Syamsul Hadi, menunjukkan gudang garamnya yang atapnya bersawang. Sebanyak 4 ton garam miliknya tersimpan. Namun sudah tiga kali musim kembalit garamnya tak juga dilirik. Pemerintah justru meminang garam impor dengan jumlah yang tak sedikit. Dengan dalih kualitas garam lokal tak sebaik garam tetangga yang mereka lirik.
Menurut Menteri Perdagangan Lutfi, garam itu namanya sama, rasanya sama namun kualitasnya berbeda. Kualitas garam industri sangat menentukan output hasil produksi. Misalnya, industri aneka pangan memiliki standar khusus untuk menghasilkan produk yang sesuai. Misalnya mi Instan jika garamnya tidak sesuai dengan standar maka akan mengancurkan kualitas mi instannya.
Untuk tahun ini Indonesia akan mengimpor 3,07 ton garam lebih besar jumlahnya dari tahun lalu (2020) yang hanya 2,7 ton. Kebijiakan mengimpor garam tersebut diputuskan oleh tiga menteri sekaligus yakni Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmit. Dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan garam industry. Pemerintah memperkirakan kebutuhan garam nasional mencapai 4,5 juta ton tahun lalu. Sementara itu, produksi dalam negeri berkisar 3,5 juta ton.
Ketua Himpunan Masyarakat Petambak Garam (HMPG), Mohammad Hasan mengatakan bahwa mengimpor garam karena kualitas hanya alasan pembenaran bagi importir. Karena telah ada upaya dari pemerintah melalui program peningkatan kuantitas dan kualitas garam rakyat. Di antaranya melalui penerapan teknologi berupa geoisoiator atau membrane.
Garis Pantai Terpanjang Kedua Namun Impor Terjadi Setiap Tahunnya
Indonesia memiliki garis pantai terpanjang ke dua di dunia (kkp.go.id). Namun Indonesia langganan impor setiap tahunnya. BPS mencatat impor garam pertahunnya 2,08 ton (2010), 2,83 ton (2011), 2,22 ton (2012), 1,92 ton (2013), 2,26 ton (2014), 1,86 ton (2015), 2,14 ton (2016), 2,55 ton (2017), 2,83 ton (2018) dan 2,59 ton (2018).
Negara yang menjadi langganan Indonesia untuk impor garam adalah Australia, India, China, Selandia Baru, Jerman dan Denmark. Dan lucunya Indonesia tiap tahun juga selalu impor garam dari Singapura, negara yang memiliki luas daratan dan lautan sangat lebih kecil dibandingkan Indonesia. Bahkan tahun 2011 Indonesia pernah mengimpor garam sebanyak 24.000 ton dari Singapura atau setara dengan 1,4 juta dolar AS.
Indonesia paling banyak mengimpor garam dari Australia. Disusul India dan Cina. Selama periode 2010-2019 impor garam terbanyak dari Australia terjadi pada tahun 2018, yakni sebesar 2,6 juta ton. Angka tersebut senilai dengan harga 90,65 juta dolar AS. Sedangkan impor garam terbesar dari India selama periode yang sama, terjadi pada tahun 2011, yakni sebanyak 1,02 juta ton. Nilai impornya setara dengan 54,04 juta dolar AS. Selain itu China juga menjadi salah satu negara yang rajin mengekspor garamnya ke Indonesia, dengan kisaran antara ratusan ton hingga puluhan ribu ton per tahun. Selama periode 2010-2019, impor garam terbesar dari China terjadi pada 2015 yakni sebanyak 37.404 ton atau setara dengan 2,63 juta dolar AS. (Kompas, Maret 2021).
Stok Garam Impor Tahun Lalu Masih Menumpuk
HMPG yang dimotori oleh Hasan pun meminta Gubernur Jawa Timur untuk stop impor. Karena stok garam dalam negeri masih menumpuk baik di Jawa Timur maupun nasional. Karena, stok garam pada 2020 lalu sampai saat ini masih menumpuk. Total stok 1,2 juta nasional dan 600 ribu ton atau separuhnya berada di Jatim. Dari 600 ribu ton yang ada di Jatim itu, paling banyak di Sampang sebesar 325 ribu ton. Sementara PT Garam sendiri masih menyimpan 150 ribu stok garam di tahun 2019 dan sebesar 100 ribu ton pada tahun 2020. Jadi total di PT Garam sendiri ada 250 ribu ton (halojatim.com, Maret 2021).
Ketua Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGI) Jakfar Sodikin pun mengatakan hingga Januari 2021 ada sisa 800 ribu ton stok garam petani yang tidak terserap dari tahun-tahun sebelumnya karena pemerintah lebih cenderung mengandalkan impor (Tirto.id, Januari 2021).
Stok yang menumpuk juga masih ada di beberapa daerah. Misalnua Probolinggo Raya, stok garam sisa panen tahun sebelumnya masih ada dan belum terjual, total mencapai 2 ribu ton lebih garam tersimpan di rumah-rumah petambak garam. Muhsin, Petani yang memiliki satu hektar lahan garam mengatakan saat ini di gudang miliknya masih ada timbunan garam sebanyak 2000 sak yang tak laku sejak tiga tahun lalu. Begitu pula di Karawang stok garam tahun lalu masih ada 6000 ton di gudang Koperasi Garam.
Garam Lokal Seharga Rp100-Rp200/kg, Garam Impor Rp1000-Rp1500/kg
Para petani garam beberapa tahun ini meresahkan masuknya garam impor yang mematikan garam lokal. Ketua Umum Pimpinan Pusat Serikat Nelayan NU, Wicaksono mengatakan berdasarkan survey Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU) dari para petani garam di Indramayu, Cirebon, Jawa Timur dan dari Nusa Tenggara Timur (NTT), harga garam hanya Rp 100-200 per kilogramnya. Bahkan ada yang di bawah Rp 100. Harga garam yang terlalu murah itu membuat petani tak mendapat keuntungan.
Bahkan, para petani di beberapa sentra produksi mengaku hasil panennya hanya bisa untuk membeli 15 kilogram beras. Sementara harga garam impor yang dibeli Indonesia Rp 1.000 per kilogram. "Bahkan (garam impor) dari china sendiri sekitar Rp 1500 per kg. Sedangkan hari ini harga garam di level petani hanya menyentuh Rp 100-200 kg," ungkap Wicaksono. (Kompas, Maret 2021). Modal yang dikeluarkan tidak sebanding dengan penghasilan yang didapat. Petani garam mengalami kerugian. Bahkan kini beberapa kelompok tani enggan menjadi petani garam dan beralih profesi menjadi petambak udang hingga kuli bangunan.
Kualitas Garam Lokal Belum Standar Karena Teknologi Tidak Memadai
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan pemerintah memang telah membangun washing plant untuk mencuci garam di berbagai daerah. Tapi kualitas garam yang dihasilkan masih belum sesuai dengan standar kualitas industri. Ia mengatakan, garam dari fasilitas pencucian sesuai SNI 3556:2016, namun spesifikasinya untuk garam konsumsi beryodium, dengan syarat mutu kadar NaCl 94 persen, sehingga output garam dari washing plant tidak dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri petro kimia dari sisi kualitas.
Menurutnya, garam yang dicuci dengan kualitas tidak begitu baik. Kadar impuritis (zat pengotor) pada garam masih tinggi, serta kadar NaCl masih dibawah kebutuhan industri petro kimia. “Kadar NaCl yang dipakai kita 99 persem, sedangkan produksi dalam negeri kadar NaCl paling tinggi 96 persen. Selain itu mesin pencucian garam hanya kapasitas 40 ribu ribu ton pertahun, sedangkan kebutuhan industri petrokimia mencapai 2,5 juta ton per tahun. (liputan6.com, Februari 2021).
Swasembada Garam Hanya Ilusi
Indonesia pernah dengan percaya dirinya menargetkan swasembada garam pada akhir 2015. Saat itu Kmenterian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian tengah merumuskan peta jalan swasembada garam nasional. Pemerintah siap membeli teknologi pengolahan garam dengan dana alokasi tambahan APBN di kementerian KKP dari subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). “Kita beli teknologinya. Nelayan garam kita susah karena impor garam, tidak ada lagi alasan hanya untuk kepentingan segelintir pengusaha garam,” kata Susi Pudji Astusi, Mantan Menteri Perikanan dan Kelautan. (Mongobay, 2015).
Kemudian target dimundurkan menjadi swasembada di tahun 2019 dan akhirnya ditargetkan kembali di tahun 2022. Namun target tersebut hanyalah ilusi. Hanyalah sebuah janji kepada petani. Nyatanya, impor berulang terjadi. Tak tanggung-tanggung impor melebihi kebutuhan dalam negeri. Hingga stok dalam negeri dari sisa impor tahun lalu masih menumpuk, namun kebijakan impor tetap tak di stop. Bahkan tahun ini impor garam yang dilakukan akan menjadi impor terbesar sejarah Indonesia. Menurut data UN Comtrade, impor garam terbesar RI pernah dicapai pada 2018 sebanyak 2,839 juta ton dan 2011 2,835 juta ton. Sementara tahun ini direncanakan akan impor sebesar 3,07 ton.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves Safri Burhanudin mengatakan kebutuhan garam industri ini meningkat, dengan demikian sulit untuk swasembada. "Kalau bisa bicara garam industri kita tidak bisa swasembada kalau garam konsumsi (ndustri tinggi). (CNBC, Maret 2021).
Impor Bukan Solusi, Kebijakan Impor adalah Bentuk Liberisasi Ekonomi
Impor sepertinya menjadi solusi oleh pemerintah di negeri ini. Padahal impor bukanlah solusi. Justru menambah masalah baru. Karena kran impor membuat APBN negara bengkak. Dibandingkan mengeluarkan uang untuk membeli garam luar, lebih baik uanganya untuk mengembangkan teknologi untuk menghasilkan kualitas garam yang lebih optimal. Karena yang selalu dijadikan dalih untuk impor adalah kualitas garam lokal yang tidak standar. Apalagi Indonesia sudah didukung dengan garis pantai yang terpanjang ke dua di dunia. Dengan total lahan untuk menambak garam sekitar 27.047,65 ha.
Kebijakan impor ini tak lepas dari kebijakan liberalisasi ekonomi (ekonomi neolib) yang memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas. Berbagai bentuk perjanjian perdagangan bebaspun dipaksakan melalui lembaga dunia- World Trade Organization (WTO). Sehingga negara miskin pun harus bersaing dengan negara maju di pasar bebas.
Kekuatan ekonomi yang tak sebanding membuat negara miskin harus mau membuka keran impor ke negaranya. Meskipun mereka mampu memenuhi kebutuhan sendiri karena sudah terlanjur menandatangani perjanjian perdagangan bebas. Akibatnya negara-negara berkembang terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju.
Cara Islam Menyelesaikan Impor Garam
Masalah garam dari tahun ke tahun tak terselesaikan karena pemerintah tak menggunakan hukum syariah. Melainkan hukum buatan manusia sehingga bisa bertindak sesukanya alias pro kapitalis. Selain itu pemerintah disini hanya bertindak sebagai regulator. Padahal pemerintah bukan hanya sebagai regulator tapi pemerintah harus bertanggungjawab langsung mulai perencanaan hingga terealisasi yaitu pemenuhan hajat rakyat dan keberlangsungan usaha petambak
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya, “..Imam (Khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya” (HR Ahmad, Bukhari). Artinya, di antara kepentingan kehadiran pemerintah dan negara adalah pengurus pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu publik. Baik pangan, air bersih, sandang, dan papan. Sehingga setiap individu masyarakat terjamin pemenuhannya secara ma’ruf (menyejahterakan).
Sehingga pemerintah harus terlibat langsung mulai dari proses produksi hingga konsumsi.
1.Produksi
memaksimalkan potensi sumber daya alam. Yakni dengan mensuport para petambak memaksimalkan produksi melalui edukasi & pelatihan, dukungan sarana produksi, infrastruktur penunjang.
2. Distribusi
yakni menciptakan pasar yang sehat dan kondusif, menghilangkan penyebab distorsi pasar.
3. Konsumsi
Dalam hal ini negara menjamin penyediaan bahan makanan halal dan thayyib.
Pemerintah juga harus sebagai institusi teknis yg menjadi perpanjangan tugas negara yang wajib mengedapankan fungsi pelayanan. Lalu pemerintah juga harus memberikan edukasi dan sangsi yang berefekjera kepada pelaku kejahatan pangan termasuk pelaku kartel. Lalu pemerintah juga harus menyediakan anggaran berbasis baytul mal. Ketika kekurangan dana untuk menghasilkan garam yang berkualitas maka pemerintah bisa menyalurkan dana baitul mal.
Dalam sistem syariah, kegiatan impor dan ekspor merupakan bentuk perdagangan yang hukumnya adalah mubah. Sehingga mau jual beli dari domestik ataupun luar negeri hal tersebut diperbolehkan. Karena dalam ekonomi syariah yang dilihat dilihat adalah orang yang melakukan perdagangan bukan aspek perdagangan.
Meski begitu pedagang di luar wilayah daulah islam, maka arus orang, barang, dan modal yang keluar masuk tetap di bawah kontrol Departemen Luar Negeri (Dâirah Khârijiyyah). Sehingga jika dikelompokan menurut negara asalnya, menjadi tiga: pertama Kafir Harbi, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang bermusuhan dengan negara Islam dan kaum Muslim; kedua, Kafir Mu âhad, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang mempunyai perjanjian dengan negara Islam; dan ketiga Warga negara Islam.
Warga negara kafir harbi, diperbolehkan melakukan perdagangan di negara Islam, dengan visa khusus, baik yang terkait dengan diri maupun harta mereka. Kecuali warga negara “Israel”, Amerika, Inggris, Prancis, Rusia, dan negara-negara kafir harbi fi’lan lainnya, sama sekali tidak diperbolehkan melakukan perdagangan apa pun di wilayah negara Islam.
Adapun negara kafir muâhad, boleh tidaknya mereka melakukan perdagangan di wilayah negara Islam tergantung pada isi perjanjian yang berlaku antara Khilafah dengan negara mereka. Sementara warga negara Khilafah, baik Muslim maupun nonmuslim (ahli dzimmah), mereka bebas melakukan perdagangan, baik dalam maupun luar negeri. Hanya saja, mereka tidak boleh mengekspor komoditas strategis yang dibutuhkan di dalam negeri sehingga bisa melemahkan kekuatan Daulah islamiyah dan menguatkan musuh.
Selain itu untuk praktik makelar atau samsarah yang menjadi penghubung importir dengan pembuat kebijakan. Dimana makelar tersebut mendapatkan komisi maka hal ini tidak diperbolehkan karena melanggar hukum Islam.
Terlihat jelas bahwa hukum islam begitu sempurna pengaturannya sangat sempurna baik untuk perdagangan dalam maupun luar negeri. Pengaturan yang bersumber langsung dari Allah bukan hukum buatan manusia mampu mengatasi keran impor yang dipaksakan ini. Tak ada istilahnya negara miskin dipaksa untuk membeli produk negara maju. Karena negara daulah memiliki aturan sendiri tanpa di bawah tekanan apalagi oleh warga negara kafir harbi.
Sebagaimana firman Allah Swt., “Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS Al-Nisâ’ ayat141).
Oleh Nely Merina S.P
0 Komentar