Sentimen Anti-Asia dan Rasisme: Racun yang Menghantui Bangsa Amerika

Delapan orang tewas dalam penembakan brutal di tiga panti pijat berbeda di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat (AS) pada Selasa (16/03) malam, dimana enam di antaranya adalah wanita Asia (aljazeera.com, 17/03/2021). Kejadian memilukan tersebut kemudian kian meningkatkan sentimen anti-Asia, yang setahun terakhir ini semakin mencuat sejak pandemi Covid-19. Padahal sebelum pandemi merajalela, kaum minoritas Asia yang tinggal di negeri Paman Sam tersebut selama ini sudah banyak mengalami tindakan diskriminatif. 

Stop AAPI Hate, sebuah organisasi nirlaba yang melacak insiden rasis dan diskriminasi anti-Asia di US, merilis laporan yang menunjukkan peningkatan laporan sentimen anti-Asia sejak Maret 2020 hingga Februari 2021, yang jumlahnya kini mencapai 3.795 kasus. Dimana 68% kasus berupa pelecehan secara verbal dan 11% berupa serangan fisik, serta korban diskriminasi wanita 2,3 kali lebih banyak dibanding pria (kompas.com, 21/03/2021).

Rasisme dan diskriminasi terhadap kaum minoritas di Amerika sesungguhnya bukanlah hal baru. Pasalnya US sendiri memiliki track record yang cukup buruk dalam memberikan jaminan keamanan bagi warga kulit berwarna. Pada Mei tahun lalu misalnya, masyarakat dunia digegerkan dengan kematian George Floyd, seorang warga AS berkulit hitam, yang memicu kemarahan publik. Yang kemudian tragedi Floyd menjadi bukti rasisme struktural pada bangsa Amerika.

Rasisme sistemik Amerika terlihat jelas sejak adanya praktik perbudakan dan kemunculan berbagai kode serta undang-undang negara bagian (federal) yang mengodifikasi praktik perbudakan menjadi legal di masyarakat AS. Salah satu kode yang mengakar dalam sejarah kelam rasisme di US adalah “kode hitam” yang memiliki tujuan eksplisit untuk merampas hak-hak orang Amerika kulit hitam. Sekalipun sempat ada upaya untuk memerangi “kode hitam” melalui jalur hukum, kode tidak manusiawi ini justru dijadikan landasan konstitusi negara pada tahun 1877. Ironisnya bahkan pada masa kepresidenan Barack Obama, yang merupakan mantan presiden AS berkulit hitam, tragedi berdarah yang menimpa Michael Brown, Eric Garner dan beberapa warga Afrika-Amerika tetap saja terjadi (liputan6.com, 29/05/2020).

Diskriminasi tidak hanya dirasakan oleh ras Negro tetapi juga kelompok non-Kaukasia lainnya, yaitu warga keturunan Hispanik atau Amerika Latin. Warga AS keturunan Amerika Latin yang secara demografis menduduki urutan kedua sebanyak 18,3% dari total populasi, nyatanya menjadi korban struktur masyarakat kapitalis Amerika (inews.id, 29/06/2020). National Partnership for Women and Families (2020) mencatat bahwa perempuan warga keturunan Hispanik biasanya dibayar hanya 54 sen untuk setiap dolar yang dibayarkan kepada pria kulit putih. Sedangkan gaji tahunan rata-rata untuk pekerjaan penuh waktu seorang Hispanik di US adalah 33.540 dolar AS (sekitar Rp472 juta), sementara gaji tahunan rata-rata untuk seorang pria kulit putih mencapai 61.576 dolar AS (Rp867 juta).  

Nasib etnis Asia yang bermukim di AS tampaknya tidak lebih baik dibanding kelompok minoritas lainnya. Jauh sebelum ujaran kebencian terhadap Cina ataupun etnis Asia digaungkan secara masif oleh pemerintahan Trump, kelompok minoritas kulit kuning sulit mendapat posisi strategis di dalam struktur masyarakat US. Kesengsaraan ekonomi di tahun 1870-an membuat bangsa keturunan Asia kerap menjadi kambing hitam dalam gejolak sosial dan ekonomi di negeri Paman Sam. Yang kemudian pada tahun 1882 Kongres AS mengeluarkan UU Pengecualian Tionghoa (Chinese Exclusion Act) yang melarang imigran Cina masuk ke AS selama 20 tahun lamanya. UU tersebut kemudian berlaku hingga setidaknya lebih dari 60 tahun sebelum dicabut pada 1943 (cnnindonesia.com, 19/03/2021).

Sedangkan pada masa Perang Dunia II sentimen anti-Asia kembali mencuat setelah Jepang mengebom Pearl Harbor. Tidak lama setelah itu Roosevelt mengeluarkan Perintah Eksekutif 9066 untuk merelokasi warga sipil keturunan Jepang di kawasan Pantai Barat ke kamp-kamp pengasingan karena dicurigai sebagai agen spionase pemerintahan Jepang. Yang kemudian atas desakan warga keturunan Jepang, akhirnya pada 1988 Presiden Ronald Reagan menandatangani UU Kebebasan Sipil untuk memberikan kompensasi kepada lebih dari 100 ribu korban tahanan Jepang. 

Riwayat rasisme terhadap warga kulit kuning tidak berhenti sampai disitu saja. Melissa Flores menyebutkan dalam studinya yang berjudul “Images from the Past: Stereotyping Filipino Immigrants in California” (2004), pada dekade 1920 hingga 1930-an imigran Filipina di California yang didatangkan untuk bekerja sebagai buruh tani mendapat julukan “bodoh” dan “barbar”. Begitu pula keberadaan para imigran asal Vietnam di Texas yang bekerja di pertambakan udang, banyak mendapat tekanan baik verbal maupun fisik dari golongan kulit putih. Bahkan pemimpin kelompok supremasi kulit putih garis keras, Ku Klux Klan, kerap berpatroli di perairan AS untuk membakar perahu milik orang Vietnam agar tidak bisa melaut lagi. Dari sini bukanlah hal yang mengherankan jika Presiden AS Joe Biden sampai menyebut rasisme sudah menjadi “racun yang telah lama menghantui dan mengganggu bangsa Amerika” (bbc.com, 17/03/2021).

Lebih dari itu, diskriminasi tidak menyasar para kulit berwarna tetapi juga umat muslim tanpa memandang etnis dan ras. Sejak insiden berdarah 11 September 2001, Islamophobia marak digaungkan di negeri-negeri barat terutama AS. Laporan yang dirilis Divisi Hak-hak Sipil dari Departemen Kehakiman AS pada tahun 2011 menunjukkan bahwa aksi kejahatan bermotif kebencian (hate crime) meningkat selama tiga minggu pasca-insiden 9/11. 

Berbagai diskriminasi yang dialami oleh warga muslim Amerika terjadi seiring bergulirnya propaganda Global War on Terror oleh AS. Presiden George Bush saat itu meluncurkan Operation Enduring Freedom (OEF) guna menyingkirkan kelompok-kelompok “teroris” seperti Al-Qaeda dan Taliban di Afghanistan. Selain itu berselang sepuluh hari dari insiden, Bush mengeluarkan keputusan untuk mendirikan lembaga keamanan dalam negeri yang bertanggung jawab mengembangkan dan mengkoordinasikan strategi nasional untuk melindungi negara dari ancaman teroris. Dan terang saja hingga kini label “teroris” senantiasa disematkan pada kaum muslimin, yang kemudian kian menyuburkan Islamophobia di Amerika.

Dari sini kita dapat melihat betapa rusaknya wajah bangsa Amerika, yang senantiasa ternodai oleh pola pikir diskriminatif dan rasis terhadap bangsa-bangsa lain khususnya kaum muslimin. Masyarakat AS yang digadang-gadang sebagai masyarakat “maju” dan “beradab” nyatanya selalu hidup dalam kehinaan dan kesombongan, yang menganggap diri mereka lebih baik hanya karena warna kulit, etnis, ataupun agama. Tidak jarang para pemimpin US pun menunjukkan secara terang-terangan sikap meremehkan dan mencela bangsa lain yang tidak sejalan dengan agenda besar negara adidaya tersebut. 

Dengan ini masih pantaskah dunia menjadikan bangsa Amerika sebagai kiblat peradaban global? Apakah permusuhan, kebencian dan perpecahan yang dikehendaki masyarakat dunia seperti halnya yang terjadi di US? Tidakkah umat manusia menginginkan perubahan hakiki yang mampu menciptakan perdamaian, kesejahteraan dan keadilan tanpa memandang etnis, suku, ras, bangsa dan agama?

Padahal Islam sedari awal kemunculannya senantiasa mempropagandakan kesamaan hak-hak segala bangsa, ras dan etnis sebagaimana firman Allah Swt, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu” (QS. Al-Hujurat: 13).

Bahkan sepanjang sejarah kepemimpinan Islam di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah, Islam memberikan hak-hak dan kewajiban yang sama kepada kaum muslim dan non-muslim. Dimana setiap warga negara yang berasal dari suku, bangsa ataupun agama apapun di dalam kekhilafahan seluruhnya hidup berdampingan secara harmonis tanpa adanya diskriminasi. Negara bahkan berkewajiban menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda kaum non-muslim sebagaimana penjagaan Khilafah terhadap kaum muslimin. Kedudukan ahlu dzimmah (non-muslim) diterangkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya: “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad)

Kemampuan Khilafah Islamiyah dalam menjaga keharmonisan dan perdamaian setiap bangsa, suku dan agama yang berada dalam wilayah kekuasaannya sudah mahsyur diketahui kaum sejarahwan barat sekalipun. T.W. Arnold dalam “The Preaching of Islam” misalnya menuliskan begitu aman dan damainya kehidupan kaum non-muslim yang hidup di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Arnold menyatakan, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”.

Demikianlah kehebatan Islam dengan keberadaan institusi Khilafah yang mampu menjamin keamanan dan kesejahteraan umat manusia tanpa membeda-bedakan suku, bangsa terlebih lagi agama. Khilafah Islamiyah justru menjadi pelindung dan pemersatu berbagai bangsa yang ada di dunia dengan menjadikan hukum-hukum Allah sebagai standar kebenaran yang hakiki. Hal inilah yang membuat kaum non-muslim pada masa berdirinya kekhilafahan berbondong-bondong memasuki agama Islam tanpa adanya paksaan. Inilah penyebab mengapa kaum Nasrani Ashsham rela berperang bersama umat Islam dalam menghadapi serangan Tentara Salib Eropa yang hendak menyerang negara mereka. Maka tidakkah kita rindu hidup dalam naungan Daulah Khilafah Islam?

Wallahu a'lam bi ash-shawab.


Oleh Karina Fitriani Fatimah

(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs-Universität Freiburg, Germany)


Posting Komentar

0 Komentar