Mengkritisi Program Petani Milenial

 


13 Januari 2021 lalu Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) secara resmi membuka pendaftaran Program Petani Milenial. Ini adalah program alternatif untuk memulihkan perekonomian di masa pandemi Covid-19 khusus bagi generasi milenial. Jumlahnya ditargetkan sebanyak 5000 orang. Meskipun namanya petani milenial, namun program ini tidak hanya mencakup bidang pertanian saja. Tetapi juga melingkupi bidang peternakan, perikanan, serta perkebunan. Beberapa komoditas pertanian yang akan dibudidayakan di antaranya jagung, jahe, ubi-ubian, sampai tanaman holtikultura. Untuk sektor perkebunan ada sereh wangi, madu dan jamur tiram. Selain itu, ada program budidaya penggemukan domba, ayam boiler, ayam petelur dan ternak puyuh. Sedangkan di sektor perikanan yakni budidaya ikan tawar lewat kolam plastik. (www.merdeka.com)

Seluruh warga Jabar termasuk warga Kota Bogor menyambut baik program ini. Di kota Bogor, obyek yang dibudidayakan adalah tanaman hias. Sebagaimana diketahui, sejak pandemi hobi terhadap tanaman hias menjadi tren di masyarakat. Harga tanaman hias tertentu meroket hingga ke tingkat yang tak masuk akal. Melihat potensi ini, petani milenial Kota Bogor memutuskan untuk membudidayakan tanaman hias. Program ini juga mendapat dukungan dari eksportir tanaman hias di wilayah Bogor, Minaqu Home Nature (MHN). kedepannya MHN akan menyiapkan sejumlah tenaga ahli, seperti penyilang, ahli pupuk, hingga praktisi media sosial. Nantinya berbagai pelatihan pun akan diberikan agar bisa menyukseskan program petani milenial ini. Targetnya, petani milenial ini bisa ekspor aneka tanaman hias ke berbagai negara di belahan dunia. (www.radarbogor.id)

Bisnis tanaman hias memang menjadi bisnis yang menjanjikan saat pandemi ini. Kisah kesuksesan para pelaku bisnis tanaman hias bertebaran di laman-laman berita. Omset mereka naik rata-rata sebesar 200 persen. Beruntungnya Indonesia negeri gemah ripah loh jinawi. Tanah tropisnya yang subur membuat Indonesia memiliki sekitar 40.000 jenis tumbuhan. (www.ilmuhutan.com) Termasuk diantaranya adalah tanaman hias. Salah satu tantangan bisnis tanaman hias yang utama adalah distribusi dan pemasaran. Tanaman hias tidak akan menghasilkan apa-apa jika tidak ada pemasaran. Dalam buku Sukses Memulai Bisnis Tanaman Hias (2008) oleh Penebar Swadaya, disebutkan bahwa sebuah peluang pasar akan terjadi jika ada orang-orang yang memerlukan produk dengan daya beli yang cukup. (www.kompas.com) Kondisi saat ini, daya beli masyarakat di dunia sedang anjlok. Masyarakat menahan diri untuk berbelanja dan lebih mengutamakan membeli kebutuhan pokok. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyatakan bahwa Covid-19 telah meluluhlantakkan semua sektor kehidupan. Kegiatan perekonomian masyarakat banyak terhenti, pelayanan jasa terhambat, dan sektor pertanian mengalami pukulan yang cukup berat. Gangguan yang lebih serius dideteksi pada sistem distribusi dan pemasaran. (pse.litbang.pertanian.go.id) Oleh karena itu, budidaya tanaman hias yang menjadi salah satu bagian dari program petani milenial tidak dapat dijadikan sebagai tumpuan untuk mencukupi kebutuhan rakyat saat pandemi. 

Saat pandemi seperti ini, dimana ancaman kelaparan menghantui, maka pemerintah harus memfokuskan diri pada pertanian tanaman pangan, yang akan menjadi bagian dari usaha untuk mewujudkan ketahanan pangan masyarakat. Indonesia sudah dianugerahi tanah subur yang sempurna untuk bidang pertanian. Meskipun demikian, kenyataannya kondisi para petani sangat mengenaskan. Jauh dari kata sejahtera. Artinya ada yang salah dalam pengelolaan bidang pertanian negara. Kebijakan pengelolaan ini tidak mungkin berdiri sendiri. Setiap kebijakan akan dipengaruhi oleh prinsip dasar yang dianut negara. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia bukan negara Islam meskipun mayoritas penduduknya adalah muslim. Dan tidak menggunakan agama apapun sebagai dasar negaranya. Indonesia negara sekuler yang menyerahkan urusan kehidupan kepada pendapat manusia. Karena kebijakan yang sekuler inilah rakyat Indonesia seperti tikus mati di lumbung padi. 

Jika Indonesia ingin bidang pertanian menjadi tumpuan untuk ketahanan pangan, maka Indonesia harus beralih ke sistem khilafah. Sistem yang mengelola bidang pertanian semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Karena peran Khalifah (kepala negara khilafah) adalah sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung). Khalifah berkewajiban untuk memastikan setiap rakyatnya terpenuhi kebutuhan pokoknya. Tidak ada yang kelaparan, kehausan, bertelanjang, dan tanpa tempat tinggal. Karena di akhirat kelak, khalifah akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. 

Negara khilafah mengadopsi syariat Islam secara menyeluruh. Syariat Islam memiliki sejumlah aturan di bidang pertanian yang mampu menjadikan Indonesia memiliki ketahanan pangan yang kuat. Menjamin rakyatnya tidak akan mengalami kelaparan. Dan memiliki jaminan akan lahirnya keberkahan dari langit dan bumi. Adapun kebijakan khilafah di bidang pertanian adalah sebagai berikut:

Negara melakukan pengaturan lahan pertanian

Negara melakukan penelitian dan pendataan terlebih dahulu tentang kondisi tanah negaranya. Kemudian mengaturnya sesuai peruntukan tanah. Tanah yang subur hanya dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan. Maka tidak diperbolehkan mengubah lahan persawahan menjadi area perumahan, perkantoran atau industri. Jenis pertanian dan perkebunannya pun disesuaikan dengan jenis tanahnya. Contohnya tidak memaksakan lahan gambut untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Sehingga para petani tidak kekurangan lahan subur.

Negara mendukung peningkatan hasil pertanian rakyat dengan intensifikasi dan ekstensifikasi

Intensifikasi

Negara berupaya untuk meningkatkan hasil pertanian dengan mengoptimalkan lahan yang ada. Dengan cara menyediakan bibit unggul, menyediakan pupuk dan obat-obatan, menyediakan peralatan dan teknologi modern untuk pengolahan lahan pertanian, membangun sarana irigasi, membangun pusat penelitian dan pengembangan (litbang) di bidang pertanian, dll. Intensifikasi sudah dilakukan sejak awal abad ke-9. Pertanian di Timur Dekat, Afrika Utara dan Spanyol didukung sistem pertanian yang maju, menggunakan irigasi yang canggih dan pengetahuan yang sangat memadai.

Ekstensifikasi

Negara menambah luas lahan pertanian untuk meningkatkan jumlah produk pertanian dengan aktivitas ihyaa’ul mawaat (menghidupkan tanah mati). Yakni memberikan lahan bagi orang yang mampu menghidupkan tanah mati (tanah yang terlantar, tidak ada tanda-tanda dimiliki oleh seseorang) sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Saw. “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah yang mati, maka tanah tersebut adalah menjadi hak miliknya.” (HR. Imam Bukhari). Arti menghidupkan tanah di sini adalah mengelola tanah menjadi lahan yang produktif. Jika tanah yang telah diberikan itu tidak dikelola selama 3 tahun berturut-turut, maka negara berhak mengambilnya kembali. Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu miliknya dan orang yang memagari tidak memiliki hak setelah tiga tahun.” (HR Abu Yusuf). Karena itu Umar bin al-Khathab ra. pernah mengambil tanah yang diberikan kepada Bilal bin Harits al-Muzni yang telah ditelantarkan lebih dari tiga tahun berturut-turut.

Negara melarang sewa lahan pertanian

Menyewakan tanah untuk pertanian itu secara mutlak hukumnya haram.

Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil” (HR. Imam Bukhari). Larangan penyewaan lahan pertanian secara ekonomi dapat dipahami sebagai upaya agar lahan pertanian dapat berfungsi secara optimal. Artinya seseorang yang mampu mengolah lahan harus memiliki lahan sementara siapapun yang tidak mampu dan tidak mau mengolah lahan maka tidak dibenarkan untuk menguasai lahan pertanian.

Negara melarang penimbunan hasil pertanian

Menimbun merupakan aktivitas menyimpan barang maupun bahan pangan yang sedang langka di pasaran, baru dikeluarkan ketika harganya naik. Tindakan ini tentu membuat masyarakat banyak kesulitan dan hanya penimbun yang mendapat keuntungan besar. Islam telah mengharamkan aktivitas ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Sejelek-jelek manusia adalah orang yang suka menimbun, jika mendengar harga murah dia merasa kecewa, dan jika mendengar harga naik dia merasa gembira.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim). 

Negara mengatur kebijakan perdagangan (ekspor dan impor) bahan pangan

Kegiatan ekspor bahan pangan dilakukan setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Tidak boleh mengekspor bahan pangan yang sedang langka di dalam negeri hanya karena pasar luar negeri lebih menguntungkan. Karena yang lebih utama adalah memenuhi kebutuhan rakyat. Sedangkan impor hanya dilakukan ketika pasokan bahan pangan dalam negeri kurang untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Bukan melakukan impor karena perjanjian internasional yang dilakukan antarnegara. Karena Ketika impor dilakukan saat bahan pangan melimpah akan menyebabkan harga bahan pangan tersebut jatuh dan petani merugi. 

Dengan kebijakan-kebijakan tersebut di atas, maka ketahanan pangan akan terwujud, rakyat pun akan sejahtera. Kebijakan-kebijakan tersebut tentunya hanya bisa optimal diterapkan dalam sistem negara khilafah. Oleh karenanya kebutuhan rakyat akan tegaknya Khilafah merupakan hal yang pasti. Wallahua’lam bishshawaab. [] 


Oleh Vinci Pamungkas



Posting Komentar

0 Komentar