebiasaan hidup diistemawakan dengan fasilitas nomer satu tampaknya sudah biasa dialami para pejabat, karena kebanyakan dari mereka sebelum menjadi pejabat adalah para pengusaha yang terbiasa hidup seperti itu.
Pakar komunikasi Universitas Diponegoro Turnomo Rahardjo menyampaikan saat seseorang terbiasa dengan gaya hidup mewah, sulit untuk mengubah gaya hidupnya menjadi sederhana, itu pula yang menjadikan suburnya korupsi (kompas.com, 29/11/2011).
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Respublica Political Institute (RPI) dan pakar hukum tata negara Benny Sabdo berpendapat Sebagai pemimpin dan penjabat publik seharusnya anggota dewan memprioritaskan konstituennya. Jangan hanya memikirkan dirinya sendiri butuh fasilitas ini itu. Kalau sudah jadi anggota DPR ya seharusnya berpikir untuk kepentingan rakyat (Kompas.com, 14/8/2017).
Anggota Komisi I DPR, Jazuli Juwaini mengatakan, dimensi pelayanan publik merupakan kontrak sosial antara penyelenggara negara dengan rakyat untuk mengatur dan mengurus hajat hidup mereka. Sehingga pemimpin itu tugasnya melayani rakyat, bukan melayani elite atau partai pendukungnya. Ada sembilan prinsip good governance, yaitu partisipasi, ketaatan hukum, transparansi, responsif, berorientasi solusi atau konsensus, kesetaraan, efektif dan efisien, akuntabilitas, dan visi strategis.
Sementara birokrasi di Indonesia belum benar-benar menerapkan good governance sehingga perlu terus didorong upaya reformasi birokrasi. Praktik buruk yang masih sering terjadi misalnya politisasi birokrasi, maladministrasi, korupsi, kesejahteraan ASN, terutama honorer yang belum tertangani dengan baik, dan lain-lain. (Republika.co.id, 5/4/2017).
Maka, demokrasi di negeri ini nampaknya tidak cukup kuat bisa merubah mentalitas pejabat untuk biasa menjadi pelayan bagi rakyat, akhirnya hanya berharap satu sistem alternatif yang lahir dari sebuah peradaban gemilang, yang mampu melahirkan sosok Umar bin Khattab ketika menjadi Khalifah yang memimpin kaum muslimin tatkala melalui masa paceklik pada saat itu.
Dalam sebuah riwayat yang ditulis dalam buku Sang Legenda Umar bin Khattab karya Yahya bin Yazid al-Hukmi al-Faifi disebutkan, ketika rakyat sedang dilanda kelaparan, Umar bin Khattab selaku khalifah naik mimbar dengan perut yang keroncongan. Sambil menahan lapar yang tidak kepalang, Umar bin Khattab berpidato di hadapan orang-orang. Dia mengatakan kepada perutnya, "Hai, perut, walau engkau terus meronta-ronta, keroncongan, saya tetap tidak akan menyumpalmu dengan daging dan mentega sampai umat Muhammad merasa kenyang."
Kisah lainnya diriwayatkan Abdurrahman bin Abu Bakar. Dia berkata, "Umar bin Khattab datang. Dia membawa sepotong roti dan minyak. Untuk menghilangkan rasa laparnya, roti dan minyak itu disantap begitu saja sambil berkata, 'Hai perut! Demi Allah, engkau akan terus kulatih menikmati roti dengan mentega ini saja.''Akankah Pemimpin seperti ini akan kembali lagi? Biidznillah dengan peradaban Islam yang mulia dan sempurna.Wallahu a'lam Bi asshawwab.
Oleh Hanin Syahidah
0 Komentar