Akademisi Prancis saat ini sedang dalam pengawasan setelah Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi, Frederique Vidal, memvalidasi teori “Islamo-leftism” (Islamo-gauchisme) yang sedang berkembang pesat dalam penelitian ilmu sosial Perancis. "Saya pikir Islamo-leftism sedang menggerogoti masyarakat kita secara keseluruhan, dan universitas tidak kebal dan merupakan bagian dari masyarakat kita," ujar Vidal kepada saluran C-News pada 14 Februari silam. Lebih lanjut Vidal mengkritik akademisi "radikal" dengan sebutan Islamo-leftism karena dianggap selalu "melihat segala sesuatu dengan maksud untuk memecah belah masyarakat". Dia pun mengumumkan bahwa pihak kementrian akan meminta penyelidikan aparat terkait berbagai penelitian universitas yang berhubungan dengan subjek ini (thejakartapost.com, 18/02/2021).
Dalam perkembangan isu tersebut Vidal menuai banyak kritik dari pihak universitas dan partai-partai sayap kiri sejak pertama kali mengumumkan penyelidikannya atas Islamo-leftism. Bahkan sekitar 600 profesor universitas pada Februari lalu mendesak pengunduran diri Vidal, yang mengklaim pertanyaannya sebagai upaya "mencemarkan nama baik profesi" (politico.eu, 21/02/2021). Vidal kemudian menanggapi sikap para akademisi sebagai reaksi atas “serangan terhadap kebebasan akademis dan kebebasan berekspresi”, dimana para profesor merasa tidak bebas untuk membaca teks dan jurnal berkaitan dengan Islam “radikal” dan masalah-masalah sosial lainnya.
Sesungguhnya propaganda Islamo-leftism bukanlah hal baru di dunia Eropa. Pasalnya pemerintah Prancis di bawah Presiden Emmanuel Macron baru-baru ini secara masif telah meningkatkan serangan politik dan retorikanya terhadap apa yang dikenal sebagai "Islamo-gauchisme" (Islamo-leftism dalam bahasa Inggris). Dimana konsep tersebut, yang pertama kali berkembang di kalangan sayap kanan Prancis, secara eksplisit menyatukan “ekstremis” Islam dengan intelektual dan aktivis berhaluan kiri.
Istilah tersebut pun kemudian menjadi kata “serba guna” yang digunakan untuk merendahkan aktivitas anti-rasis golongan sayap kiri ataupun gerakan “radikal” religius (Islam) yang kian berkembang seiring dengan ketidakpuasan masyarakat atas berbagai kebijakan rezim Perancis. Pada akhirnya istilah Islamo-gauchisme tersebut kini memiliki definisi karet yang tentu saja bisa dengan mudah digunakan pemerintah Perancis sebagai alat gebuk guna menyudutkan pihak-pihak yang berseberangan dengan rezim, termasuk diantaranya Islam. Maka tidaklah mengherankan jika Aljazeera menyebut Perancis tengah masuk ke era McCarthyist, yaitu masa dimana rezim yang berkuasa banyak menyebar ketakutan dengan tuduhan subversi ataupun makar.
Padahal realitasnya, sudah sejak tahun lalu Macron beserta jajaran elit politik dalam kabinetnya secara terang-terangan melancarkan perang melawan “Islamist separatism” di Perancis. Hal tersebut dilakukan sebagai reaksi atas kasus pemenggalan Samuel Paty pada Oktober tahun lalu. Bahkan baru-baru ini Majelis rendah Parlemen Perancis mengesahkan rancangan undang-undang yang menentang Islamisme, yang bertujuan untuk menghadang berkembangnya “ideologi teroris” dengan melakukan kontrol yang lebih besar terhadap sekolah dan masjid (washingtonpost.com, 22/02/2021). Seorang pejabat Perancis mengklaim bahwa RUU tersebut tidak menyerang Islam, melainkan melawan orang-orang yang memiliki cara pandang dan visi yang “bertentangan” dengan republik.
Dalam iklim politik Perancis yang kian memanas, propaganda perang melawan “Islamist separatism” ataupun penggunaan istilah Islamo-leftism dikhawatirkan banyak pihak dapat menstigmatisasi seluruh komunitas muslim di negeri Menara Eiffel tersebut. Yang kemudian jelas saja membuat banyak muslim Perancis, yang sejatinya adalah kaum minoritas terbesar di negeri tersebut, merasa pengesahan RUU anti-Islam ataupun stigma-stigma buruk atas agama mereka akan semakin menargetkan mereka secara tidak adil (theguardian.com, 12/03/2021).
Namun celakanya rezim Macron yang tengah berkuasa saat ini justru menjadikan stigma anti-Islam sebagai alat politik guna memuluskan jalan menuju pemilihan presiden yang akan dilaksanakan tahun depan. Hal ini sebagai upaya untuk meraup suara penuh dari golongan sayap kanan yang akan membantunya melawan Marine Le Pen's Rassemblement National di putaran kedua pemilihan presiden 2022. Dan lagi-lagi pihak yang paling dirugikan dalam politik kotor Macron adalah Islam dan kaum muslim.
Dari sini semakin jelas terlihat kebencian rezim Perancis terhadap Islam. Dimana negeri Eiffel tersebut akan senantiasa memusuhi umat dan menghadang kebangkitan Islam. Perancis tiada henti memojokkan kaum muslimin di setiap kesempatan baik melalui kebijakan otoriter mereka guna memasung hukum-hukum Allah bagi rakyat muslim Perancis, ataupun dengan keberpihakan mereka pada para penghina Rasul saw. Di sisi lain Perancis bahkan menjadi salah satu corong utama penyebar ide-ide busuk semisal demokrasi, HAM, kebebasan dan sekularisme terhadap dunia Islam.
Demikianlah nestapa yang dialami rakyat muslim Perancis khususnya dan kaum muslimin secara keseluruhan pada umumnya tatkala kita tidak memiliki perisai umat, Daulah Khilafah Islamiyah, yang mampu melindungi umat dari para musuh Allah Swt. Dimana tanpa adanya Khilafah, kaum muslimin dengan mudahnya diinjak-injak dan dihinakan oleh salah satu musuh laten Islam, yaitu Perancis. Tidak hanya itu, Perancis dan para musuh Allah lainnya bisa dengan mudah menjauhkan umat dari penerapan hukum-hukum Allah melalui narasi kebebasan, demokrasi dan HAM. Bahkan celakanya tidak sedikit penguasa muslim yang bertekuk lutut di hadapan negara kafir barat.
Wahai kaum muslimin, sampai kapan kita akan berada dalam kehinaan seperti ini? Tidak rindukah umat pada kemenangan yang Allah janjikan bagi mereka yang gigih dalam menegakkan panji Islam? Sungguh Allah tidak akan pernah meninggalkan orang-orang yang beriman sebagaimana tertuang dalam firmanNya, “Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat” (QS. Al-Baqarah: 214).
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs-Universität Freiburg, Germany)
0 Komentar