Jadikan IMF Dan World Bank sebagai Penolong, Dosen Ekonomi: Bagai Menabur Garam pada Luka Masa Lalu.


Setelah pemerintah secara terang-terangan membuat kebijakan akan menambah hutang luar negeri pada tahun 2021 ini, Menkeu Sri Mulyani juga menyatakan akan meminta bantuan IMF dan World Bank dalam pengelolaan beban hutang. Lantas bagaimana pendapat tokoh intelektual terkait wacana ini? berikut wawancara yang kami lakukan dengan Dr. Ira Geraldina, S.E, M.S.Ak, CA.

Tanya: menurut ibu kenapa pemerintah akhirnya memutuskan kebijakan penambahan hutang dan mewacanakan meminta bantuan IMF dan WB?

Jawab: Per Februari 2021, total utang pemerintah mencapai sebesar Rp 6.361,02 triliun (yoy, naik 28,55%) dengan rasio utang pemerintah setara dengan 41,1% terhadap produk domestik bruto (PDB). 86% porsi utang adalah Surat Berharga Negara (SBN) dan sisanya pinjaman.

Tidak hanya Kemenkeu yang harus bekerja keras untuk dapat membayar bunga utang, demikian juga dengan BI yang harus melakukan intervensi moneter di pasar utang dengan membeli SBN demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah mengingat rasio utang pemerintah terhadap PDB yang sudah lebih dari 30%. Nilai yang fantastis ini tampak cukup memusingkan sampai terbersit untuk meminta nasihat kepada IMF dan Bank Dunia.

Tanya: Sudah tepatkah wacana tersebut?

Jawab: Wacana ini seperti menabur garam pada luka masa lalu. Pengawasan Bank Dunia atas pembangunan Indonesia pada era Presiden Suharto mendorong pemerintah melakukan reformasi kebijakan, termasuk liberalisasi perdagangan dan investasi asing langsung, disertai dengan peraturan baru untuk mengeksploitasi sumber daya alam seperti UU yang mengatur kehutanan tahun 1967.

Tanya: Menarik sekali karena tadi ibu menggunakan istilah "menabur garam pada luka masa lalu," sebenarnya dampak bahaya seperti apa yang muncul jika wacana ini benar-benar terulang di Indonesia?

Jawab: Selama masa Reformasi (reformasi), untuk mengatasi krisis ekonomi Asia 1997, mengikuti persyaratan pinjaman IMF dalam Nota Kebijakan Ekonomi dan Keuangan 1998, Indonesia didorong melakukan reformasi deregulasi ekonomi agar lebih menarik bagi investor asing, justru meninggalkan ketergantungan ekonomi terhadap investor asing. Sehingga membuka keran leberalisasi perdagangan,  investasi luar negeri, dan privatisasi yang membuka cengkeraman korporasi atas kekayaan alam Indonesia. 

Pada dokumen utama Kerangka Kerja Kemitraan Bank Dunia dan Indonesia terbaru, dalam rangka mensukseskan proyek pembangunan Indonesia 2016-2020, kita diarahkan untuk melakukan reformasi kebijakan publik yang lebih mendukung bagi sektor swasta, sehingga swasta menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi. Wajar jika kemudian menjelma menjadi negara korporasi dimana akses rakyat terhadap layanan dan barang publik dibatasi oleh tarif swasta. Tidak bisakah kita belajar dari resep IMF dan Bank Dunia yang nyata mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang destruktif?

Posting Komentar

0 Komentar