Isu Bom Terkini, Kuda Tunggangan Ide Moderasi, Lalu Apa Kabar SP3 BLBI?

 


Duaarr! Bom kembali meledak. Lagu lama kembali tampak. Isu terorisme pun menyeruak. Ada yang mengatakan realita ini ditunggangi untuk kepentingan agenda moderasi. Serta ada pula yang menyangsikannya sebagai pengalihan isu. Ketika mereka sibuk dan fokus mengikuti pemberitaan suatu kasus besar, namun lambat laun pemberitaan itu (entah sengaja atau tidak) digantikan dengan berita lain yang lebih menghebohkan. Bahkan bisa jadi pemberitaan yang sebenarnya penting itu justru sengaja  ditenggelamkan.

Pagi-siang-malam berita tersebut terus menerus disiarkan dan diperbincangkan oleh banyak media. Maka wajar apabila timbul kecurigaan tentang isu bom terkini ini yang lagi-lagi orang sebut sebagai pengalihan isu.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021) merupakan aksi teror dan pelakunya adalah terorisme.(Beritasatu.com)

Menyoroti peristiwa ini, pakar politik Islam Dr. Ryan, M,Ag. di kanal Ngaji Shubuh (29/3/2021) mengutuk dan menyatakan keprihatinannya. Tetapi ia menekankan agar peristiwa ini tidak dikaitkan kepada Islam. Seolah Islam yang mendorong terjadinya aksi ini. Bahkan lebih jauh jangan digiring kepada isu radikalisme yang sangat sering dilekatkan dengan Islam dan simbol-simbolnya.

Dr. Ryan mengajak untuk menilai peristiwa bom ini secara proporsional. “Jika ditilik dari peristiwa bom WTC pada 2001 yang melahirkan war on terorism nyatanya diketahui menjadi war on Islam. Menunjukkan ada pihak-pihak yang menghendaki legalisasi dan mengokohkan framing buruk ini, meskipun tidak sesuai fakta,” tukasnya.

Kemudian dimanfaatkan untuk menjustifikasi hal-hal lain yang sebenarnya tidak berhubungan. “Akhirnya Islam harus dimoderasi, karena diframing kalau ajarannya dibiarkan itu berbahaya. Stigma ajaran Islam menjadi buruk dan negatif,” urainya.

Seperti pada pernyataan Rektor UIN Alauddin Makassar Prof Hamdan Juhannis, yang tak hanya sekadar menyampaikan bela sungkawa saat menyikapi tragedi bom ini. Guru Besar Sosiologi itu mengatakan, tindakan teror yang masih kerap terjadi menjadi pertanda moderasi beragama harus semakin dikuatkan, sebab menurutnya, kasus terorisme di Indonesia harus diakui memang bermotif agama dengan pemahaman yang salah.

Sangat sering terjadi bahkan seolah lumrah bahwa konsep Islam dikaitkan dengan kasus-kasus terorisme yang terjadi di dunia. Hal ini ditinjau dari ajaran Islam terkait jihad yaitu berjuang di jalan Allah.

Dinyatakan bahwa terorisme kental dengan ajaran Islam yang menyalah-artikan makna jihad. Sehingga ajaran jihad pada Islam harus direduksi. Sebab, apabila dikaitkan pada kondisi saat ini, jihad tidaklah relevan katanya. Jihad selalu dikait-kaitkan dengan tindakan yang tidak memiliki konsep hak asasi manusia, seperti halnya tragedi-tragedi bom yang terjadi hingga kini.

Maka dari itu, moderasi digadang-gadang sebagai solusi untuk menghentikan aktivitas teroris. Padahal, aksi terorisme tidak melulu terjadi dengan mengatasnamakan agama. Louise Richardson dalam bukunya The Roots of Terrorism menyebut bahwa terorisme juga berakar dari persoalan politik dan sosial.

Dari sisi politik, kondisi ketidakadilan yang disebabkan oleh tidak meratanya kesejahteraan ekonomi dan tidak terpenuhinya hak politik bisa memicu munculnya terorisme. Kondisi ketidakadilan baik dalam konteks lokal maupun global yang dialami sekelompok orang akan melahirkan sentimen kecemburuan dan kebencian terhadap kelompok lain yang dianggap menjadi biang ketidakadilan. Kecemburuan dan kebencian inilah yang dapat menjadi akar kekerasan dalam praktik terorisme. 

Dari sudut pandang sosial-budaya, munculnya terorisme kerap dilatari oleh masih kuatnya kultur kekerasan (culture of violence) dalam sebuah masyarakat. Kultur kekerasan adalah semacam mekanisme penyelesaian masalah atau perbedaan dengan cara-cara kekerasan atau konflik. Di masyarakat yang masih memakai kekerasan sebagai jalan keluar utama menyelesaikan persoalan, terorisme memungkinkan untuk tumbuh subur di dalamnya. 

Namun aksi terorisme dengan latar belakang selain dari perspektif keagamaan tidak kental dengan label terorisme tersebut. Wajah terorisme selalu dicerminkan oleh pemahaman keagamaan yang seolah cenderung eksklusif dan konservatif. Eksklusivisme dan konservatisme beragama menurut mereka  ialah sebuah pandangan yang meyakini bahwa hanya agamanyalah yang paling benar dan menganggap agama lain salah atau sesat. Cara pandang keagamaan yang eksklusif-konservatif diopinikan akan menuntun pemeluk agama pada praktik intoleransi bahkan kekerasan yang mengatasnamakan kebenaran agama. 

Sejatinya, terorisme hanyalah isu yang sengaja dikaitkan dengan keyakinan Islam yang benar. Isu tersebut dimanfaatkan untuk merusak dan menghancurkan keyakinan Islam yaitu bahwa Islam adalah agama radikal dan keras. Bahkan radikal tersebut dimaknai dengan Islam yang membawa konsep pemerintahan Islam yang bertujuan untuk melakukan formalisasi syariat Islam. Mengkritik ide demokrasi beserta pandangan kebebasan-kebebasan yang terkandung di dalamnya, dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Islam mempunyai hukum yang telah diatur dalam Alquran sebagai wahyu yang sempurna. Jihad pun dalam Islam ada aturan dan ketentuan yang harus dipatuhi, bukan semata-mata tindakan menghancurkan yang sering dikaitkan dengan terorisme.

Dalam Alquran Allah Swt. berfirman: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu. sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.” (TQS. An Nisa : 29).

Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa bunuh diri dengan besi di tangannya, dia akan menikam perutnya di dalam neraka Jahannam, kekal, dan dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. ”(HR. Al Bukhori No. 5778 dan Muslim No. 158).

Dalam ajaran agama manapun menentang aktivitas terorisme. Apalagi Islam yang sangat mengecam teror. Salah alamat jika isu bom diarahkan kepada penyelesaian moderasi agama Islam.

Apabila kita tilik motivasi awal moderasi Islam yakni berasal dari penjajah barat yang berupaya melalui proyek neoimperialismenya untuk melemahkan kekuatan politik Islam dan kaum muslimin. Karena Islam memiliki potensi untuk menggantikan eksistensi ideologi kapitalisme-sekularisme yang justru destruktif dan realitasnya seringkali menebar banyak teror di negeri-negeri muslim (terorisme negara). Seperti pada kasus Rohingya, uighur, Palestina dan Suriah. Sungguh dapat dikuak fakta terorisme yang tak dapat dibantahkan. Dengan korbannya yang bukan satu dua orang melainkan ribuan bahkan jutaan umat Islam. Serta dengan kerugian material yang juga sangat banyak.

Umat Islam sesungguhnya seringkali menjadi korban teror, namun mereka yang akhirnya dipersekusi dan justru dituduh sebagai pelaku teror. Ajarannya pun distigma sebagai ideologi para teroris sehingga diframing bahwa ajaran Islam perlu untuk dimoderasi. Padahal, problem utama adanya terorisme justru karena ketiadaan penerapan Islam. Hal ini menjadi penyebab merajalelanya terorisme akibat sistem destruktif demokrasi pada aspek politik, sosial, dan agama. Yang lebih penting lagi, ideologi kapitalisme-sekularisme jugalah yang menjadi pemelihara terorisme negara/neoimperialisme.

Ngalor-ngidul membahas terorisme, lalu apa kabar "Dunia Antirasuah Tanah Air" yang dikejutkan dengan cetak sejarah dari Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) atas kasus kakap korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)? Yang telah dinyatakan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau lazim disingkat SP3. Hal ini tentunya patut menjadi telaah bagi masyarakat. Jangan sampai karena tersibukkan pada berita terkait pelaku bom, melupakan putusan kontroversial MA tersebut dalam ketidakadilan hukum yang melindungi "Ikan Besar" di balik kasus BLBI ini. []

Wallahu a'lam biashawab.


Oleh Novita Sari Gunawan

Posting Komentar

0 Komentar