Belum lama ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta pemerintah daerah untuk membentuk tim terpadu penanganan konflik sosial. Gambaran kerja tim ini adalah mengelola dan memitigasi isu yang berpotensi menimbulkan konflik sosial di daerah. Mendagri menyatakan perlu kerja sama, soliditas dan sinergitas antara pemerintah pusat, daerah serta seluruh elemen masyarakat (Media Indonesia.com 2/4/2021).
Tito menambahkan bahwa tim tersebut juga perlu membawahi 3 sub tim. Pertama, sub tim pencegahan konflik sosial. Unsurnya dari Badan Intelijen Negara Daerah (Binda) atau Kesatuan Bangsa, maupun TNI. Tugasnya menginventarisasi potensi konflik di daerah dan mengawal skala prioritas yang kiranya dapat menimbulkan konflik. "Jadi mungkin 70% penanganan konflik sosial adalah pencegahan," kata Mendagri.
Kedua, sub tim penghentian konflik. Tim ini menurutnya dibutuhkan ketika konflik sudah tidak dapat dicegah. Karenanya, penghentian harus cepat dilakukan. Terakhir, tim pemulihan yang bertugas melakukan rekonsiliasi melalui mediasi, kemudian rehabilitasi dan rekonstruksi. Unsur di dalamnya dapat berasal dari kesatuan bangsa dan politik (Kesbangpol) maupun tokoh masyarakat.
Hal itu semua dilakukan menurut Tito untuk memudahkan pemerintah daerah melakukan percepatan pembangunan bila keadaan sosial dan keamanan kondusif. Sebaliknya, pembangunan di suatu daerah tidak akan bisa terlaksana jika instabilitas keamanan dan konflik sosial melanda.
Konflik Sosial Karena Keberagaman?
Negeri ini diberikan oleh Allah Swt mempunyai beraneka ragam budaya, suku bangsa maupun bahasa. Tentunya untuk menyatukannya dalam satu aturan, bukan seperti membalikkan kedua telapak tangan. Dengan keberagaman tersebut akan rawan dan berpotensi terjadi konflik sosial bahkan bisa mengarah pada tindak kekerasan, akankah demikian?
Dalam kajian sosiologi, pengertian konflik adalah proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan tanpa memperhatikan norma dan keabsahan perilaku, demikian dikutip dari buku Sosiologi Konflik dan Rekonsiliasi: Sosiologi Masyarakat Aceh (2015: 17), terbitan Unimal (Tirto.id 22/3/2021).
Masih mengutip buku yang sama, konflik dapat didefinisikan sebagai masalah sosial yang timbul karena adanya perbedaan pandangan di dalam masyarakat maupun negara. Konflik merupakan sebuah ekspresi atas adanya heterogenitas kepentingan, nilai, dan keyakinan yang muncul akibat formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial.
Dilansir dari liputan 6.com tiga tahun lalu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Mulyono mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan negeri yang rawan konflik. Hal ini terbukti dengan indeks kerentanan Indonesia pada 2017 yang berada di angka 74,9 versi NGO The Fund for Peace (FFP) (14/3/2018).
Menurut dia, capaian indeks tersebut menunjukkan adanya korelasi linear antara kerentanan bangsa dan kualitas sumber daya manusia dalam menghadapi derasnya arus informasi. "Jika tidak disikapi dengan benar maka kita akan mengalami nasib sama seperti negara Yaman, Libya, dan Suriah," kata Mulyono.
Oleh karena itu, ia berharap Indonesia dapat lebih memperkuat nilai-nilai luhur bangsa yang termuat dalam Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Dengan begitu, lanjut dia, isu disintegrasi bangsa dapat ditangkal dengan baik.
Berguru Dari Imperium Terdahulu
Heterogenitas merupakan hal yang fitrah. Seperti firman Allah dalam surat Al Hujurat : 13, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha mengetahui dan Maha teliti”.
Banyaknya ras, suku maupun bahasa di negeri ini sesungguhnya tak jadi soal. Melihat bagaimana imperium Islam seluas dua pertiga dunia selama ratusan tahun membawahi multi ras, bahasa maupun etnis, hidup rukun hingga sekarang. Rahasia persatuan imperium Islam itu adalah dengan satunya iman. Iman yang satu akan menghasilkan kesamaan pandangan. Pandangan tentang satunya tujuan, apa yang harus diperjuangkan sekaligus hanya mengedepankan hal yang penting saja.
Imperium Islam yang kemudian dikenal sebagai Daulah Khilafah itu, berabad pernah hadir dan menetap di Nusantara. Sebelum abad ke enam masehi, banyak terdapat kesultanan Islam yang berkembang dan dengannya Islam dapat menyatu dengan masyarakat.
Saat itu, masuknya Portugis maupun Belanda ke Nusantara menjadi ancaman yang nyata bagi masyarakat. Pengusiran dari bumi khatulistiwa ini didasari keimanan, lihat saja bagaimana Cut Nyak Dien misalnya menjuluki Belanda sebagai kafir.
Saat ini keheterogenan tersebut tidak diatur dengan baik, sehingga banyak keinginan yang ingin dipenuhi. Selain itu yang harus menjadi sorotan adalah adanya dorongan kuat dari luar yang selalu merongrong persatuan negeri. Ialah ideologi rusak ala barat, kapitalisme. Ia tak suka bila kaum muslimin bersatu.
Bayangan persatuan kaum muslimin dalam sebuah imperium, sangat menakutkan bagi mereka. Kekuatan Islam dalam satu panji, merupakan mimpi buruk yang selalu mereka cegah. Mereka sangat khawatir bila Islam bersatu. Oleh karenanya usaha untuk mencerai beraikan wilayah Islam selalu dilakukan sejak lama.
Sehingga, agar konflik sosial yang selalu melanda negeri ini dapat teratasi, maka formulanya adalah kembali pada Islam. Karena Islam dapat mempersatukan keberagaman. []
Wallahu’alam.
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar