Singkong untuk Food Estate, Keuntungan Milik Petani?

 


Krisis pangan merupakan hal yang dikhawatirkan seluruh negara di tengah wabah saat ini seperti yang dikatakan oleh FAO. Melihat hal tersebut maka langkah pemerintah adalah dengan menggencarkan food estate.

Saat ini pemerintah sedang mengembangkan produksi singkong dalam jumlah besar. Yaitu yang dilakukan oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dalam menargetkan pembangunan area lahan kawasan perkebunan singkong yang mencapai 30 ribu hektar pada 2021 (Republika.co.id 14/3/2021).

Selain padi, singkong juga dipilih dalam proyek ini. Hal itu karena singkong relatif lebih mudah dikembangkan dan memiliki banyak produk turunan. Oleh karena itu yang akan dibangun bukan hanya kebun, tetapi juga turunannya sampai dengan industrinya.

Tepung yang berbahan baku singkong ini banyak diperlukan untuk membuat berbagai pangan kering dan basah. Yaitu sebagai bahan baku dan bahan pembantu dalam berbagai industri, terutama industri pangan, pakan dan farmasi.

Seperti diolah menjadi sirup glukosa dan dekstrin oleh berbagai industri, antara lain industri kembang gula, pengalengan buah, pengolahan es krim, minuman dan industri peragian. Tepung tapioka juga digunakan sebagai bahan campuran (pengental), bahan pengisi dan bahan pengikat dalam industri makanan dalam pembuatan puding, sop, makanan bayi, es krim, dll. (tabloidsinartani.com 26/7/2019).

Pemerintah menargetkan bahwa proyek ini akan meningkatkan nilai tambah produksi sektor pertanian lokal, penyerapan tenaga kerja pun meningkat hingga 34.4%. Selain itu harga pangan akan lebih murah karena produksi melimpah, juga tak lupa akan terbukanya potensi ekspor pangan ke negara lain. 

Dalam pengerjaannya, Kementerian PUPR bersinergi bersama Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Kementerian BUMN, dan Kantor Staf Presiden (KSP). Semua itu dilakukan untuk mensinkronisasi program kerja pengembangan food estate di kawasan aluvial pada lahan Eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) untuk budidaya padi dan perluasannya untuk budidaya singkong di Provinsi Kalimantan Tengah (setkab.go.id 2/9/2020).

Dari banyaknya kementrian yang akan ikut proyek tersebut maka akan ada pembagian tugas. Seperti misalnya kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyiapkan rumah tinggal untuk pekerja yang menggarap food estate di Kalimantan Tengah. Yang komplek hunian ini akan dikelola di bawah Kementerian Pertahanan, karena nantinya terdapat pabrik pengolahan singkong di kawasan food estate Kalteng ini.

Dalam menangani komplek hunian tersebut, kementrian PUPR mendapat tambahan dana sebanyak Rp 34 trilyun. Dana tersebut juga digunakan untuk pemulihan ekonomi dalam membangun kawasan industri di Batang dan Subang.

Proyek Besar di Tengah Wabah

Tak ditampik lagi bahwa program kawasan pangan berskala luas (food estate) ini akan menarik negara-negara lain untuk berinvestasi di Indonesia. Sebut saja Korea Selatan, Uni Emirat Arab, Qatar, hingga China. Mereka sudah siap untuk menginvestasikan dananya soal food estate ini. 

Namun demikian M Khudori, pengamat pertanian mengatakan bahwa kesuksesan proyek besar ini tergantung dari skemanya. Dalam wawancara dengan Kompas TV pada 15/8/2020, ia katakan bahwa ada kurang lebih dua hal yang masih belum jelas dalam penggarapan proyek ini. 

Pertama dikarenakan lahan yang akan dikerjakan begitu luas. Tentu sangat tidak mungkin menggunakan petani lokal. Lalu keterlibatan petani lokal sampai seberapa jauh bila proyek ini akan dilaksanakan oleh profesional, dengan mengimpor petani dari luar negeri. 

Kedua yang masih harus ada kejelasan adalah teknologi canggih dalam penggarapannya. Saat ini profil petani Indonesia banyak yang tidak lulus SD, bahkan sepertiganya berusia di atas 45 tahun. Sehingga apakah pada saat penggarapannya akan ada pemilihan petani lokal yang sadar teknologi ataukah ada transfer teknologi pada petani yang sudah berumur tersebut?     

Kepada Siapa Negara Berpihak?

Setidaknya dengan adanya dua hal ketidak jelasan itu saja di tengah terburu-burunya proyek ini digarap, maka justru mengandung kecurigaan. Apakah negara berpihak pada petani yang di awal bertujuan untuk mensejahterakan mereka. Ataukah justru membahagiakan investor? Karena sebelumnya, proyek food estate di Pulang pisau Kalteng justru merugikan petani akibat gagal panen padi diakibatkan berubahnya pola tanam agar sesuai dengan keinginan pemerintah. 

Maka dalam hal ini haruslah dipikirkan secara mendalam, bagaimana cara yang jitu dalam mensejahterakan masyarakat. Bukan hanya sebagai pemanis bibir, namun kebijakan justru mengarah kepada yang tajir. 

Negara merupakan perisai bagi masyarakat, begitulah Islam mengatur. Layaknya sebuah perisai, maka negara harus melindungi rakyatnya dari segala hal yang merugikan. Baik dari sisi kesejahteraan, kerusakan pikiran, kerusakan sosial dan sebagainya. Oleh karena itu negara harus mendahulukan kepentingan rakyat dibanding kepentingan para pemilik modal.

Sistem kapitalis yang saat ini mengglobal, memang banyak membelokkan arah dari tujuan awal. Salah satunya tentang menomor satukan kesejahteraan rakyat. Sadar ataupun tidak, kesejahteraan masyarakat telah banyak tergadaikan apalagi dalam masa wabah saat ini. 

Oleh karena itu satu-satunya formula untuk mensejahterakan rakyat hanyalah dalam Islam. Sepanjang sejarahnya selama lebih dari 700 tahun Islam menjadi kiblat dunia. Tinta emas sejarahpun menulis bahwa tak ada yang dapat menandingi keadilan Kholifah sebagai penguasa juga kesejahteraan rakyat sampai saat ini. 

Maka, sistem aturan mana lagi yang dapat menyelesaikan masalah kesejahteraan rakyat daripada konstitusi buatan Yang Maha Esa. []

Wallahu’alam.


Oleh Ruruh Hapsari


Posting Komentar

0 Komentar