Pemerintah mengubah nama Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated (Japek) menjadi Jalan Tol Sheikh Mohamed bin Zayed (MBZ). MBZ merupakan Putra Mahkota Abu Dhabi, sekaligus Wakil Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Uni Emirat Arab (UEA). Peresmian nama jalan itu dilakukan oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, (CNN, 12/04/2021).
Melalu prosesi peresmian tersebut, pemerintah Uni Emirat Arab, Duta Besar (Dubes) UEA untuk Indonesia yang diwakili, Abdullah Salem Obeid Al Dhaheri, berterimakasih atas kepercayaan Pemerintah RI yang mengubah nama Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated menjadi Jalan Layang Sheikh Mohammed Bin Zayed. Al Dhaheri mengatakan, Pemerintah UEA sangat bahagia dan senang atas apresiasi tersebut. Hal itu seolah jadi momentum positif dari hubungan bilateral Indonesia-UEA yang telah berjalan sejak 1976, (Liputan6.com, 12/04/2021).
Jalan tol Layang Japek dikerjakan oleh kontraktor PT Waskita Karya Tbk bersama PT Acset Indonusa Tbk (Kerjasama Operasi). Pengusahaannya dilakukan oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) PT Jasamarga Jalan layang Cikampek (JJC) yang merupakan anak usaha dari PT Jasa Marga (Persero) Tbk dengan nilai investasi sebesar Rp. 16.2 Triliun, (pu.go.id, 11/04/2021).
Meski polemik bermunculan, pemerintah berdalih penjualan ruas tol dari BUMN ke pihak asing biasa dilakukan dengan alasan untuk meminimalisir penggunaan APBN. Sebab, bisnis tol merupakan usaha jangka panjang yang keuntungannya baru bisa balik sekitar lima tahun mendatang. Sistem "bangun-jual" juga bukan sesuatu yang baru bagi BUMN untuk mencari sumber pendanaan.
Pemerintah melakukan divestasi atau melepas aset perseroan atas tol untuk mengurangi rasio pinjaman terhadap modal yang dimiliki. Sehingga, ke depannya keuangan perusahaan bisa tetap sehat dalam menjalankan proyek-proyek lain yang dijalankan. Lagi pula, pendanaan dengan mengandalkan utang tak selalu harus lewat cara "bangun-jual".
Namun permasalahannya adalah kebijakan pembangunan jalan raya atau jalan tol seharusnya bukan untuk diprivatisasi. Keputusan pemerintah untuk menjual, mendivestasi, atau mengalihkan konsesi ke swasta berpotensi melanggar sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang. Apabila infrastruktur tersebut diprivatisasi, maka sasaran dalam pasal-pasal di UUD tentang kesejahteraan rakyat yang menyangkut sarana dan prasarana perekonomian tidak bisa tercapai.
Sebab, aset BUMN merupakan bagian dari kekayaan negara sebagaimana tertuang dalam putusan MK No.48/PPU-XI/2013. Putusan MK tersebut menolak pengajuan judicial review yang pernah diajukan Kementerian BUMN atas Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Maka secara peraturan perundang-undangan tidak dibenarkan untuk diswastanisasi ataupun diprivatisasi.
Namun, Presiden Indonesia Joko Widodo dan MBZ, justru makin mempererat hubungan dan membuat kesepakatan jalin kerjasama di bidang pemerintahan dan bisnis. Investasi sebesar Rp 314,9 triliun pun dikucurkan UEA , (DWIndonesia.com, 12/01/2021).
UEA akhirnya menyusul Jepang, SoftBank, dan US International Development Finance Corporation (DFC) berkomitmen untuk berinvestasi di Indonesia. Kesepakatan ini terjalin dalam pertemuan bilateral antara kedua negara di Istana Kepresidenan Qasr Al Watan di Abu Dhabi, UEA.
Menanggapi hal tersebut Pelaksana Harian (Plh) Anggota BPJT Unsur Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat Mahbullah Nurdin mengatakan, perubahan nama sama sekali tidak berpengaruh kepada kepemilikan dari ruas tol tersebut. Artinya, meskipun saat ini nama dari jalan tol tersebut berganti menjadi MBZ, namun kepemilikan dan pengelolaannya masih dipegang oleh PT Jasa Marga (Persero) Tbk.
Namun jika nantinya perseroan dalam hal ini Jasa Marga ingin melakukan divestasi pada ruas tol layang terpanjang di Indonesia tersebut kepada UEA merupakan hal yang berbeda. Karena divestasi merupakan murni aksi korporasi yang melibatkan dua perusahaan di dalamnya. Menurut Nurdin, Jasa Marga bisa saja melakukan divestasi dan itu urusan korporasi. Business to Business (B2B).
Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rizal Taufikurahman mengungkapkan, ada beberapa negara yang telah menggunakan skema utang dalam membiayai pembangunan infrastruktur, mulai dari Jepang, China, Korea Selatan, Angola, Zimbabwe, Nigeria, Sri Lanka.
Akan tetapi pembiayaan infrastruktur melalui utang luar negeri tak selalu berjalan mulus, ada beberapa negara yang gagal bayar atau bangkrut. Menurut Rizal, ada bad story dan success story. Yang bad story itu Angola, Zimbabwe, Nigeria, Pakistan dan Sri Lanka. (Tempo, 21/03/2018).
Adapun kisah pahit negara yang gagal membayar utang dari utang luar negeri adalah Zimbabwe yang memiliki utang sebesar 40 juta dollar AS kepada China. Akan tetapi Zimbabwe tak mampu membayarkan utangnya kepada China, Hingga akhirnya harus mengganti mata uangnnya menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang.
Selanjutnya kebangkrutan yang dialami oleh Nigeria yang disebabkan oleh model pembiayaan melalui utang yang disertai perjanjian merugikan negara penerima pinjaman dalam jangka panjang. Dalam hal ini China mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal China untuk pembangunan infrastruktur di Negeria.
Kemudian, ada Sri Lanka yang juga tidak mampu membayarkan utang luar negerinya untuk pembangunan infrastruktur, Sri Lanka sampai harus melepas Pelabuhan Hambatota sebesar Rp 1,1 triliun atau sebesar 70 persen sahamnya dijual kepada Badan Usaha Milik Negara china.
Berdasarkan realias diatas, dapat dipastikan bahwa beban dan resiko yang ditanggung negara akibat intensifnya pembangunan jalan tol dapat menyebabkan negera gagal bayar.Dengan besarnya utang pemerintah Indonesia, bisa dipastikan negera maupun pihak swasta yang menanamkan investasinya pada pembangunan infrastruktur termasuk jalan tol, dapat mengakibatkan negara menjual aset atau kekayaan alam sebagai kompensasi atas penanaman modal asing tersebut.
Fakta tersebut menunjukkan bukan hanya bangkrutnya negera yang mengakibatkan alih kepemilikan aset namun ini bisa membuktikan bahwa negara dalam cengkraman korporatokrasi.
Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, menilai bengkaknya utang BUMN dikarenakan dua hal: penugasan dan tekanan nilai tukar rupiah. Alhasil, proyek infrastruktur yang digenjot pemerintahan Jokowi sejatinya tersimpan bahaya terselubung, yang bila ini dilanjutkan maka membuat Indonesia sulit terlepas dari bayang-bayang utang dan pada akhirnya berujung pada penjualan aset BUMN kepada asing demi menutup utang mereka.
Pembiayaan infrastruktur melalui investasi tentu juga berdampak pada keleluasaan swasta memiliki aset strategis negara. Sadar atau tidak, negeri ini sedang berjalan menuju kehancurannya. Kondisi ini amat berbeda secara fundamental dalam negara Islam, pembangunan infrastruktur tidak menggunakan utang, investasi yang membebani BUMN. Negara akan memberlakukan sistem ekonomi Islam yang menyeluruh dengan pendanaan bersumber dari baitulmal.
Namun, jika baitulmal tidak memiliki dana, maka, negara bisa mendorong partisipasi publik untuk berinfak. Jika tidak cukup, maka kaum Muslim, laki-laki dan mampu dikenakan pajak khusus untuk membiayai proyek vital tersebut hingga terpenuhi. Demikian adilnya Islam, tidak akan mengambil utang luar negeri untuk membiayai proyek infrastrukturnya.
Karena mengambil utang dan investasi dari negara asing hanya melanggengkan penjajahan yang pada akhirnya menimbulkan liberalisasi ekonomi. Dan ini merupakan praktek korporatokrasi yang begitu dominan mengatur, membiayai bahkan membeli jalan-jalan tol beserta infrastruktur lain yang strategis untuk menguasai negeri-negeri Muslim.
0 Komentar