Ramadan di tengah pandemi Covid-19 kali ini sudah kedua kalinya dialami oleh penduduk dunia. Antara perasaan gembira karena datangnya bulan suci yang penuh rahmat dan ampunan, juga berharap agar pandemi cepat berlalu. Hal itu pastinya yang dirasakan oleh sekian banyak masyarakat saat ini.
Perasaan gembira dan suka cita tersebut tentunya dirasakan dari ribuan tahun lalu sewaktu puasa Ramadhan di syariatkan. Saat itu, para shahabat juga menanti-nanti bulan suci ini. Namun dalam beberapa kesempatan, Ramadhan mereka jalani dalam keadaan sulit, yaitu peperangan.
Perang Khandaq misalnya, walaupun peperangan jatuh pada 5 Hijriyah saat bulan Syawal, namun mulai Ramadhan persiapannya telah dilakukan. Bagaimana para Shahabat menggali parit yang menurut Dr. Syauqi Abu Khalil dalam buku Athlas al-Târikh al-‘Arabi al-Islâmi (2005: 33) mempunyai panjang 5544 meter, lebar 4, 62 meter dan dengan kedalaman 3,234 meter.
Kaum Muslimin yang berjumlah 3000 orang itu bahu membahu menggali parit tersebut, namun medan parit yang digali tidak semuanya mudah. Ada juga yang berisi batu-batu yang sulit untuk digali. Dalam kondisi tidak berpuasa saja, untuk mengerjakan proyek besar ini begitu berat, apalagi jika pada saat menahan lapar dan dahaga, sudah barang tentu menjadi sangat berat.
Hal ini dilakukan demi menghadapi pasukan gabungan dari beberapa bani Yahudi dan kaum musyrikin Makkah. Pergerakan pasukan koalisi ini terendus oleh badan keamanan Daulah Islam yang selalu waspada dalam berbagai kondisi. Setelah informasi dirasa cukup, maka Rasulullah mengadakan pertemuan kilat dengan para komandan besar dan pasukan yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin.
Dari pertemuan tersebut Salman Al Farisi berkata,” Wahai Rasulullah, dulu jika kami di negeri Persia khawatir akan musuh berkuda, maka kami akan menggali parit di sekitar kami”. Kemudian Rasulullah beserta sahabat mengerjakan rencana tersebut.
Dengan penuh semangat para sahabat mulai menggali parit yang panjang, lebar dan cukup tinggi, sehingga kuda tidak dapat melewati parit tersebut menuju kota Madinah. Rasul terus memompa semangat para shahabat, Beliau juga turun langsung ke lapangan, bekerja bersama kaum Muslimin lain dengan semangat yang tinggi dan tidak kenal lelah.
Pada pagi hari yang amat dingin, Rasulullah pergi ke parit sementara kaum Muhajirin dan Anshor sedang menggalinya. Beliau tahu perut mereka kosong dan juga letih, oleh karena itu Beliau memanjatkan doa pada Allah Yang Maha Kuasa, “Ya Allah, sesungguhnya kehidupan yang lebih baik adalah kehidupan akhirat, maka ampunilah dosa orang-orang Muhajirin dan Anshor”.
Mereka menjawab,”Kamilah yang telah berbaiat kepada Muhammad, siap untuk berhijad selagi kami masih hidup”. Terciptanya rasa bahagia dan suka cita pada saat itu memiliki pengaruh yang sangat dahsyat dalam mengadapi pasukan gabungan dengan kekuatan berlipat yang sebentar lagi akan mendatangi mereka.
Di dalam buku “Peperangan Rasulullah”, Dr Muhammad Ash Shallaby menuliskan, pada saat persiapan perang khandaq ini udara memang sangat dingin, angin berhembus kencang dan penghidupan masyarakat Madinah saat itu sedang sulit. Ditambah dengan perasaan khawatir adanya pasukan gabungan yang akan menyerang dalam jumlah sangat besar.
Saat itu yang dikerjakan para shahabat sangat melelahkan. Mereka harus menggali parit dengan tangan mereka dan memindahkan tanah galian di atas punggung mereka. Tak diragukan lagi, kondisi semacam ini membutuhkan keteguhan hati dan kesungguhan yang besar.
Dalam kondisi seperti ini, Rasulullah saw tidak melupakan keadaan mereka, yang membutuhkan rehat dari segala beban tersebut. Karena itu, saat mengangkut tanah galian, Rasul bersenandung bait-bait dari Ibnu rawahah.
“Ya Allah, kalaulah bukan karena Mu, pasti kami tak akan mendapat petunjuk. Tidak bersedekah dan tidak pula shalat. Maka, turunkanlah ketenteraman pada kami, dan kokohkanlah pendirian kami jika kami berperang. Sungguh, orang-orang itu telah berbuat aniaya kepada kami. Jika mereka menghendaki fitnah, maka kami akan menolaknya”.
Dalam kondisi khawatir akan datangnya pasukan gabungan Yahudi dan kaum Quraisy, lelahnya mereka menggali parit ditambah kondisi sedang berpuasa, masih ada lagi cobaan bagi mereka. Yaitu, Yahudi Bani Quraidzoh yang berada di dalam Madinah bagian selatan, membelot. Mereka mengingkari perjanjian dengan Rasulullah.
Namun Allah berjanji, bahwa pada setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Saat itu terdapat beberapa tanda Nubuwwah yang menggembirakan kaum Muslimin. Pertama, saat Jabir bin Abdullah menyuruh istrinya menyembelih seekor kambing demi melihat kecintaannya, Rasulullah mengalami kepayahan.
Tak disangka Rasul mengundang semua kaum Muslimin yang menggali parit dengan jumlah ribuan itu untuk menyantapnya. Kambing yang hanya seekor, bahkan bersisa. Kedua, Nu’man bin Basyir yang hanya membawa kurma setangkup tangan untuk diberikan pada ayah dan pamannya. Rasul yang saat itu berada di dekatnya meminta kurma tersebut dan meletakkan di atas selembar kain.
Setelah itu Rasul memanggil semua orang yang menggali parit dan mereka pun memakannya. Lagi-lagi pertolongan Allah datang, kurma yang hanya setangkup tangan itu bahkan bersisa dan tercecer dari hamparan kain.
Terakhir dan yang sangat menggembirakan kaum muslimin ialah janji Allah untuk memenangkan umat Muhammad dalam tiga kemenangan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Yaitu dengan diperlihatkan dan dijanjikan oleh Allah bahwa tiga daerah besar dan kuat akan menjadi bagian dari wilayah Islam. Itulah Syam, Persia dan Yaman.
Bila melihat kondisi saat ini, Islam dan pengikutnya terus saja menjadi bahan ejekan, menuduh yang tak berdasar, ulama dikriminalisasi, pengikutnya dipersekusi. Yakinlah, semua itu ada masanya.
Begitulah, bahwa dalam kondisi yang sangat sempit sekalipun, jangan pernah sekali saja berpikir untuk istirahat apalagi menjauh dari rahmat dan pertolongan Allah. Walaupun saat ini perjuangan dakwah dirasa sempit dan berat, teruslah istiqomah dalam perjuangan dakwah. Karena Allah telah berjanji bahwa di tiap kesempitan pasti ada kemudahan. []
Wallahu’alam.
Oleh Ruruh Hapsari.
0 Komentar