Reklamasi Ancol Lanjutan Digenjot, Revisi Regulasi Pun Dikebut

Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi mengingatkan supaya dalam menggodok revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi supaya dipertimbangkan secara matang. Prasetyo berharap peraturan itu bisa meneropong Jakarta hingga 50 tahun mendatang dalam unggahan linimasa dikutip Minggu (13/2/2021).

Prasetyo mengaku hingga saat ini pihaknya masih terus mengkaji, mendalami, dan menggodok revisi Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Selain mempertimbangkan hal itu, perlu pula mengindahkan nilai-nilai estetika.

Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Teuku Sahir mengungkapkan bahwa pengembangan kawasan Ancol perlu diatur dalam revisi Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang RDTR-PZ. Pasalnya, pihaknya juga telah memproyeksikan kawasan Ancol menjadi obyek wisata bertaraf internasional secara bertahap hingga tahun 2030. Hal ini dilakukan dalam rangka mendukung asumsi kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi DKI Jakarta hingga mencapai Rp1 triliun. 

Jadi salah satu potensi pengembangan dan satu-satunya cara pengembangan itu ke arah laut adalah (reklamasi). Memang kita sudah kepikiran keluar (pantai), tapi lebih baik rasa keadilan itu karena kita punya Pemprov kita kembangkan dulu di kawasan-kawasan Ancol. Kalau sudah selesai semua dan maksimal, baru kita kembangkan kawasan-kawasan di luar Jakarta supaya menjamin rasa keadilan.

Akan tetapi, izin pelaksanaan reklamasi Ancol dinilai penuh dengan masalah dan kecatatan dari sisi regulasi, sebagai dasar hukum pelaksanaan reklamasi. Kesatuan Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) menyebutkan bahwa izin reklamasi harus dibatalkan, karena Pemprov DKI sepertinya berupaya mengelabui publik dengan menerbitkan izin secara diam-diam pada Februari 2020 lalu.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan persetujuan proyek reklamasi secara diam-diam melalui penerbitan Keputusan Gubernu DKI Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 tentang Izin Pelaksanaan Perluasan Kawasan Ancol Timur dan Dunia Fantasi seluas total ± 155 Hektar, (Mongabay,14/7/2020).

Izin yang sudah diterbitkan itu, PT Pembangunan Jaya Ancol selaku perusahaan yang melaksanakan reklamasi, diminta untuk melengkapi kajian teknis sebelum reklamasi dimulai. Kajian itu mencakup analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), penanggulangan banjir, pengambilan material, dan beberapa kajian lainnya.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Jo UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, perluasan wilayah Ancol dengan melaksanakan konversi wilayah laut pesisir menjadi daratan, merupakan kegiatan yang diatur dalam UU tersebut.

Mengingat tidak ada landasan hukum yang kuat, izin pelaksanaan reklamasi Ancol patut dicurigai ada pelanggaran pidana tata ruang. Hal itu sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 73 UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang. Sanksi yang ada akibat pelanggaran tersebut, adalah penjara maksimal lima tahun dan juga denda maksimal Rp500 juta. Selain itu, terdapat pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya.

KSTJ menduga kuat terdapat pelanggaran karena tidak memenuhi syarat administrasi formal serta substansial terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Adapun, persyaratan yang diatur adalah kajian lingkungan hidup strategis, dan dokumen Amdal.

Sedangkan menurut Ketua Komunitas Nelayan Tradisional (KNT) Muara Angke Iwan Sarmidi menambahkan, beberapa kewajiban yang harus dipenuhi justru baru diamanatkan dalam Kepgub 237/2020 atau setelah izin prinsip diterbitkan Gubernur DKI pada 2019.

Untuk itu, patut untuk ditindaklanjuti dengan menegakkan hukum pidana atas dugaan ketiadaan izin lingkungan dalam kegiatan penimbunan tanah yang sudah berjalan sejak 2009, sebagaimana diatur dalam Pasal 109 UU 32/2009 tentang Lingkungan Hidup.

Namun, diketahui bahwa fungsi Kepgub hanya menjalankan perintah peraturan perundang-undangan atau dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintah daerah secara konkrit, individual dan final. Artinya Kepgub diterbitkan pasti mengacu pada UU tentang tata ruang, zonasi serta UU tentang ingkungan hidup.  

Kepgub tersebut diklaim oleh Pemprov DKI untuk menjadi regulasi agar Ancol bisa menjadi kawasan yang berkembang dan menjadi pusat wisata internasional di Asia. Namun pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa harus reklamasi, bukankah memaksimalkan lahan yang tersedia tidak menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang lebih memprihatinkan?

Bersamaan dengan pemberian izin tersebut, disebutkan juga sejumlah kajian teknis yang harus dilengkapi untuk mendukung pelaksanaan reklamasi di kawasan rekreasi Ancol tersebut. Kajian tersebut diantaranya adalah penanggulangan banjir yang terintegrasi, dan dampak pemanasan global. Akan tetapi kajian belum selesai, namun pembangunan kawasan tetap berlanjut, artinya pemerintah mengabaikan aturan yang seharusnya dipenuhi sebelum pelaksanaan reklamasi dilanjutkan. 

Kemudian, kajian perencanaan pengambilan material perluasan kawasan, perencanaan infrastruktur atau prasarana dasar, analisa mengenai dampak lingkungan, dan kajian lain yang diperlukan. Masih dalam dokumen Kepgub 237/2020, disebutkan bahwa perluasan kawasan Taman Impian Ancol Timur dilaksanakan berdasarkan perjanjian kerja sama (PKS) antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT Pembangunan Jaya Ancol yang disepakati pada 13 April 2009.

Dalam PKS, disepakati tentang pembuangan lumpur dari hasil pengerukan 13 sungai dan 5 waduk pada area perairan Ancol bagian Barat sebelah Timur dengan luas sekitar 120 ha. Lokasi tersebut secara administrasi terletak di Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Kota Administrasi Jakarta Utara. 

Dengan mengeruk sungai dan waduk, Pemprov DKI berharap dapat menanggulangi banjir Jakarta. Namun faktanya, banjir makin meninggi dan sulit dikendalikan. Solusi taktis tersebut justru menandakan rezim tidak pernah serius menjaga lingkungan dan warganya. 

Berdasarkan deretan fakta diatas, maka getolnya pemerintah melakukan revisi regulasi untuk melancarkan proyek reklamasi di kawasan Ancol merupakan sinyalemen lemahnya sistem hukum dalam menentukan tata ruang dan peraturan zonasi. Ini merupakan pertanda, bahwa rezim dengan seperangkat regulasinya hanya terpokus pada permintaan industri pariwiasata untuk melakukan perluasan kawasan Ancol dengan mengatasnamakan PAD. 

PAD sejumlah 1 triliun justru merusak lingkungan secara permanen dan mengorbankan warga sekitar Ancol. Bukankah setiap reklamasi akan menimbulkan masalah baru, termasuk kadar polusi air di Teluk Jakarta meningkat signifikan, mengorbankan biota laut dan bahkan dengan reklamasi lanjutan Ancol akan menambah beban pemulihan Lingkungan.

Tentu kondisi ini amat berbeda jika sistem yang tegak adalah sistem Islam. Produk hukum dalam Islam bersumber pada wahyu yang memiliki kebenaran mutlak dan dirancang oleh pemilik alam dan pengatur semesta, yakni Allah Swt, yang sudah pasti menyelamatkan dan mensejahtrakan. 

Dengan sistem Islam, kebijakan penataan ruang dibuat tegas dan diterapkan dengan menggunakan prinsip keselamatan yang tidak menimbulkan mudharat. Dengan demikian, masihkah ada sistem lain selain Islam yang bisa dipercaya sebagai solusi komprehensif mengatasi pelaggaran tata ruang dan pengaturan zonasi? Masihkah rakyat mau menitipkan kepercayaan dan harapan pada sistem hari ini yang regulasinya berubah-ubah, cacat dan penuh intrik yang mengabdi untuk kepentingan segelintir orang?

 Oleh Rabihah Pananrangi




Posting Komentar

0 Komentar