Polarisasi Moderasi Mendiskreditkan Umat Islam

 


Manifesto moderasi beragama tak bosan-bosan terus menerus digaungkan, khususnya di dunia pendidikan. Kampus Islam pun tak terlepas dari jeratan dan target propaganda moderasi. Ide moderasi beragama ini, meski secara harfiah tidak ditemukan akan adanya pengkhususan terhadap satu agama saja, namun bukan berarti ide ini mengarahkan terhadap agama secara universal. Akan tetapi bila ditelaah lebih lanjut, arus moderasi ini justru hanya mengombang-ambing satu agama saja. Dan tak pelak lagi bahwa Islamlah yang menjadi objek utama ide moderasi yang dewasa ini membumi. 

Moderasi tak khayal, memang senantiasa familiar terdengar semenjak isu radikalisme dan terorisme membumi di tanah air. Pasalnya moderasi beragama dianggap sebagai solusi dan ide tandingan dari radikalisme yang mengarah pada agama Islam. 

Jika kita menilik secara etimologis, maka moderasi berarti sebagai upaya pengurangan kekerasan dan keekstreman, dan jika mengaitkan dengan ide radikalisme, maka moderasi secara tidak langsung memiliki hubungan yang tidak baik antara keduanya. Sebab diasumsikan di tengah masyarakat keduanya bak antonim yang bersebrangan.

Lantas, sebenarnya untuk apa pemerintah cukup massif dalam mempropagandakan ide moderasi beragama ini?

Analisis pribadi saya menduga adanya indikasi polarisasi yang sengaja dibangun oleh pemerintah, yang kemudian meradang di tengah umat. Pasalnya dari awal istilah-istilah ini dijajarkan guna menstigma agama Islam hingga mendiskreditkan upaya umat yang diangap membahayakan kepentingan penguasa. 

Isu terorisme sebetulnya sudah lama tak laku. Pasalnya isu ini terlalu tedensius bila hanya dikaitkan dengan cara berpakaian sebagian orang. Lalu pola selanjutnya, muncul ide radikalisme sebagai istilah yang dianggap memperhalus istilah terorisme. Istilah ini mulai viral sekitar tahun 2015 silam. Jika indikator terorisme adalah adanya upaya meneror sebagian umat beragama, seperti membom rumah ibadah, maka tentu sulit jika para berkepentingan harus menunggu momen dibomnya suatu rumah ibadah hanya untuk membangun paradigma bahwa agama tertentu terindikasi terorisme. Tak lain adalah agama Islam yang penganutnya dianggap cukup membuat gusar kelompok tertentu.

Oleh karena itu, isu terorisme tidaklah efektif bila hanya untuk menunggangi motif peristiwa. Maka isu radikalisme diangap ideal karena pemerintah memiliki kamus sendiri untuk memaknai istilah radikalisme. Pasalnya pemerintah seolah ringan saja mengklaim kelompok tertentu radikal kendati hanya karena silang pendapat. Maka singkatnya, istilah ini berpotensi menjadi alat untuk menumbangi para lawan politiknya.

Pola selanjutnya yakni ekstrimis, bila ide radikal senantiasa dikaitkan dengan upaya dan pemikiran politik yang diangap mengguncang kelompok berkepentingan, maka ekstrimis lebih terhadap cara ibadah umat yang juga diangap berpotensi mencederai kelompok tertentu. Ekstrimis juga sering dikaitkan dengan kelompok sayap kanan yang intoleran yang menolak pluralitas beragama. Artinya jika untuk dikatakan teroris perlu adanya sikap meneror, kemudian untuk dikatakan radikal, cukup silang pendapat dengan pemerintah.

Bahkan kita mengetahui bahwa fasih dalam berbahasa arab dan hafal Alquran menjadi kriteria radikal lewat pernyataan terbuka mantan Mentri Agama Fahrul Razi, pada September 2020 silam, dan selanjutnya untuk dikatakan kelompok ekstrimis kita hanya cukup berkecenderungan terhadap agama Islam. 

Maka dari sini kekhawatiran muncul, sebab pola ini semakin lama akan dapat membatasi ibadah umat dan bukan tidak mungkin akan mecederai umat secara fisik, dengan dalih radikalisme dan ekstrimisme yang sebetulnya ini hanyalah alat untuk menumbangi lawan politik khususnya dari umat muslim.

Kemudian muncul moderasi yang diangkat sebagai angin penyejuk antara kelompok ekstrimis atau sayap kanan dan kelompok liberal atau sayap kiri. Pasalnya moderasi ini dianggap sebagai penengah antara keduanya, dengan upaya mewujudkan umat muslim yang moderat. Tanpa sadar justru sedikit demi sedikit mereduksi nilai-nilai agama Islam.

Bila kita setuju dengan pergerakan moderasi beragama, maka dengan kata lain kita pun setuju bahwa Islam adalah agama terorisme. Karena moderasi berarti mengurangi kekerasan dan keekstriman, maka tanpa sadar kita mengatakan bahwa agama yang dibawa oleh Rasulullah saw selama ini adalah agama yang ekstrim dan penuh kekerasan. Pasalnya arus moderasi barulah ada di zaman neoliberal seperti sekarang ini. Kita tak dapat menyangkal bahwa arus moderasi ini justru upaya memadamkan nilai-nilai agama islam karena ide ini justru menstigma agama islam sebagai agama yang keras dan ekstrim.

Maka bila kita tak menyadari sejak dini akan adanya polarisasi yang kian masif guna mendiskreditkan agama mulia yakni Islam, Maka selanjutnya justru kitalah yang menjadi agen dari manifesto ide-ide yang mereduksi agama Islam dari dalam. Nau’dzubillahi min dzalik. []

Oleh Dian Fitriani


Posting Komentar

1 Komentar