Pandemi Covid-19 meningkatkan beban utang sebagian besar negara, termasuk Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani berharap IMF dan Bank Dunia dapat mendukung negara-negara di seluruh dunia mengelola beban utangnya secara efektif.
Ia berharap IMF dan Bank Dunia dapat melanjutkan dan memperkuat perannya sebagai mitra pembangunan yang efektif bagi negara-negara anggotanya saat dibutuhkan, terutama dalam situasi saat ini.
Total utang pemerintah mencapai sebesar Rp 6.361,02 triliun per Februari 2021. Angka ini naik 28,55% dari periode yang sama pada tahun lalu sebesar Rp 4.948,18 triliun. (katadata.co.id)
Di tahun ini, pemerintah masih akan berutang. Dalam APBN 2021, pemerintah menargetkan akan menarik utang baru melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 1.207,3 triliun. Namun ada juga pinjaman Rp 29,9 triliun. Sehingga didapatkan pembiayaan utang tahun ini Rp 1.177,4 triliun. (m.kumparan.com)
Pengamat Ekonomi Arim Nasim mengungkap apa yang terjadi di balik peningkatan utang pemerintah yang naik signifikan mulai era Jokowi, sehingga ke depan, seperti diprediksikan Ekonom Senior Indef Didik J Rachbini, setiap tahun Indonesia harus membayar utang sebesar Rp 1.000 triliun (setara 1.500 persen anggaran pendidikan).
“Utang ini kan merupakan bentuk balas jasa ya dari rezim saat ini untuk dukungan para kapitalis saat Pemilu,” ujarnya dalam acara Kabar Malam, Kamis (1/10/2020) di kanal Youtube Khilafah Channel.
Sebuah hal yang lumrah apabila pemerintah terus berutang. Karena rezim yang terpilih dalam demokrasi mendapatkan bantuan dari para kapitalis baik asing dan aseng. Sehingga kita akan menyaksikan "no free lunch" itu terjadi pada kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah seiring jalan dengan upaya untuk memuluskan agenda kapitalis di negeri ini. Utang merupakan alat penjajahan modern. Mereka tidak begitu saja memberikan utang secara cuma-cuma.
Apabila utang digadang-gadang bertujuan untuk kemaslahatan rakyat, ini tampaknya tidak benar. Karena utang yang justru menjadi alat penjajahan ekonomi tersebut, realitanya bukan ditujukan untuk kepentingan rakyat. Kalaupun ada, rakyat hanya mendapatkan recehannya saja. Contoh salah satunya utang untuk pembangunan infrastruktur. Lalu kita patut bertanya, siapa sejatinya yang benar-benar menikmati infrastruktur? Tentu saja para kapitalis dan orang-orang yang berduit saja.
Siapa yang paling diuntungkan justru ialah para kapitalis. Selain mendapatkan keuntungan melalui bunga utangnya yang mencekik, sekali mendayung dua pulau terlampaui, negara yang berutang dapat dieksploitasi. Dan inilah justru yang berbahaya di balik penjajahan utang tersebut. Kekayaan alam kita langsung menjadi jaminan agar bank-bank internasional menggelontorkan uang. Tanah kita pun digadaikan pada perusahaan swasta dan asing.
Dengan ketergantungan pada utang, negeri ini semakin mudah dikuasai oleh asing. Mereka mengendalikan Indonesia melalui utang luar negeri yang terus menggunung.
IMF dan Bank Dunia dengan menggelontorkan utangnya, akan mendikte berbagai kebijakan negara yang meminjam utang. Sehingga pemerintah akan mengeluarkan undang-undang yang membuat para kapitalis legal menjarah sumber daya alam negeri ini hingga terkuras habis. Hasilnya, mayoritas tambang, migas, dan hutan dikuasai asing.
Rakyat hanya gigit jari dan menganggap sebagai hal yang wajar akibat ketidakberdayaannya, sehingga tak bisa menikmati hasil pengelolaan sumber daya alam. Sementara sumber daya alam tersebut terus mengalir deras untuk kepentingan asing. Maka dapat diprediksi ke depan, bahwa negeri ini akan terjual jika tak melepaskan diri dari penguasaan asing, karena sumber daya alam habis dirampok oleh asing.
Indonesia dibuat dalam jebakan debt trap, dibuat terus berutang dengan motif pembangunan. Sampai pada kondisi Indonesia tidak mampu membayar utang selamanya. Sehingga pada akhirnya Indonesia harus menjual aset negara melalui privatisasi BUMN. Dan rakyat terus dieksploitasi dengan pajak yang kian membumbung tinggi.
Lalu apakah kita bisa begitu saja stop berutang? Sangat sulit bagi Indonesia melepaskan diri dari jeratan utang selama sistem ekonomi yang dipakai ialah ekonomi kapitalisme. Selama Indonesia hanya mengalami pergantian rezim bukan pergantian sistem, maka selama sumber daya alam kita belum habis, utang juga tidak akan bisa dihentikan.
Solusinya adalah melepaskan diri dari jeratan kapitalis dan mengadopsi sistem ekonomi Islam yang bebas dari bunga utang luar negeri. Tapi untuk mengubah sistem ekonomi Islam, maka Indonesia juga perlu menganut sistem politik Islam. Mengubah haluan politik ekonomi Indonesia menjadi politik ekonomi berbasis Islam dengan menegakkan institusi Khilafah. Pada akhirnya, kebijakan yang menyengsarakan rakyat dan menguntungkan penjajah akan ditata ulang sesuai dengan prinsip Islam tersebut.
Kepemilikan atas aset akan diselaraskan dengan pandangan Islam. Sumber daya alam seperti migas, emas, nikel, besi, baja, hutan, laut dan berbagai sumber daya yang lain bukan dimiliki oleh negara apalagi hanya segelintir kapitalis, melainkan milik umat. Negara hanya mengelolanya dan mengembalikan hasil pengelolaan pada umat. Hasil dari pengelolaan tersebut dapat dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan, kesehatan, transportasi, infrastruktur dan segala aspek kemaslahatan umat lainnya.
Oleh karena itu, kita membutuhkan elite politik yang memiliki kemauan kuat untuk mandiri dan berdaulat. Memiliki kesadaran untuk melepaskan diri dari ketergantungan utang pada asing. Sosok pemimpin yang amanah dan bertakwa pada Allah Swt, yang akan menjalankan kewajiban pengurusan terhadap rakyat dengan pengurusan yang sesuai dengan syariat Islam. Sebuah sistem paripurna yang telah Allah Swt turunkan pada kita, demi terwujudnya Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. []
Wallahu a'lam biashawab.
Oleh Novita Sari Gunawan
0 Komentar