Kebijakan Sesat Penanggulangan Terorisme

Bertempat di ruang kerjanya, di Balai Kota Depok, Imam Budi Hartono, Wakil Walikota Depok menyampaikan ajakan kepada warga Depok agar mengenal tetangga guna mengantisipasi tindakan terorisme yang kini marak terjadi. Ajakan tersebut disampaikan melalui wartawan Warta Kota, pada Kamis (1/4/2021). Menurutnya, Indonesia yang terkenal kerukunannya dalam bermasyarakat dan beragama harus bisa menjalin komunikasi dengan para tetangga yang berada dalam lingkungan pemukimannya. “Bahwa kalau ada orang asing, bukan orang bule ya, tapi orang yang baru pindah, kita harus mengenal siapa orang tersebut,” lanjutnya.

Masih menurut Imam, jika tetangga tersebut tidak bisa diajak sebagai tetangga yang baik, tentu ini menjadi salah satu indikator bahwa hal itu perlu dilaporkan ke RT atau RW-nya. Para Ketua RT dan RW juga diminta proaktif mengenal warganya. Hal itu, menurut Imam, untuk memastikan bahwa tidak adanya tindakan atau kegiatan teroris dilingkungan pemukiman warga. Dengan mengenal dan bersikap memperhatikan tetangga, diharapkan akan tercipta keamanan dan kenyamanan bagi warga. 

Mengkritisi kebijakan Pemerintah Kota Depok seperti yang disampaikan oleh Wakil Wali Kotanya di atas, tentu tidak bisa dilepaskan dari kebijakan yang digariskan oleh pemerintah pusat. Demikian pula dalam hal kebijakan penanggulangan terorisme. Seiring dengan terjadinya aksi bom bunuh diri yang dilakukan di halaman gereja Katedral Makassar dan di Mabes Polri, isu terorisme kembali hangat dibicarakan. Banyak kalangan menyampaikan kalimat kutukan dengan beragam narasi dan asumsi. 

Dengan gerak cepat, dalam 24 jam Polri berhasil mengetahui identitas pelaku bom bunuh diri Makassar. Mereka adalah pasangan milenial suami istri yang tergabung dalam jamaah Ansharut Daulah (JAD). Sedangkan pelaku bom bunuh diri di Mabes Polri Jakarta adalah seorang gadis yang diduga sebagai pelaku _lone wolf_ yang berafiliasi kepada ISIS, berdasarkan profiling pihak Polri. Aksi bom bunuh diri ini kemudian diikuti dengan serangkaian penangkapan yang dilakukan oleh Polri terhadap terduga teroris lainnya. Tercatat dalam sepekan kemudian, puluhan terduga teroris telah diamankan dari berbagai daerah di tanah air.

Kejadian berikutnya, di pinggir Jalan Grogol, Limo, Depok, pada Minggu (4/4/2021), ditemukan bungkusan bertuliskan ‘FPI Munarman.’ Bungkusan yang belum diketahui isinya itu kemudian dibawa ke Polres Depok dan diamankan oleh Tim Gegana. Menjawab keterkaitan dengan dirinya, Munarman, SH menyatakan tidak tahu menahu tentang bungkusan yang ditemukan tersebut. Namun tulisan ‘FPI’ pada bungkusan benda tersebut sarat terkesan maksud untuk mendiskreditkan organisasi yang belum lama dibubarkan itu. Sangat jelas tercium aroma framing untuk menyudutkan FPI dalam penemuan bungkusan tersebut.

Aksi bom bunuh diri, yang berujung pada penangkapan para terduga teroris, dan penemuan bungkusan mencurigakan, dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bisa membaca arah politik saat ini. Tindakan tersebut bukannya mencitrakan kebaikan ajaran Islam, tetapi justru melahirkan pendiskreditan terhadap Islam dan ajarannya yang mulia. Buntutnya, dilakukanlah tindakan represif yang semakin gencar kepada aktivitas dakwah Islam. Hal ini dilakukan dengan dalih, untuk menanggulangi aksi teroris melakukan pengeboman dan menakut-nakuti masyarakat.

Padahal sesungguhnya dalam ajaran Islam, haram hukumnya melakukan aksi bom bunuh diri. Dosa besar bagi pelaku bunuh diri tersebut. Keliru jika bunuh diri dianggap jihad fi sabilillah. Berjihad tidak boleh dilakukan tanpa adanya institusi sahih yaitu kekuatan negara yang menaunginya. Berjihad dalam arti berperang harus dalam komando pemimpin negara, tidak boleh dilakukan secara perorangan, jika tidak dalam wilayah yang memang sedang berkecamuk perang. Jadi jelas, orang-orang yang melakukan bom bunuh diri adalah orang-orang yang tidak paham ajaran Islam yang benar. Mereka memahami Islam dengan persepsi yang salah dan menyimpang.

Kemudian perihal dakwah Islam, tentu tidak pada tempatnya jika dikaitkan dengan kekerasan dan teror. Dakwah Islam justru dilakukan untuk mengajak orang kepada jalan yang lurus. Menasihati orang yang salah langkah, memotivasi agar banyak berbekal untuk akhirat, dan mengajak orang memperbaiki akhlaknya. Tidak ada sedikitpun keburukan dalam dakwah Islam sehingga harus dicurigai dan dimata-matai. Upaya mengawasi dan menjegal dakwah Islam hanyalah upaya yang sejalan dengan keinginan Barat, musuh Islam, untuk memframing ajaran Islam menjadi monster yang harus ditakuti.

Terkait memata-matai tetangga juga sesungguhnya adalah jebakan musuh Islam melalui alur kebijakan dari pusat hingga ke daerah, untuk menciptakan suasana saling mencurigai antar sesama warga. Tindakan memata-matai ini dalam Islam disebut tajjasus. Perbuatan ini tegas dilarang sebagaimana Firman Allah dalam Surah Al-Hujurat ayat 12, yang artinya, “Wahai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.”

Rasulullah SAW juga melarang perbuatan tajjasus, sebagaimana dalam sabda beliau, “Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba yang bersaudara.” 

Namun amat disayangkan, para pemangku kekuasaan, termasuk Pemerintah Kota (Pemkot) Depok yang notabene adalah Muslim, ternyata terbawa dalam arus kebijakan yang diberlakukan dari pusat hingga ke daerah. Kebijakan Pemkot Depok telah nyata tidak mengindahkan larangan Allah dan Rasul-Nya di atas. Tetapi justru menetapkan kebijakan yang menghalalkan perbuatan tajjasus untuk  dilakukan. Hal ini menjadi bukti bahwa Islam telah berhasil dimosterisasi menjadi ajaran yang menakutkan dan menimbulkan teror. Terutama dengan pengaitan bahwa terduga teroris adalah orang yang rajin ke masjid, bercadar dan berjubah. Maka semakin terlihat menakutkanlah ajaran Islam.

Untuk menangkal ‘gerakan’ umat Islam yang dinilai terlalu berpegang teguh dengan ajaran Islam tersebut, maka dibuatlah narasi untuk ber-Islam dengan lebih ramah. Jangan terlalu radikal dalam menjalankan Islam, tetapi secukupnya saja, begitu narasi yang digembar-gemborkan. Jika terlalu berpegang teguh (radikal) dalam ber-Islam, bisa-bisa dicap teroris. Jadi dinarasikan bahwa cukuplah ajaran Islam dijalankan dengan melakukan ibadah-ibadah sehari-hari saja. Di ranah bermasyarakat dan bernegara tidak perlu peraturan Islam diterapkan.

Alhasil, agama dan negara ‘haram’ dipersatukan. Politik dalam negara diyakini harus ‘bersih’ dari ajaran agama (Islam). Hal ini karena agama (Islam) dianggap akan mendoktrin manusia menjadi kaku dan berpikiran sempit. Karena itu agama (Islam) haruslah diwaspadai supaya jangan sampai bisa diterapkan dalam peraturan negara. Demikianlah stigma negatif yang semakin kuat disematkan kepada ajaran Islam. Apalagi dengan tersebarluasnya pemahaman Islam Ideologis saat ini, yang menawarkan solusi bagi seluruh problematika umat manusia dengan ditegakkannya kekhilafahan Islam (negara Islam). Maka semakin takutlah musuh-musuh Islam bahwa umat menginginkan segera tegaknya kekuasaan Islam yang pasti akan melibas kekuasaan mereka. []


Oleh Dewi Purnasari

Aktivis dakwah politik

Posting Komentar

0 Komentar