Tidak Boleh Memandang Amanah Kepemimpinan Sebagai Sesuatu Yang Menggiurkan

 


Menyikapi fenomena terkait kepemimpinan, Ustadzah Esty mengingatkan bahwa jabatan adalah amanah. Beliau mengutip penjelasan QS. An Nisa:58 saat mengisi kajian Tadabbur Al Qur’an  yang diselenggarakan secara virtual Sabtu, 27/03/2021.

Dalam penjelasan itu, beliau menggambarkan definisi amanah. Mengutip pernyataan Imam Al Biqai bahwa amanah meliputi semua kewajiban yang harus ditunaikan terhadap orang lain. “Artinya dalam amanah itu terdapat hak orang lain. Ketika kita tidak menunaikan amanah itu berarti ada hak orang lain yang kita abaikan,” tegasnya.

Faktanya, sudut pandang tentang amanah kepemimpinan yang muncul di tengah-tengah masyarakat bukanlah sudut pandang Islam. Sudut pandang yang muncul adalah sudut pandang kapitalis yang menyamakan amanah kepemimpinan dengan jabatan dari sebuah pekerjaan. Semakin banyak pengalaman, jam kerja dan skill-nya,  maka semakin tinggi upah atau honor yang ia dapatkan.  Sudut  pandang inilah yang mewarnai sistem kita saat ini. Orang berlomba-lomba untuk menjadi anggota DPR, bahkan berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi yang paling tinggi di negeri ini, ungkapnya.

Beliau menambahkan, jadi mereka ini tidak sedang berjuang untuk kepentingan rakyat tapi justru sedang berjuang untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Aspek inilah kemudian yang harus kita luruskan.

Berbeda dengan sudut pandang seorang muslim. Jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kelak di hari kiamat. Itu sebabnya seorang muslim tidak boleh memandang amanah kepemimpinan sebagai sesuatu yang harus ia raih, ia berobsesi untuk mendapatkannya.

Beliau menambahkan dengan mengutip fenomena yang terjadi di masa Rasulullah, “Rasulullah pernah menyampaikan kepada Abdurrahman Bin Samurah ketika ia meminta jabatan kepemimpinan, Rasulullah kemudian berkata ‘Jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong oleh Allah tetapi jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu’” (HR. Bukhari Muslim).  

Beliau juga menggambarkan bagaimana dulu Abu Bakar Ash Shiddiq ketika dibaiat menjadi khalifah, beliau menangis dan mengatakan ‘Saya bukanlah orang yang terbaik diantara kalian maka jika kalian melihat saya ini salah maka tegurlah.’ Ini adalah sebuah fenomena yang jika kita bandingkan sangat jauh berbeda dengan kondisi saat ini.

Beliau juga menegaskan bahwa hal ini menunjukkan bahwa amanah kepemimpinan itu bukan persoalan yang harus diperebutkan. Islam memandang amanah kepemimpinan seorang khalifah bukan terobsesi untuk mendapatkan keuntungan yang banyak, melainkan mengemban tanggung jawab umat.

Ustadzah Esty juga menjabarkan dengan sangat rinci bagaimana pengertian amanah itu di berbagai dalil. Beliau mengungkapkan bahwa jika kita kulik kembali ada banyak dalil lain yang mengungkapkan tentang larangan mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kita. Amanah itu diperintahkan dan berkhianat itu dilarang. Ditambah lagi ada dalil yang mencela orang yang tidak menunaikan amanat. Itu menunjukan bahwa amanat ini bersifat wajib.

“Jika amanat telah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat. Dia (Abu Hurairah) bertanya ‘wahai Rasulullah, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu? Beliau menjawab, ‘jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat’.” (HR. Bukhari).

 

Reporter: Babay

Posting Komentar

0 Komentar