Perselingkuhan Antara Pengusaha dan Penguasa, Limbah Berbahaya dari Peradaban Sistem Neoliberal


Pencabutan limbah batu bara dan limbah sawit dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) memicu pro kontra para ahli dan masyarakat, pasalnya kedua limbah tersebuh berpotensi merusak limgkungan. Pelepasan status berbahaya dari kedua limbah tersebut tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. PP Nomor 22 Tahun 2021 merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Berdasarkan lampiran XIV PP Nomor 22 Tahun 2021 disebutkan, jenis limbah batu bara yang dihapus dari kategori limbah B3 adalah fly ash dan bottom ash (FABA).


Menambah ingatan kolektif masyarakat terkait kebijakan pemerintah yang menyeleweng dan tidak terukur. Belum lama setelah kita dihebohkan dengan keputusan legalisasi investasi miras yang belakangan dikabarkan adanya pencabutan lampiran perpes yang tetap saja belum cukup menentramkan hati. Namun kembali pemerintah menggelisahkan masyarakat dengan keputusannya terkait legalitas pengelolaan limbah berbahaya yang dapat mengusik lingkungan dan bukan mustahil dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan.


Hal ini pun menuai konflik pro kontra antar para ahli, pasalnya meski berbahaya namun pihak pro terhadap keputusan ini menilai bahwa adanya indikasi yang bermanfaat dalam limbah FABA. Keputusan ini pun muncul salah satunya karena FABA dinilai dapat dimanfaatkan sebagai bahan infrastruktur, dilansir dari republika.com, peneliti FABA dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Januarti Jaya Ekaputri, turut memberikan keterangan. “Saya melihat dari kacamata bangsa dan negara ini dari sisi infrastruktur. Kalau dari sisi infrastruktur pembangunan jalan massif banget, kalau ini (FABA) bisa dimanfaatkan, alangkah hebatnya Indonesia,” ujarnya pada Selasa (16/3).


Namun di satu sisi, pemanfatan limbah ini adalah kabar buruk bagi lingkungan, dalam artian memiliki indikator sebagai perusakan lingkungan. Karena sebelumnya FABA berstatus bahaya, maka seharusnya pemerintah tak bermain-main dalam mengambil keputusan pencabutan status FABA dari limbah B3, tanpa pertimbangan mengenai risiko yang matang. 

Koalisi Bersihkan Indonesia pun turut menyoroti kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait penghapusan limbah batu bara hasil pembakaran yaitu Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari kategori Limbah Bahan Berbahaya Beracun (Limbah B3).


Dilansir dari bisnis.com “Penghapusan FABA dari kategori limbah berbahaya ini adalah bagian dari Paket Kebijakan Besar (Grand Policy) yang secara sistematis dirancang untuk memberikan keistimewaan bagi industri energi kotor batu bara mulai dari hulu hingga ke hilir,” kata Peneliti dan Pengkampanye Trend Asia Andri Prasetiyo dalam keyerangan tertulis, Jumat (12/3/2021).


Andri menambahkan bahwa keputusan ini adalah kabar buruk bagi lingkungan hidup, kesehatan masyarakat, dan masa depan transisi energi bersih terbarukan nasional.

Menurutnya ini merupakan upaya masif oligarki batu bara yang dimulai dari revisi UU Minerba, UU Omnibus Law Cipta Kerja, proyek hilirisasi batu bara yang berusaha membajak RUU EBT, dan sekarang dengan menghapus limbah FABA dari jenis limbah B3. Kebijakan demi kebijakan ini hanya bertujuan agar industri energi kotor batu bara dapat terus mengeruk untung berganda.


Mengomentari hal ini, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah, turut menilai keputusan Presiden Joko Widodo alias Jokowi mencabut FABA dari daftar limbah B3 alias limbah berbahaya tidak memenuhi unsur demokrasi. Perumusan kebijakan ini diduga tidak melibatkan masyarakat di sekitar lokasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan buruh.


“Di luar urusan masalah teknoktratis, ini masalah krisis demokrasi dan HAM. Penyusunan kebijakannya serampangan, tidak ada keterlibatan warga, tidak ada keterlibatan pekerja,” kata Merah saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 13 Maret 2021. Merah mensinyalir, sejak awal, pengusaha cawe-cawe terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah terkait pengelolaan limbah, tambang, dan industri.


Lobi pengusaha ditengarai terjadi secara sistematis sejak penyusunan revisi Undang-undang Minerba, penyusunan UU Cipta Kerja, pelonggaran kewajiban perusahaan batu bara membayar royalti, hingga penerbitan aturan PP Nomor 22 Tahun 2021.


Amat disayangkan bahwa faktanya keputusan ini ternyata muncul karena adanya kepentingan pengusaha yang berupaya memanfaatkan limbah berbahaya sebagai komoditas bisnis para pemilik modal, yang dipicu dari RUU ciptakerja yang sebelumnya pun cukup menuai kontroversi. Artinya asas manfaat menggeser nilai bahaya dari limbah FABA, dengan kata lain, parameter keputusan pemerintah bukan merujuk pada mewujudkan ketentraman dan keamanan masyarakat serta lingkungan hidup. Melainkan nilai manfaat yang terkandung demi menopang kepentingan sebagian orang yang berkuasa.


Sudah jelas bahwa limbah batu bara mengakibatkan pencemaran lingkungan, masalahnya adalah adanya kandungan yang tak bisa dinafikan akan merusak alam, baik dikelola dengan baik maupun tidak, sebab inti permasalahannya ada pada kandungan yang tidak bertoleransi dengan lingkungan. Namun lain lagi bagi para penguasa dan pengusaha, selama ada kesempatan untuk dimanfaatkan sebagai penunjang kepentingan materil, maka hal yang berbahaya menjadi legal dan sah untuk mengupayakan terpenuhinya nafsu para pemilik modal.


Sepanjang tahun berlalu, rakyat hanya di pertontonkan kisah drama berseri bercerita tentang perseliran antar pengusaha dan penguasa, kursi dibeli bukan dengan tanggung jawab penuh terhadap amanah melainkan transaksi bertukar kepentingan. Inilah yang terjadi ketika sistem kapitalisme menunggangi negara. Pemerintah hanya berjualan sarana dan regulasi untuk memenuhi kepentingan para pengusaha lewat jabatan dan kursinya. Rakyat hanya menjadi korban perselingkuhan pengusaha dan penguasa.


Keputusan dari pemerintah yang cenderung menyeleweng dan mengabaikan keberlangsungan hidup rakyat ini bukanlah yang pertama kalinya, melainkan ini merupakan salah satu bagian dari cerita yang tak pernah terselesaikan. Kisah perselingkuhan tanpa akhir meski berganti pemeran utamanya. Dengan kata lain meski berganti para penguasa yang memiliki otoritas tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti yang kita tahu adanya pergiliran kekuasan dalam sistem pemerintahan demokrasi, seperti pemilu dan pilkada yang diadakan perperiode yang telah ditentukan. Sekalipun berganti kursi dan pemerannya, jika tidak berganti alur ceritanya mengikuti koridor yang hak sesuai dengan prosedur penciptaan alam semesta, yakni mengikuti sistem dan hukum sang pencipta yakni berdasarkan nash Alquran dan Sunah. Maka sungguh penderitaan rakyat tidak akan pernah berakhir, sebab jual beli kekuasaan akan terus berlangsung. Kesenjangan taraf hidup serta monopoli kekayaan alam oleh para pemilik modal akan terus berkelanjutan. Pasalnya sistem kapitalisme neoliberal lah yang mengizinkan bahkan mensponsori operasi ini tersu berlanjut dan berkesinambungan.


Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa yang paling berbahaya dikonsumsi, dianut, dan diimplementasikan oleh bangsa dan negara, bukanlah limbah berbahaya. Miras dan hal lainnya secara fisik dan lahir memiliki dampak negatif, melainkan sistem kapitalisme neoliberal yang dianut dan dikonsumsi bahkan diimplementasikan secara utuh dan nyata dalam kehidupan bernegara merupakan hal yang paling berbahaya, sebab dengan implemetasi secara sadar dan absolut sistem kapitalisme neoliberal akan memberikan peluang untuk legalitas hal-hal berbahaya lainnya.


Sebab tak dapat kita pungkiri bahwa telah banyak fakta membuktikan secara empiris kita rasakan dampak bahaya dari sistem ini, seperti RUU omnibuslaw, sekulerisasi dalam Pendidikan terkait keputusan skb 3 mentri, legalisasi miras di 4 daerah, hingga yang terbaru yakni adanya pencabutan status berbahaya dari limbah FABA yang berpotensi merusak alam.


Lantas mau sampai kapan kita menggunakan sistem berbahaya yang bukan hanya berbahaya dan  merusak secara fisik dan lahir melainkan akan merusak unsur bathinniyah umat, yakni akidah.

Jika tak lekas mengganti sistem kapitalisme neoliberal, entah sampai kapan kita akan terus dipertontonkan kisah drama perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa. []


Wallahu a’lam bissowab.

Oleh Dian Fitriani



Posting Komentar

0 Komentar