Belum lama ini publik dihebohkan dengan kasus pengeboman yang terjadi di provinsi Makassar, Sulawesi Selatan beberapa waktu yang lalu. Kejadian tersebut terjadi pada Minggu, 28 Maret 2021 di salah satu tempat ibadah, yakni gereja katedral yang mengakibatkan dua orang yang diduga sebagai pelaku tewas dan 20 orang lainnya luka-luka.
Selang beberapa hari setelahnya, terjadi serangan di wilayah ibu kota negara tepatnya di Mabes Polri, Kabayoran Baru, Jakarta Selatan pada 31 Maret 2021. Seorang perempuan yang diduga sebagai teroris menenteng pistol dan menerobos masuk kantor pusat Korps Bhayangkara. Bahkan, ia sempat melepaskan enam kali tembakkan sebelum akhirnya ditembak mati. (Sindonews, 1 April 2021)
Sungguh, kejadian pengeboman di gereja Katedral dan penyerangan yang menimpa mabes polri turut mengundang simpati dan prihatin dari berbagai kalangan masyarakat. Apapun alasan yang menjadi latar belakang para pelaku, tidaklah bisa dibenarkan tindakannya.
Namun, atas dua kejadian tersebut sejumlah pihak menduga bahwa pengeboman dan serangan yang dilakukan ialah ulah para terduga teroris. Hanya saja lagi dan lagi, yang menjadi tuduhan atas kedua aksi yang dilakukan para pelaku ialah beratasnamakan agama dan kembali ajaran Islam yang menjadi tuduhan perbuatan zalim tersebut.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar menyebut ada benang merah kesamaan pemahaman ideologi antara penyerangan Mabes Polri dan yang terjadi didepan gereja Katedral Makassar. Ia menyebut kedua aksi itu merupakan korban propaganda paham takfiri yang menginginkan mati dalam keadaan syahid. (CNN Indonesia, 31/03/2021)
Narasi syahid atau jihad kerapkali menjadi opini yang disematkan bagi para pelaku teroris maupun penyerangan. Seolah-olah ada penggiringan opini bahwa tindakan teror dan penyerangan ialah buah dari pemikiran seseorang yang menginginkan mati syahid, sehingga tindakan yang dilakukan bisa disetarakan dengan jihad.
Padahal apa yang dilakukan atas kejadian tersebut, baik teror ataupun penyerangan bukanlah jalan dan prinsip dakwah Islam. Bahkan Islam sendiri menolak dan mengutuk keras tindakan tersebut. Dari kejadian seperti itu tidaklah ada pihak yang diuntungkan, termasuk kaum muslimin. Bahkan kaum muslimin beserta ajarannya justru seringkali menjadi pihak-pihak yang tertutuduh.
Masyarakat pun merasa seperti ada kejanggalan atas penetapan penyebab kejadian itu, mulai dari pelakunya, barang bukti sampai alasan tindakan para pelaku melakukan perbuatan tersebut. Sehingga banyak masyarakat yang menaruh curiga atas kedua kejadian itu.
Para terduga terlihat sangat polos dan tidak terlatih, bahkan salah satu dari kedua kejadiannya yakni penyerangan kepolisian, terduga pelaku ialah seorang perempuan. Masyarakat pun merasa heran, bagaimana bisa seorang perempuan masuk ke Markas Besar Kepolisian (Mabes Polri) yang memiliki penjagaan super ketat?
Publik pun menaruh rasa curiga bahwa adanya sesuatu dibalik serangkaian aksi tak terpuji itu dan merasa adanya rekayasa juga persekongkolan aksi tersebut. Seolah ingin memecah belah persatuan di antara umat beragama dalam masyarakat. Dan lagi-lagi, kaum musliminlah yang menjadi pihak paling dirugikan. Tuduhan atas nama agama dengan narasi jihadnya yang seringkali menjadi santapan empuk penggiringan opini pelaku tindak teror.
Padahal agama Islam tidak pernah mengajarkan tindak perilaku kekerasan untuk mendapatkan tujuan. Makna jihad yang selalu disematkan dengan tindakan teror bukanlah makna seperti demikian. Jihad secara makna bahasa artinya bersungguh-sungguh. Sementara bila kita kaji dari nas-nas jihad, baik dari Alquran maupun sunah, tampak bahwa syara’ telah menanggalkan jihad dari makna bahasanya.
Syara’ menggunakan kata jihad dengan makna qital (perang) dan apa saja yang terkait dengannya, dan tidak ada kata jihad di dalam Alquran yang bermakna selain qital. Dengan demikian, istilah jihad merupakan lafazh yang memiliki makna syar’i, sehingga makna inilah yang harus kita ambil, bukan makna bahasanya.
Makna syar’i dari jihad ini diambil dari Alquran dan Sunah. Di antaranya firman Allah SWT berikut:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [At-Taubah/9: 41]
Dan sabda Nabi saw:
“Wajib atas kalian berjihad di jalan Allah Tabaaraka wa Ta’ala, karena sesungguhnya jihad di jalan Allah itu merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu Surga, Allah akan menghilangkan dengannya dari kesedihan dan kesusahan.” (HR Al-Hakim dan Ahmad)
Imam Taqiyyuddin An Nabhani dalam kita Asy-Syakhshiyyah Islamiyyah Jilid 2, menjelaskan definisi jihad sebagai mencurahkan kemampuan untuk berperang di jalan Allah secara langsung, atau dengan bantuan harta, pemikiran, memperbanyak perbekalan dan lain sebagainya.
Hanya saja, tindakan jihad dalam makna perang pada saat ini tidaklah bisa diterapkan begitu saja. Apalagi dengan melakukan tindakan teror mengatasnamakan jihad dan mati syahid. Itu tidaklah bisa dibenarkan. Sebab jihad hanya akan dijalankan manakala penerapan Islam secara sempurna telah terwujud dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyyah.
Sang Khalifah akan memerintahkan umat untuk melaksakan jihad dengan landasan keimanan dan ketakwaan. Tujuannya pun bukan untuk memerangi dan menghancurkan umat lain seperti narasi yang digaungkan saat ini. Jihad yang dilakukan oleh Daulah Islam bertujuan membebaskan negeri-negeri kufur, dan memerintahkannya untuk beralih dari penyembahan terhadap manusia menjadi hanya penyembahan total hanya kepada Allah Swt semata.
Perang yang dilaksanakan kaum muslimin pun juga tidak ujug-ujug langsung begitu saja, tetapi dengan mendakwahkan terlebih dahulu umat lain serta negeri kufur untuk memeluk Islam. Bila tidak di laksanakan maka diperintahkan negeri kufur pun diminta untuk tunduk kepada daulah islam yang mana jika bersedia mereka akan mendapat hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslimin serta diminta membayar jizyah.
Dan bila keduanya tak di indahkan, maka barulah daulah Islam memerangi. Hanya saja, perang dalam islam pun ada aturannya dan tidak sembarangan. Serta tujuan dilaksanakannya jihad semata-mata ialah atas perintah Allah bukan yang lain, yakni mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Karena dakwah merupakan salah satu tujuan dari didirikannya khilafah, selain menegakkan syariat Allah secara sempurna di seluruh dunia.
Hanya saja, makna jihad saat ini memang sangat dijauhkan dari pemahaman jihad yang sesungguhnya sehingga kerapkali menimbulkan rasa khawatir dan kebencian dari umat non muslim. Umat muslim pun juga takut untuk memahami ajaran agamanya, sehingga semakin terjauhkan dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Itulah strategi yang digencarkan musuh-musuh Islam, sehingga mereka tetap dapat eksis mempertahankan hegemoninya dengan mengkambinghitamkan Islam beserta ajarannya.
Karenanya, kaum muslimin dan masyarakat pada umumnya janganlah mudah terpercaya begitu saja dengan narasi-narasi jahat yang menyematkan islam beserta ajarannya. Sebab Islam adalah agama nasihat, bukan mengajarkan menjadi penjahat.
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus al-Dari ra, bahwa Nabi Saw bersabda :
"Agama adalah nasihat", kami bertanya, "Untuk Siapa?", Beliau menjawab, "Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslim serta bagi umat Islam umumnya." (HR. Muslim)
Wallahu'alam bii ash-shawab {}
Oleh Puput Yulia Kartika, S.Tr.Rad
0 Komentar