Masalah perempuan memang tak pernah habis dibahas sepanjang zaman. Perempuan dengan sejuta pesonanya juga menyimpan sejuta permasalahan, mulai dari penindasan, kekerasan, kehilangan hak hingga intimidasi. Atas segala permasalahan tersebut, tercetus lah peringatan Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day (IWD) sebagai bentuk penyuaraan tuntutan akan hak-hak perempuan setiap tanggal 8 Maret.
Perayaan IWD tiap tahunnya mengambil tema berbeda-beda sesuai isu yang meresahkan perempuan. Tahun ini UN Women mengusung tema "Perempuan dalam Kepemimpinan: Mencapai Masa Depan yang Setara di Dunia Covid-19". Namun, sekalipun tema yang diusung berbeda tiap tahun, ide yang diangkat tetap sama yaitu keadilan dan kesetaraan gender.
Di Bekasi, SPKEP SPSI Bekasi bersama Komite Pekerja Perempuan SPSI Bekasi (KPPSB) menggelar bakti sosial dengan membagikan masker, Air Mineral SPSI, Liflet dan menebarkan aura positif dalam menyambut hari Perempuan Sedunia (IWD) di sekitar Alun-alun Kota Bekasi, Stasiun Kota Bekasi dan tempat lainnya. Tema yang diusung dalam perayaan IWD tahun ini adalah Peningkatan Perlindungan Terhadap Pekerja Perempuan di Indonesia dalam Semua Pekerjaan. Menurut aktivis perempuan Tri Widayati dan Sri Retno Purwaningsih tema ini diangkat mengingat masih terjadi perlakuan diskriminasi, pelecehan seksual dan tindak kekerasan pekerja perempuan yang dilakukan di tempat kerja maupun tempat umum (spsibekasi.org, 8/3/2021).
Kondisi perempuan, khususnya pekerja perempuan di Indonesia memang memprihatinkan. Berbagai tindak kekerasan hingga pelecehan baik fisik, verbal maupun seksual kerap terjadi. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada 2019, menunjukan bahwa jumlah pekerja perempuan mencapai 46.578.850 orang (37,1%). Berbagai persoalan perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja perempuan masih saja melingkupi hingga saat ini. Hasil survey Never Okay Project pada tahun 2018 misalnya, menerangkan bahwa sebanyak 80% Pekerja/Buruh dan Pegawai mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, dan hanya 1% yang berani melaporkannya. Dengan kondisi ini, Komite Pekerja Perempuan SPSI Bekasi (KPPSB) mengajukan tuntuntan kepada Pemerintah Kota dan Kabupaten Bekasi untuk menguatkan perlindungan kepada para pekerja perempuan. Tuntutan tersebut ditujukan kepada perusahaan yang diantaranya mengatur perlindungan maternis perempuan berupa cuti haid, cuti melahirkan, ruang laktasi dll, menyediakan kendaraan jemputan, membuat kebijakan anti diskriminasi, kekerasan dan pelecehan terhadap pekerja perempuan dsb (spsibekasi.org, 8/3/2021).
Pekerja Perempuan dalam Lingkaran Kapitalis
Kehidupan yang semakin sempit dengan berbagai kebutuhan hidup yang kian mencekik akhirnya menuntut kaum perempuan untuk ikut menjadi poros ekonomi keluarga. Tak sedikit perempuan yang akhirnya menjadi tulang punggung keluarga, baik bagi keluarga intinya sendiri maupun keluarga besar.
Dengan iming-iming manis sebagai penggerak ekonomi bangsa, kaum perempuan akhirnya berbondong-bondong keluar rumah untuk bekerja. Namun kenyataan pahit harus diterima. Di mata sistem kapitalis perempuan tak ubahnya mesin pencetak uang yang bisa diperas tenaganya dengan upah murah. Sekalipun Internasional Labour Organization (ILO) bersama UN Women mempromosikan kesetaraan upah (pay equality) dalam Hari Kesetaraan Upah tanggal 18 September 2020 bagi pekerja perempuan. Namun kenyataannya pekerja perempuan tak pernah mencapai kesejahteraan.
Pekerja perempuan tak bisa lepas dari dua peran yang saling berkaitan dalam hidupnya. Pertama, perannya yang berhubungan dengan rumah tangga yaitu sebagai istri dan ibu, kedua perannya sebagai pekerja. Peran perempuan saat ini bukan lagi bergeser melainkan bertambah, sebagai pengatur rumah tangga juga sebagai pencari nafkah. Alhasil waktu untuk beristirahat pun berkurang. Fakta lain adalah anggapan perempuan adalah makhluk lemah tak berdaya, hingga kasus demi kasus kekerasan, intimidasi dan pelecehan kerap terjadi. Tekanan kebutuhan akan pekerjaan menyebabkan perempuan lebih memilih tutup mulut daripada mengadukan permasalahan yang dialami.
Bekasi sendiri yang memiliki kawasan industri tidak serta merta dapat mendongkrak kesejahteraan dan keamanan yang diidam-idamkan perempuan. Adanya dugaan tindak pencabulan yang dilakukan seorang oknum lurah di Bekasi terhadap seorang pedagang kopi pada bulan Desember 2020 menambah panjang deretan kisah pilu lemahnya perlindungan terhadap perempuan.
Penjagaan Sempurna bagi Perempuan Ada dalam Sistem Islam.
Persoalan perempuan yang selalu didengungkan oleh para pegiat gender tak lagi bisa hanya dipandang sebagai persoalan perempuan semata. Persoalan demi persoalan yang melanda perempuan adalah masalah sistemik yang saling berkaitan. Alhasil, kesalahan pegiat gender dalam menganalisa persoalan perempuan justru menghasilkan solusi yang tak kunjung menyelesaikan masalah. Alih-alih penderitaan perempuan berkurang malah semakin bertambah.
Sistem kapaitalis yang saat ini mencengkeram dunia meniscayakan persoalan perempuan terutama kaum pekerja kerap terjadi. Pola relasi yang terjalin antara pengusaha dan pekerja hanya memandang pekerja sebagai aset terpenuhinya target keuntungan perusahaan. Ditambah lagi kebijakan yang dibuat penguasa senantiasa memihak pengusaha. Undang-undang Cipta Kerja misalnya. Alhasil pengusaha memiliki kewenangan penuh terhadap pekerja.
Pemenuhan kesejahteraan tak lagi menjadi tanggungjawab negara tetapi ada pada pengusaha dengan skema standar upah. Akhirnya, demi memenuhi kesejahteraan keluarga pekerja perempuan pun terpaksa lembur meski harus menghabiskan waktu lebih lama lagi di luar rumah.
Islam telah meletakkan kebolehan bagi perempauan untuk beraktivitas di ranah publik, baik untuk menimba ilmu maupun aktivitas muamalah lainnya. Tak ada larangan bagi perempuan untuk bekerja baik dalam dunia pendidikan, kesehatan, umum, menjadi tenaga ahli, pemimpin perusahaan, pegawai pemerintah, polisi bahkan sebagai anggota Majelis Umat untuk menyuarakan aspirasi politiknya. Kiprah perempuan di ruang publik tetap diatur sesuai hukum syariat yang digulirkan dalam bentuk undang-undang yang diadopsi oleh khalifah.
Khalifah mengatur aktivitas perempuan di ranah publik bukan atas respon maraknya persoalan perempuan, tetapi karena syariat Islam diturunkan untuk menjaga kehormatan dan kesucian perempuan. Diantaranya kewajiban berjilbab dan berkerudung saat keluar rumah, larangan tabaruj, adanya izin dari suami atau wali perempuan, larangan berkhalwat dan ikhtilat kecuali hanya untuk urusan pekerjaan. Diaturnya jam kerja, waktu shift, jarak tempat kerja dengan tempat tinggal juga dalam rangka penjagaan perempuan agar tak ada hak anak, suami dan keluarga yang terampas.
Allah Swt telah menurunkan aturan paripurna. Ada kalanya aturan tersebut berlaku sama untuk laki-laki dan perempuan, namun ada juga yang dibedakan sesuai dengan fitrahnya sebagai laki-laki dan perempuan. Kewajiban mencari nafkah selamanya tetap ada di pundak laki-laki. Oleh karena itu seyogianya negara menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya kepada laki-laki. Pemenuhan kesejahteraan rakyat menjadi tanggungjawab negara. Kesehatan dan pendidikan tersedia gratis dan harga bahan pokok terjangkau, membuat perempuan tak lagi resah dengan kehidupannya. Sanksi tegas menanti pelaku kekerasan terhadap perempuan secara verbal, fisik, psikis dan seksual, baik dilakukan oleh suami, wali, keluarga ataupun orang lain.
Sejarah Islam mencatat kipah perempuan di wilayah publik pernah terjadi mulai masa Nabi hingga para khalifah sesudahnya. Pada masa Nabi, kaum perempuan punya hak menimba ilmu meski di waktu yang terpisah dengan laki-laki. Di masa Khalifah Umar bin Khattab ada seorang Qadhi Hisbah perempuan yang diangkat oleh Khalifah bernama Asyifa.
Maka jelaslah persoalan perempuan tak layak jika hanya dipandang sebagai masalah gender semata. Islam melarang adanya rasa saling iri dan dengki atasn apa yang telah Allah lebihkan kepada sebagian yang lain. Sebagaimana firman-Nya "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu Lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan,dan bagi perempuan (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan" (TQS an Nisaa [4]: 32). Maka persoalan perempuan harus dituntaskan secara sistemik melalui sistem yang menyeluruh di bawah naungan khilafah.
Oleh Irma Sari Rahayu, S.Pi
0 Komentar