Harga Pangan Naik Saat Ramadan dan Para Ikhtikar

 


Ramadan “spesial” di tahun ini telah tiba, dikarenakan bulan mulia tersebut datang pada saat pandemi covid-19 masih berlangsung. Dimana kita semua dituntut untuk bisa lebih bersabar dan peka dengan kondisi sekitar. Pada masa pandemi telah banyak terjadi pemutusan hubungan kerja karena banyaknya usaha yang tutup atau harus berhentinya kegiatan produksi, sehingga dampak terbesar yang sangat dirasakan adalah daya beli masyarakat menjadi turun selama pandemi ini.

Menjadi sebuah ‘tradisi’ jika menjelang bulan Ramadan harga-harga akan naik, terutama harga pangan. Tingginya harga pangan di tengah kondisi pandemi ini tentu akan semakin membuat hidup rakyat semakin sulit. Sehingga diharapkan pemerintah bisa bertindak cepat dan sigap mengantisipasi hal tersebut. Inilah yang diharapkan oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan yang meminta pemerintah untuk mengendalikan harga pangan saat memasuki bulan Ramadan. 

Keuntungan jangka pendek dalam situasi pandemi. Oknum itu, kata dia, mengambil keuntungan dengan cara menimbun barang, menahan pasokan, hingga mempermainkan harga pangan di pasaran (Kompas.com, 14/04/2021). Perlunya peran pemerintah disini untuk bisa menjaga pasokan yang cukup akan kebutuhan pangan selama bulan Ramadan. Jika dilihat secara hukum ekonomi dimana harga akan naik jika banyaknya permintaan tetapi ketersediaan barang tidak mencukupi. Maka inilah yang seharusnya bisa diantisipasi oleh pemerintah sehingga harga-harga akan tetap stabil.

Diharapkan dalam kasus ini adanya ketegasan pemerintah untuk dapat menindak para penjual yang menimbun dan menahan barang untuk dijual, yang menyebabkan kelangkaan barang sehingga harga menjadi mahal di pasar. Selain itu juga perlunya pemerintah untuk mengadakan operasi pasar agar bisa menekan tingginya harga yang sudah terlanjur bermain di pasar. Lemahnya pengaturan dan pengawasan akan distribusi menjadi celah yang kerap dimanfaatkan para pedagang besar untuk bisa menimbun dan mempermainkan harga di pasar. 

Ditambah adanya oknum di pemerintahan yang ‘bermain’ untuk menjaga agar mereka bisa menikmati keuntungan yang didapatkan. Kongkalikong para spekulan dengan oknum tersebut membuat semakin sulitnya hukum ditegakkan. Sebuah ciri khas yang kerap diperlihatkan dari sebuah sistem kapitalis, menghalalkan segala cara asalkan bisa meraup keuntungan materi yang banyak. Tidak peduli apakah cara yang dipakai tersebut merugikan banyak orang atau tidak, yang penting pundi-pundi mereka selalu penuh terisi.

Adanya kenaikan harga di pasar jika terjadi kelangkaan barang atau karena banyaknya permintaan menjadi sebuah keniscayaan dalam ilmu ekonomi dan menjadi sesuatu hal yang wajar terjadi. Tetapi tentunya jika diimbangi dengan kemampuan daya beli yang tinggi dari masyarakat secara keseluruhan. Fakta yang terjadi sekarang adalah masih begitu banyak orang-orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, meski kebutuhan itu adalah kebutuhan pokok.

Di dalam sistem kapitalis rakyat harus mampu bertahan hidup sendiri, tidak ada yang menjamin kehidupan mereka. Yang miskin akan semakin miskin dan yang memiliki modal besar atau kaya akan semakin kaya, dan hal ini menjadi sebuah realitas yang tidak terbantahkan lagi.

Menjadi sebuah naluriah jika semua orang ingin hidup sejahtera, siapapun itu baik mereka yang beragama Islam atau bukan, terlepas darimana dan siapapun orangnya. Di dalam sistem yang dianut oleh sebagian besar mayoritas negara di dunia ini termasuk Indonesia tidak akan pernah bisa terwujudkan. Sebab hanya orang-orang yang memiliki modal kuat sajalah yang akan mampu bertahan, yang lemah dan miskin akan tersingkir.

Kontradiktif dengan sistem Islam, di dalam Islam kebutuhan pokok yang meliputi pangan, sandang, dan papan menjadi kewajiban bagi negara untuk bisa menjaminnya. Rakyat tidak lagi dipusingkan dengan harga-harga yang meroket disebabkan adanya tindakan penimbunan yang dilakukan segelintir orang. Karena memang di dalam Islam penimbunan barang itu dilarang, terlebih jika barang tersebut adalah bahan makanan pokok. 

Islam memandang perbuatan menimbun barang sebagai bentuk kezaliman dan bertentangan dengan maqashid syariah berdagang, karena tindakan menimbun akan menyengsarakan orang banyak. Penimbunan masuk dalam kategori kejahatan ekonomi dan sosial. Ulama seperti Ibnu Hajar al-Haitsami menganggap pelakunya sebagai pelaku dosa besar. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak akan menimbun barang kecuali dia seorang pendosa.” (HR. Muslim).

Bahkan dalam hadis lain disebutkan, Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa menimbun selama 40 hari, ia akan lepas dari tanggungan Allah dan Allah pun akan cuci tangan dari perbuatannya, dan penduduk negeri mana saja yang pada pagi hari di tengah-tengah mereka ada orang yang kelaparan, sungguh perlindungan Allah Ta’ala telah terlepas dari mereka.” (HR. Ahmad & Hakim).

Karenanya, menjadi jelas hukumnya bahwa menimbun barang adalah haram.  Apalagi jika menimbun barang berupa kebutuhan pangan yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Ikhtikar atau menimbun adalah perbuatan yang dilarang Allah Swt, karena perbuatan tersebut bisa mengakibatkan sulitnya masyarakat untuk mendapatkan keperluannya disamping karena cadangan menipis atau bahkan tidak ada sama sekali, juga jika meskipun ada harganya sangat tinggi. Kondisi inilah yang ditunggu-tunggu para penimbun atau pelaku ikhtikar untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.

Praktik penimbunan barang bisa terjadi jika adanya monopoli di dalam pengelolaan barang-barang dagangan. Oleh karenanya peran pemerintah terhadap pengawasan dan pengelolaan barang harus dilakukan, karena pemerintah memiliki otoritas untuk hal itu. Serta memberikan hukuman berupa ta’zir kepada para pelaku penimbunan demi kemaslahatan bersama. Dan apakah keadilan itu bisa diwujudkan dalam sistem buatan manusia? []

Wallahu a’lam bishshawab.


Oleh Anjar Rositawati

Posting Komentar

0 Komentar