Kicauan Radikal Radikul, Jualan Tak Laku di Bulan Ramadan

 


Bulan penuh berkah, kita sambut penuh hikmah. Kerinduan yang membuncah hadir mengiringi langkah beribadah, sebagai muslim hendaknya tak abai dalam menyambut Ramadan jika tak ingin kerugian menyertai.

Namun, di tengah riuh semangat beribadah, di antara kegembiraan umat menyambut bulan Ramadan bersahaja, masih saja ada sekelompok orang yang berusaha menodai momen mulia ini. Kicauan radikal terhadap umat tak henti-hentinya digencarkan oleh kelompok yang entah apa motifnya, seolah kelompok merekalah yang paling merugi dan terluka dengan semarak umat muslim menyambut momen Ramadan ini. 

Di tengah kegembiraan umat, masih saja ada kecurigaan tindakan dan seruan radikal dalam ceramah dai. Entah apa alasannya, seolah radikal menjadi aspek yang membahayakan negara. Seolah tak ada pembahasan lain, semua terfokuskan dalam proyek deradikalisasi. 

Dilansir dari antaranews.com, "Para dai harus meneladani cara berpikir Rasulullah saw dan tidak ikut dalam arus berpikir sempit. Seperti fenomena yang muncul belakangan ini," kata Wapres Ma’ruf dalam web seminar nasional Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) secara daring, Minggu.

Wapres juga menambahkan bahwa cara berpikir sempit hanya memunculkan sifat egosentris, tidak menghargai perbedaan dan enggan berdialog untuk menerima dan memperluas wawasan. Bahkan, dengan memiliki pola pikir yang sempit bisa menyebabkan paham radikal semakin berkembang.

"Cara berpikir sempit juga bisa melahirkan pola pikir yang menyimpang dari arus utama atau bahkan menjadi radikal sehingga dapat menjurus pada penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan masalah," tuturnya.

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa yang dikhawatirkan hanyalah ujaran radikal yang sebenarnya terlalu imajinatif dan mengada-ngada. Sudah seharusnya para dai berceramah terkait memperkuat ibadah, menjalin ukhuwah, menyambut Ramadan dengan saling bersedekah. Lantas apa yang dikhawatirkan merupakan sebuah tedensius berlebihan, bahkan mengacu pada islamphobia. Bagaimana mungkin seorang ulama yang dianggap memahami betul mengenai urgensi dan fadhilah di bulan Ramadhan justru menyeru kepada hal yang mungkar. Justru wacana radikal terkesan terindikasi menganggu kegembiraan umat di tengah Ramadan berlangsung. Kecurigaan ini justru menimbulkan perpecahan di antara umat muslim. Mengklasifikasikan dai yang dasarnya satu akidah justru membuat meretaknya ukhuwah. 

Wacana yang menimbulkan kontroversi di tengah umat yang sibuk menyambut Ramadan memang tak lain adalah bagian dari pelaksanaan proyek deradikalisasi, rezim tak berhenti berupaya memadamkan seruan Illahi meski di momen yang penuh nilai religiusitas. Tak dipungkiri, semakin beragam upaya memfitnah umat muslim kini telah dirasakan di negeri ini. Seolah fokus pemerintah hanya bagaimana cara menangkal radikalisme yang sebetulnya mereka justru terindikasi intoleran dan keras terhadap perbedaan. Mendiskreditkan dan menepikan ajaran agama yang dianut oleh sebagian besar penduduknya. 

Wacana Wapres terkesan tedensi terhadap kelompok tertentu. Sikapnya terhadap sesama muslim berkebalikan dengan umat beragama lain. Pada kamis, 1 April 2021, Wapres menyempatkan diri mengikuti perayaan Paskah Lintas Umat Beragama Tahun 2021 bersama Persekutuan Gereja Gereja di Tanah Papua dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Papua.

Dalam sambutan yang disampaikan secara daring dari Jakarta, Wapres Ma’ruf memberikan pesan kebangsaan bahwa kesepakatan nasional untuk hidup berdampingan dengan rukun antarsesama umat beragama di Indonesia harus dijaga dan dirawat.

Namun di lain sisi, Wapres begitu mengecam dan penuh curiga bahkan terhadap dai yang berceramah di bulan Ramadan. Fenomena janggal ini terjadi di tanah air. Selain ujaran kecurigaan yang berlebihan dari Wapres, Komisaris BUMN Pelayaran Nasional PT Pelni membatalkan rangkaian ceramah Ramadan yang sebelumnya telah disepakati bersama beberapa kalangan penceramah atau dai.

Poster para dai itu sebelumnya tersebar di media sosial. Di antaranya Yakni Ust. Firanda Andirja, KH Cholil Nafis yang juga pengurus MUI Pusat, Ust. Rizal Yuliar Putrananda, Ust. Syafiq Riza Basalamah, dan Ust. Subhan Bawazier.

Komisaris Independen PT Pelni, Kristia Budiyarto alias Kang Dede mengatakan bahwa acara tersebut dibatalkan karena belum ada izin dari direksi.

Ia pun menambahkan bahwa para pejabat Pelni yang mengundang para ustaz tersebut akan dicopot. Dia menilai, para penceramah yang diundang tersebut kebanyakan mempunyai pemikiran radikalisme.

Jika kita menilik dari otoritas seorang Komisaris independen PT Pelni, apa yang menjadi hak dan wewenangnya sehingga bisa dengan ringan menilai radikal pada para dai, dan membatalkan acara ceramah yang telah disepakati dengan dalih yang begitu tendensi. Ini adalah gambaran kegagalan paham terhadap ajaran agama Islam. Selain itu, ini merupakan manifestasi perselingkuhan antara buzzer dan jabatan, ketika buzzer yang diangkat menjadi salah satu yang menjabat dan bertugas dalam menjalankan otoritas negara, maka inilah yang terjadi. Fokusnya bukan terhadap upaya efektivitas yang selaras dengan fungsi dan perannya sebagai Komisaris BUMN, melainkan esensi pergerakan nya diwarnai dengan peran utamanya sebagai buzzer sehingga lakonnya penuh eksentrisitas. Seperti memata-matai ideologi yang dianggapnya mendistrakasi upaya deradikalisasi serta mengeluarkan pernyataan yang tidak sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya sebagai seorang Komisaris BUMN. 

Aneh memang, kicauan radikal radikul ini masih saja gencar dan masif di tengah semarak Ramadan. Rezim seharusnya perlu berkaca, menata diri dan bertaubat di momen yang penuh ampunan dan hikmah. Bukan sebaliknya, justru sibuk memfitnah dan mencoba mendiskreditkan umat Islam.

Berbagai rangkaian upaya ini seolah mengalihkan kegagalan rezim dalam begitu banyak persoalan negara, terutama dalam mengatasi masifnya angka penularan covid-19, gagalnya mengurangi angka utang luar negeri, mengatasi masalah korupsi yang kian mengisap duit negara, hingga begitu banyak bencana alam yang terjadi di pelosok tanah air hilang dari ingatan rezim hanya karena kecurigaan yang tak jelas orientasinya terhadap umat Islam. 

Kita dapat menilai bahwa pemerintah gagal, bukan hanya dalam mengatasi berbagai permasalahan, melainkan juga gagal menjadi sebuah instansi yang berdiri dalam konstitusi yang sah. 

Sadarilah, bahwa permasalahan rakyat bukan ada pada radikal yang terlalu imajinatif dibayangkan oleh rakyat, melainkan kini musuh NKRI yang nyata berada di depan mata diantaranya yakni para koruptor, pengkhianat negara dan para oligarki penguasa dan tindak perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha yang difasilitasi dalam ideologi kapitalisme yang mewarnai sistem negeri ini. []

Wallahu a'lam bissowab.


Oleh Dian Fitriani


Posting Komentar

0 Komentar