Serangan Udara Perdana Biden: Maunya Apa?

 


 Pecah telur! Amerika “baru” yang sempat mengklaim dirinya sebagai “pejuang perdamaian” di bawah kepemimpinan Biden, menggelar operasi serangan udara militer pertama pada 25 Februari 2021 lalu. Reuters menyebutkan bahwa serangan tersebut menghancurkan beberapa fasilitas yang terletak di satu titik kendali perbatasan yang digunakan oleh sejumlah milisi yang didukung Iran. Lebih jelas surat kabar Politico menyatakan bahwa serangan tersebut dimaksudkan untuk merusak kemampuan kelompok milisi dalam melakukan serangan di masa depan.

Pihak Pentagon kemudian memverifikasi bahwa serangan udara yang dilakukan sesuai dengan instruksi presiden teranyar US, Joe Biden. "Atas arahan Presiden Biden, pasukan militer AS tadi malam melakukan serangan udara terhadap kelompok-kelompok di Suriah timur. Serangan ini diizinkan sebagai tanggapan atas serangan baru-baru ini terhadap personel Amerika dan koalisi di Irak, dan atas ancaman yang sedang berlangsung terhadap personel tersebut," jelas Pentagon seperti yang dikutip Express.co.uk (26/02).

Pentagon menyoroti tindakan tersebut sebagai "tanggapan militer yang proporsional" yang diambil "bersama dengan tindakan diplomatik", setelah dilakukan kesepakatan dengan para mitra koalisi AS. Dimana serangan brutal tersebut dilakukan sebagai tanggapan atas serangan roket baru-baru ini di Irak, tepatnya di tempat para tentara dan kontraktor AS beserta para personel koalisi Irak berada. Secara spesifik Pentagon menyebut Kataib Hezbollah dan Kataib Sayyid al-Shuhada sebagai dua kelompok milisi yang didukung Iran, yang menjadi target dalam serangan Kamis di Suriah timur (bbc.com, 26/02/2021).

Menanggapi tindakan tersebut pejabat keamanan Iran, Ali Shamkhani, menyebut serangan udara Amerika ke Suriah justru semakin memperkeruh situasi. Alih-alih menghentikan aktivitas kelompok militan syi’ah di sana, serangan yang Amerika lakukan malah memicu tindakan “terorisme” berkepanjangan. "Tindakan terbaru Amerika malah memperkuat aktivitas dan ekspansi teroris (ISIS) di Suriah. Serangan terhadap pemberontak anti-teroris (Kataib Hezbollah -pen) adalah awal dari periode terorisme terorganisir," tutur Shamkhani (dunia.tempo.co, 27/02/2021).

Selain itu pemerintah Iran melalui situs resminya menekankan tentang perlunya pihak barat, terutama US, untuk tunduk pada resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai Suriah. Ikut meramaikan suasana, pemerintah Rusia yang selama ini berkoalisi dengan Iran di wilayah Suriah mengutuk keras serangan brutal AS dan menyatakan pihaknya akan senantiasa menyerukan penghormatan tanpa syarat terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Suriah (antaranews.com, 26/02/2021).

Dalam hal ini, Aljazeera (24/02/2021) menyebutkan bahwa serangan awal terhadap AS di Irak menunjukkan bahwa para faksi yang bersekutu dengan Iran bermaksud memberi tekanan kepada pihak Baghdad untuk segera menyatakan sikap apakah akan berpihak pada Iran atau Amerika. Hal ini sebagai tindak lanjut atas perselisihan sengit yang baru-baru ini terjadi antara US dan Iran terkait dengan program nuklir Iran. Irak yang selama ini bersekutu dengan kedua pihak yang berselisih, ironisnya justru menjadi medan pertempuran strategis bagi Washington dan Teheran. Sedangkan Suriah kemudian menjadi sasaran empuk AS berikutnya guna menekan pihak Iran.

Seperti yang kita ketahui bahwa pemerintahan Biden tengah berupaya menekan Iran untuk bernegosiasi dalam perjanjian tahun 2015, yang membatasi program nuklir Teheran, yang sempat terbengkalai pada masa kepemimpinan Trump. Dimana pemerintahan Biden sejatinya telah berkomitmen untuk kembali berperan aktif dalam menjaga “perdamaian dunia” melalui pengendalian senjata khususnya senjata berbasis nuklir, salah satunya dengan kembali merajut hubungan militer berbasis nuklir antara AS dan Iran.

Namun hingga detik ini Teheran masih menolak mentah-mentah upaya perundingan nuklir bersama pihak US dan negara-negara Eropa. Kemudian Iran dan pemerintahan baru Presiden AS Joe Biden pun terus berselisih tentang siapa yang harus mengambil langkah pertama untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir 2015. Iran bersikeras AS harus mencabut sanksi yang secara sepihak diberlakukan US sejak 2018 lalu terlebih dahulu, sementara Washington mengatakan Teheran harus lebih dulu kembali mematuhi kesepakatan Wina 2015 yang telah dilanggar secara progresif oleh Iran (Aljazeera.com, 28/02/2021).

Lebih jauh lagi pada hari Minggu (28/02), kepala nuklir Iran mendesak Dewan Gubernur 35 negara Badan Energi Atom Internasional (IAEA) untuk tidak mendukung desakan AS yang secara masif mengkritik keputusan Teheran untuk mengurangi kerjasamanya dengan pengawas nuklir PBB. Juru bicara Kementrian Luar Negeri Iran, Saeed Khatibzadeh, kemudian mendesak Amerika untuk mengakhiri “sanksi ilegal dan sepihak” serta kembali pada komitmen awalnya, tanpa harus melalui negosiasi palsu di bawah pengawasan nuklir PBB.

Dari sini kita melihat bagaimana pihak AS begitu mudahnya mengorbankan negeri-negeri muslim pada umumnya dan Irak serta Suriah khususnya, hanya demi meraih tujuannya dalam memuluskan kesepakatan nuklir bersama Iran. Sayangnya pihak Teheran yang sejatinya adalah bagian dari kaum muslimin pun malah secara terang-terangan melakukan berbagai perundingan dengan pihak barat, termasuk dengan Amerika, negara-negara Eropa serta Rusia, tanpa memerdulikan banyaknya nyawa yang harus dikorbankan di Irak dan Suriah. Padahal ambisi US dan Iran tersebut hingga kini kian menghancurkan kehidupan rakyat Irak dan Suriah khususnya serta kehidupan kaum muslimin secara menyeluruh. 

Maka sampai kapan negeri-negeri muslim akan terus menjadi papan catur yang begitu mudah diadu domba serta disulutkan api konflik di dalamnya? Sampai kapan pula tanah-tanah kaum muslimin harus senantiasa bersimbah darah dan menjadi medan tempur strategis bagi para penjajah, terutama US dan sekutunya, guna menancapkan hegemoni mereka?

Demikianlah harga yang harus dibayar umat tatkala kaum muslimin kehilangan Junnah (perisai) mereka, Daulah Khilafah Islamiyah. Dimana umat akan senantiasa berada dalam bayang-bayang kehancuran, perpecahan, kebinasaan dan kesengsaraan tanpa adanya pelindung dan pemersatu kehidupan mereka. Padahal sudah sepatutnya kita merenungi sabda Rasul saw, “(Imam/Khalifah itu tak lain) laksana perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng” (HR. Bukhari dan Muslim).

Wallahu a'lam bi ash-shawab.



Oleh Karina Fitriani Fatimah

(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs-Universität Freiburg, Germany)

Posting Komentar

0 Komentar