Umat tak Boleh Euforia dulu, Review Pencabutan Lampiran Perpes Miras Tidak Mencabut Legalitas Miras

                                        


Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut lampiran Perpres yang mengatur pembukaan investasi baru industri miras pada 2 Maret 2021. Dalam lampiran tersebut dijelaskan soal aturan pembukaan bidang usaha miras.

Sebagaimana diketahui, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman telah menuai banyak kontra dari berbagai pihak, pasalnya Perpres tersebut dapat menunjang distribusi miras secara signifikan.

Namun, setelah sebulan disahkannya Perpres tersebut,



presiden Jokowi memutuskan mencabut lampiran III yang tertuang dalam pasal 2 Perpres Nomor 10 tahun 2021 yang berisi sebagai berikut :

Pasal 2

(1) Semua Bidang Usaha terbuka bagi kegiatan Penanaman Modal, kecuali Bidang Usaha:

a. yang dinyatakan tertutup untuk Penanaman Modal; atau

b. untuk kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat

Sementara itu, lampiran yang mengatur soal pembukaan investasi baru bidang usaha miras tertuang dalam lampiran III salinan Perpres yang berisi tentang daftar bidang usaha minuman beralkohol beserta syaratnya dalam Perpres investasi miras. Dan lampiran tersebutlah yang dibaru saja dicabut oleh pak presiden Jokowi. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa mencabut lampiran tersebut bukan berarti meng-ilegalkan miras ditanah air.

Mengkaji ulang, mengenai Perpres, patut kita pertanyakan apakah cukup dengan mencabut lampiran III yang berisi tentang penanaman modal dalam bisnis miras? Apakah lantas masyarakat dapat terhindar dari bahaya miras bila pemerintah hanya mencukupkan di pencabutan keputusan penanaman modal miras? Bukankah pemerintah selama ini masih melegalisasi miras tumbuh subur di Indonesia?

Inilaih yang kemudian patut kita bahas dan kaji, umat tak boleh eforia mengetahui keputusan tersebut, karena hanya mencabut sesuatu yang seharusnya tidak ada merupakan fenomena yang tak cukup membawa angin segar bagi umat, pasalnya legalitas miras masih terasa di kehidupan sekuleritas tanah air.

Pemerintah masih tidak fokus terhadap masifnya angka penggunaan miras di tanah air, bahkan hingga sempat mensahkan penanaman modal miras, artinya ini merupakan bentuk dukungan secara terbuka terhadap suburnya produsen miras yang akan berujung pada antiklimaks kerusakan bangsa sehingga menjadi paradoks nyata terhadap nilai budaya Nusantara yang luhur yang selalu lantang disuarakan oleh pemerintah, menimbang pula mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam yang mana miras bukan hanya produk yang di hukumi haram secara agama, namun juga memberikan dampak negatif bahkan berpotensi merusak generasi bangsa.

Ini bukan kali pertama, rezim mengeluarkan kebijakan menghebohkan, telah tercatat banyak kebijakan politik yang kontraproduktif terhadap intervensi pembenahan kesejahteraan rakyat terhitung selama kurang dari dua periode, dan yang tak dapat dipungkiri, ini telah menambah ingatan kolektif masyarakat terhadap etos kerja rezim yang dinilai tak fokus terhadap pembenahan kehidupan berbangsa, namun meski begitu, hal ini tak kunjung membuat pemerintah sadar dan lekas evaluasi agar tidak membuat kegelisahan masyarakat semakin menjadi.

Ditengah pandemi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tentunya mengalami penurunan, resesi pun tak dapat dihindari, dan krisis ekonomi yang menyerang global pun tak dapat dibendung sehingga tentunya memberikan dampak terhadap laju perekonomian makro tanah air. Meski Krisis ekonomi melanda negeri, namun bukan berarti kita justru menyerahkan akal dan martabat hingga terperosok dalam krisis moral dan etika, bahkan parahnya bila sampai melupakan instrumen ilahi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun ironisnya, pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab dalam membenahi nilai dan moral bangsa, justru melegalisasi miras yang merupakan pemicu kerusakan akal sehat anak bangsa, bahkan hingga sempat menjadikan miras sebagai ladang penamaan investasi, seolah dapat dimaklumi dalam rangka menambal kebocoran ekonomi bangsa.

Ini merupakan bukti bahwa pemerintah bukan hanya gagal mengelola SDA yang begitu melimpah sebagai komoditas pemenuhan kebutuhan primer masyarakat dan menjadi modal pemasukan keuangan negara, belum lagi pemerintah pun telah gagal dalam upaya membenahi nilai dan moral bangsa, bahkan tak tanggung-tanggung hingga tergiur menjadikan miras sebagai salah satu pemasukan negara.

Maka timbul dalam benak umat, Apakah bangsa ini Sebegitu miskin hingga seolah tak ada yg tersisa untuk dijadikan sebagai penunjang pendapatan negara? 

Tak hanya itu, pemerintah seolah lupa dengan upayanya mencapai cita-cita bangsa yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan legalitas miras merupakan upaya yang kontraproduktif dalam mencapai cita-cita bangsa.

Pasalnya kita mengetahui bahwa tanpa adanya legalitas miras, Indonesia sudah memiliki segudang kerusakan generasi muda, salah satunya maraknya penggunaan narkoba. Data Kemensos mencatat Pada tahun 2020 mengenai jumlah korban penyalahgunaan NAPZA yang dilayani sebanyak  21.680 orang.

Angka 21.680 orang yang terindikasi narkoba sepanjang tahun 2020 membuktikan bahwa negara belum mampu mengentaskan narkoba, sedangkan data tersebut hanyalah data kotor, dengan asumsi bahwa adanya kemungkinan kasus penyalahgunaan narkoba yang belum terdata atau memang masih belum di entaskan di luar sana, sedangkan belum terhitung pengedarnya, produsennya serta masih banyak lagi pihak yang berkontribusi dalam transaksi narkoba. Artinya pr pemerintah belum tuntas dalam membasmi narkoba yang kini telah menjalar banyak kalangan, bukan hanya yang tua bahkan yang muda. Namun atas dalil "investasi" dalam rangka menambah input keuangan negara, dengan mudahnya melegalisasi miras yang tentunya berdampak pada masifnya penambahan angka penggunaan narkoba.

Tak cukup bila meniadakan yang memang seharusnya tiada seperti "penanaman modal miras", yang umat butuhkan adalah larangan terhadap apa yang dilarang oleh sang pencipta, dan miras adalah larangan keras yang tertuang dalam nas Al-Qur'an dan Sunnah, maka umat tak boleh berhenti memantau pemerintah hanya karena pencabutan lampiran III dalam Perpres no 10 tersebut, umat harus terus bergerak dalam menegakkan syariat secara kaffah.

Pasalnya perlu diingat bahwa pemerintah tidak meng-ilegalkan miras di tanah air, padahal legalisasi miras bukan hanya memberikan umpan terhadap penggunaan narkoba, namun juga sebagai pintu gerbang segala bentuk kriminalitas, bagaimana tidak? miras adalah minuman yang memabukkan, terlepas dari jumlah kandungan alkohol yang diklasifikasikan menjadi beberapa golongan, namun tetap saja alkohol sedikit apapun akan menstimulasi otak yang berdampak pada hilang nya keseimbangan tubuh hingga kehilangan kendali dalam mengontrol tubuh dengan baik, selain itu dapat dikatakan miras merupakan alat untuk merusak akal, pasalnya miras mengakibatkan sang peminum nya mabuk, hingga dapat berpotensi melakukan hal yang diluar kendali dirinya, dan saat akalnya tak mampu membedakan antara Haq dan bathil, Maka tak mustahil, sang peminum dapat bertindak kriminal, seks bebas, bahkan hingga membunuh.

Namun fenomena ilegalisasi miras adalah hal yang mustahil dalam bayang-bayang sistem kapitalisme, selama ada permintaan maka disana ada kesempatan untuk dijadikan sebagai sumber pemasukan kas negara, tak peduli apakah itu komoditas haram, menyebabkan kerusakan bahkan menghancurkan bangsa, selama pemerintah masih terobsesi terhadap kapitalis materalis, maka umat akan terus terbelenggu dalam jerat-jerat penderitaan dan kemaksiatan.

Ketahuilah bahwa Pemerintah yang melegalisasi miras merupakan pemerintah yang tak peduli dengan rakyatnya, pemerintah yang kapitalistik hanya menjadikan kebathilan sebagai kesempatan untuk meraih keuntungan tanpa memikirkan konsekuensi terhadap pihak yang di rugikan, padahal miras bukan saja merugikan secara sosiologis dan empiris, melainkan juga pelanggaran hukum agama, yang merupakan mayoritas penganutnya bertempat tinggal di negeri ini.

Perlu kembali diingat, mengenai dalil presiden saat mensahkan Perpres no 10, dikatakan bahwa ini merupakan bentuk upaya pemerintah demi menjaga kearifan lokal terhadap 4 daerah yang disebutkan antara lain : Bali, NTT, Sulawesi Utara, dan Papua, padahal ini merupakan dalih agar dapat meraih keuntungan investasi dari benda haram tersebut.

Disamping itu monopoli interpretasi makna "kearifan lokal" ini tengah terjadi dalam fenomena legalitas miras, jika beberapa waktu lalu rezim terindikasi anti dengan syariat Islam yang memberikan kesan "kearab-araban" dengan alasan tidak mencerminkan budaya Nusantara, contohnya SKB 3 Mentri yang melarang adanya peraturan kewajiban mengenakan kerudung sebagai seragam pokok sekolah negeri, sekalipun sekolah tersebut berada di Sumatera Barat yang mengadopsi nilai-nilai agama Islam yang cukup kental dalam kehidupan sehari-hari masyarakat setempat, namun tidak tetap saja dalil kearifan lokal ditolak mentah-mentah oleh pemerintah.

Padahal seharusnya bisa saja kita menggunakan dalil "kearifan lokal" yang kini tengah dimaknai oleh pemerintah sebagai dikotomi kultur antara daerah, sehingga seharusnya sah-sah saja kita menjadikan adab berpakaian dalam suatu agama yang dianggap luhur dalam daerah tersebut sebagai aturan berseragam dalam sekolah, sama saja seperti pemerintah yang melegalkan investasi miras dan distribusi di 4 wilayah tersebut dengan dalil "kearifan lokal" karena dinilai umat muslim sebagai minoritas disana.

Namun adanya 3 SKB dan legalitas miras di 4 wilayah tersebut bukankah ini menjadi sebuah paradoks nyata

Lantas apa makna kearifan lokal yang dimaksud? Apabila berkenaan dengan syariat Islam, kearifan lokal diartikan sebagai semboyan yang disepakati oleh para pendiri bangsa yakni "bhinneka tunggal Ika" sehingga seolah syariat Islam adalah pendatang yang tidak pantas dijadikan sebagai nilai luhur bangsa, namun lantas mengapa, kearifan lokal dalam legalitas miras justru diartikan oleh rezim menjadi sebuah dikotomi setiap daerah? Maka disini kita menemukan adanya inkonsistensi makna, sehingga dengan semaunya dapat diubah-ubah hanya untuk memenuhi kepentingan penguasa, dan salah satunya demi menambal krisis keuangan negara yang kini terjadi.

Seharusnya pemerintah berhenti membawa-bawa idealisme bangsa seperti Pancasila, NKRI, bhineka tunggal Ika, apabila pemerintah hanya ingin memonopoli makna, sebagian rakyat yang dituduh memecah NKRI hanya karena bercelana cingkrang atau bercadar, atau sekedar berbeda pendapat lantas di beri lebel "anti Pancasila' bukankah ini tidak adil, dan justru pemerintahlah lah yang saat ini terindikasi anti Pancasila jika miras dilegalkan? Dan pemerintah justru akan memecah NKRI secara tidak langsung karena dengan melegalkan miras, moral masyarakat akan dirusak secara perlahan dan bukan tidak mungkin akan mengakibatkan disintegrasi bangsa.

Jika pemerintah merasa paling Pancasila, lantas apakah legalitas miras mencerminkan nilai Pancasila?

Pasalnya, sila pertama Pancasila adalah "ketuhanan yang maha esa" dan larangan miras merupakan larangan agama yang penganut nya mayoritas menjadi penduduk di negeri ini, namun anehnya pemerintah justru abai sehingga ini merupakan bentuk dari kontraproduktif dalam upaya implementasi nilai-nilai Pancasila, lalu jika dikatakan legalitas miras merupakan bentuk menjaga kearifan lokal, apakah mengabaikan larangan ajaran agama yang dianut lebih dari 200 juta penduduk bumi Pertiwi ini adalah bentuk menjaga kearifan lokal tanah air?

Jangan terbuai dengan kabar dicabutnya lampiran III Perpres miras, karena hanya berusia tentang investasi bukan ilegalisasi, dan perlu diingat, bahwa selama pemerintah masih menggantungkan nasibnya kepada para pemilik modal, maka tunggulah waktu, hingga nanti terjadi lagi kebijakan demi kebijakan yang menggerogoti kedaulatan bangsa, yang berbenturan dengan hukum agama, bahkan tak mustahil jika rakyat yang dikorbankan demi meraih investasi dan keuntungan yang ditawarkan oleh para kapitalis.

Sebagai rakyat kecil, kita harus menyadari bahwa negeri ini telah berada di tangan para pemilik modal, sehingga pemerintah pun tak dapat menyetir arah jalannya pemerintahan secara leluasa.

Tak lain, bahwa ini adalah dampak dianutnya paham kapitalistik dalam negeri, menjadikan segala keuntungan sebagai tuhan dalam menggerakkan roda kekuasaan, bukan melahirkan kesejahteraan rakyat melainkan demi mencapai kepentingan para pemilik modal.

Semoga negeri ini segera terlepas dari jerat-jerat para kapitalis. Dan jalan satu-satunya adalah merubah sistem pemerintahan secara keseluruhan hingga selaras dengan kemaslahatan rakyat. 

Namun jika kita masih saja mempertahankan sistem kapitalisme neoliberal yang kini telah hadir menjalar tubuh negeri ini, maka entah sampai kapan penderitaan rakyat akan berakhir. []

Wallahu a'lam bi sawab



Penulis: Dian Fitriani (Pegiat Opini dan Mahasiswi Kesejahteraan Sosial)

Posting Komentar

0 Komentar