Ironi Anjloknya Pendapatan PAM Jaya di Negeri Bahari

 


Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya melaporkan pencatatan keuangan (penghasilan) tahun 2020 sebesar Rp82,98 miliar. Jumlah ini jauh berbeda dari tahun 2019 yakni sebesar Rp327,23 miliar. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi C DPRD DKI Jakarta Rasyidi HY dalam keterangan tertulis pada 25 Maret 2021. (Jakarta.bisnis.com, 25/3/2021).

Sumber daya air adalah kekayaan alam yang dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Air di Jakarta digunakan untuk berbagai macam keperluan: perhotelan, usaha real estate, keperluan rumah tangga, persediaan air di gedung-gedung dan pabrik-pabrik, dan lain sebagainya. Air merupakan sarana fundamental yang menunjang keberadaan DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi Indonesia.

Namun, mengapa pendapatan PAM Jaya justru anjlok? Bukankah semua orang membutuhkan air? Apa yang menyebabkan turunnya pendapatan PAM Jaya?

Ada satu faktor utama yang menyebabkan PAM Jaya merugi. Ia adalah swastanisasi atau privatisasi air di lingkungan PAM Jaya. PAM Jaya telah melakukan kontrak kerjasama dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra selama 25 tahun sejak era Soeharto (1997) yang baru akan berakhir pada 2022. Direktur Utama PAM Jaya, Priyatno Bambang Hernowo membenarkan hal ini. (tirto.id, 13/5/2019).

PAM Jaya wajib menyetor dana RP 7.000 rupiah per meter kubik air kepada dua operator penyedia air bersih ini. Sementara tarif yang dibayarkan warga pada PAM Jaya hanya RP 1.000 rupiah. Akibatnya, lebih besar pasak daripada tiang. Depresiasi yang terjadi di tubuh PAM Jaya sejak tahun 1997-2015 saja sudah mencapai Rp 1,4 triliun. (news.detik.com, 23.10/2017).  Terakhir, KPK menemukan adanya kerugian di tubuh PAM Jaya sebesar Rp 1,2 triliun pada 2019. (tirto.id, 13/5/2019). 

Swastanisasi ini, menurut Direktur LBH Jakarta, Febi Yonesta, melemahkan dan dan menjerat PAM Jaya. Sebagai bagian dari Pemprov DKI Jakarta, PAM Jaya tidak lagi berdaulat mengelola air. (m.beritajakarta.id, 17/4/2014)

Meski pemerintah daerah terus-menerus dirugikan, dan masyarakat menanggung beban kebutuhan air, namun pergerakan ke arah solusi masih buntu. Upaya keluar dari swastanisasi terlihat alot, padahal kontrak kerja sama yang merugikan itu tinggal menunggu hitungan bulan. 

Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menilai bahwa Pemprof DKI Jakarta tidak tegas soal pemutusan swastanisasi ini. Seharusnya tidak berhenti memutus swastanisasi dan tidak ada negosiasi. Pemerintah tidak boleh tunduk sekadar memenuhi keinginan swasta. (tirto.id, 22/4/2019). Lantas, apa dan siapa sesungguhnya harapan masyarakat?

Berdasarkan hasil survei evaluasi pengelolaan air bersih 2019 yang dilaksanakan oleh Pusat Pelayanan Statistik DKI Jakarta, sebagian masyarakat Jakarta belum bersedia berlangganan air bersih dengan beberapa alasan, yaitu kualitas sir sumur bor masih baik, airnya masih banyak dan kualitasnya bagus. Sebagian masyarakat juga memilik mendapatkan air dari sumur secara gratis. 

Masyarakat juga dapat menjadi pelanggan di kemudian hari dengan beberapa alasan, yakni biaya pemasangan yang murah, biaya per bulannya ringan, kualitas air baik, aliran lancar, dan pipa tidak bocor. Hal ini menjelaskan realitas sebaliknya yang ada di tubuh PAM Jaya DKI Jakarta.  

Dalam Islam, air merupakan fasilitas umum yang tidak boleh diprivatisasi. Keberadaannya merupakan hak milik Bersama untuk dimanfaatkan untuk kemakmuran masyarakat. Akad yang terjadi saat PAM Jaya menerima sejumlah dana dari PT PAM Lyonnaise dan PT Aetra merupakan akad batil yang tidak memiliki konsekuensi apapun dalam pandangan syariah.  

Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapapun): air, padang, dan api. (HR Ibdnu Majah).

Para penguasa dalam Islam diperintahkan untuk tunduk pada aturan Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak akan membiarkan air dikelola oleh swasta, apalagi merugikan warga. Dengan demikian, upaya swastanisasi privatisasi yang dilakukan oleh segelintir elit tak kan pernah dikabulkan. 

Keberadaan sistem yang sahih dan juga para politisi yang berkepribadian Islam seperti inilah yang dibutuhkan masyarakat. Namun, masyarakat tak bisa berharap pada rezim yang haus akan kekuasaan, dan pada kekuasaan yang disetir oleh para kapital. Semua ini hanya akan terwujud dalam dunia yang menerapkan Islam secara totalitas, yakni daulah Islam. Wallahu a’lam[]


Oleh Annisa Al Munawwarah

Aktivis Dakwah Kampus

 

Posting Komentar

0 Komentar