Kontroversi Vaksin Nusantara Menimbulkan Konflik, Bukti Kegagalan Pengurusan Negara


Vaksin Nusantara yang digagas oleh mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto semakin menuai kontroversi karena vaksin ini dinyatakan belum lulus uji klinis tahap satu oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Meski uji klinis tahap satu dinilai masih belum sesuai kaidah penelitian, sehingga belum dinyatakan lulus oleh BPOM, tetapi uji klinis tahap kedua tetap berjalan. Hal ini karena hasil rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI, BPOM mempersilakan dilakukannya dahulu perbaikan pada uji klinis tahap satu Vaksin Nusantara. Jadi tanpa mengantongi pernyataan lulus uji tahap satu, Vaksin Nusantara tetap melanjutkan uji klinis ke tahap dua.

Dukungan yang besar datang dari anggota DPR RI terhadap dilanjutkannya proses uji klinis Vaksin Nusantara. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad dan Wakil Ketua Komisi IX dari Fraksi Partai Golkar, Melki Laka Lena memberikan dukungan dengan bersedia diambil sampel darahnya untuk uji klinis Vaksin Nusantara ini. Dukungan juga mengalir dari para tokoh nasional, seperti Aburizal Bakrie dan Mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari. Namun menurut Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Daeng M. Faqih, peneliti di proyek Vaksin Nusantara, sebaiknya tetap terlebih dahulu memperbaharui iji klinis fase satu. 

Dalam keterangan pers-nya, Peneliti Utama Uji Klinis Vase Dua Vaksin Nusantara, Kolonel Jonny, sampel darah yang diambil akan dipadukan dengan protein dari sampel Virus Corona. Sehingga dengan dikenalkannya sel darah putih di dalam darah dengan Virus Corona, maka ia akan mempunyai memori tentang Virus Corona ini. Hasilnya, jika suatu saat Virus Corona menyerang, maka sel darah akan mengenali virus ini, dan bisa membentuk perlawanan terhadapnya. Ini disebut proses dengan penggunaan basis sel dendritik. Uji klinis berbasis sel dendritik ini, selama ini hanya di lakukan oleh China dan Indonesia.

Meski tercatat sebanyak 180 orang yang telah mengikuti uji klinis tahap dua, tetapi kontroversi makin mencuat karena banyak kalangan yang tidak mendukung proyek Vaksin Nusantara ini. Bahkan banyak kalangan menilai, BPOM dianggap sebagai lembaga yang sudah tidak netral lagi di ranah sains, tetapi sudah terbawa ke ranah politik. Namun, BPOM menyanggahnya, dengan menyatakan bahwa protab uji vaksin yang ketat (keamanan, efikasi, dan kelayakan) ini diberlakukan karena menyangkut nyawa manusia.

Penelitian Vaksin Nusantara dilakukan oleh tim peneliti dari Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, RSPAD Gatot Subroto, RSUP Dokter Kariadi, dan pihak Universitas Diponegoro. Penelitian yang sudah digagas oleh Terawan sejak ia masih menjabat sebagai Menteri Kesehatan ini mendapat sponsor dari PT Rama Emerald dan PT AIVITA Biomedical. Namun sesungguhnya, Vaksin Nusantara ini adalah jenis vaksin yang dikembangkan di Amerika, dan diujicobakan di Indonesia. Komponen pembuatan vaksin, mulai dari antigen hingga medium pembuatan sel semua import dari Amerika.

Kontroversi semakin memanas karena sikap mantan Menteri Kesehatan,Terawan dan tim peneliti yang ngotot melanjutkan tahapan ke dua uji klinis Vaksin Nusantara ini. Sikap ini mendapat dukungan dari sebagian anggota DPR karena semangat untuk membangkitkan produksi vaksin milik negeri sendiri. Menurut DPR dan banyak kalangan, selama ini pemerintah dinilai sangat lamban dalam menanggulangi Pandemi Covid-19. Pemerintah juga dinilai bersikap lebih pro terhadap pengadaan vaksin impor. Sedangkan terhadap vaksin hasil penelitian anak bangsa sendiri, pemerintah terkesan tidak mendukung.

Untuk program vaksinasi Covid-19, Indonesia memang membeli vaksin Covid-19 dari berbagai negara. Menteri Kesehatan saat ini, Budi Gunadi Sadikin menyatakan, bahwa vaksin yang dibeli merupakan hasil kerjasama bilateral dan multilateral dengan beberapa produsen. Tercatat pada awal tahun ini, pemerintah membeli vaksin Sinovac, Novavac, Covax, AstraZeneca, dan Pfizer/BioNTech. Sedangkan vaksin yang dikembangkan di Indonesia dan masih dalam tahap uji klinis tercatat, hanya Vaksin Nusantara dan Vaksin Merah Putih.

Terlepas dari kontroversi seputar Vaksin Nusantara, sesungguhnya pandemi Covid-19 tidak bisa diatasi hanya dengan vaksin. Hal ini dinyatakan oleh banyak pakar kesehatan dan ahli Biomolekuler, termasuk oleh Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, yang pernah menuntaskan masalah pandemi Flu Burung di masa ia menjabat (2004-2009). Sedangkan, saat ini obat untuk menyembuhkan Covid-19 belum ditemukan. Saat ini, Covid-19 hanya bisa diatasi dengan kekuatan imunitas penderita. Sementara penyebarannya hanya bisa diatasi dengan cara isolasi, pembatasan berskala antar daerah dan penerapan prokes 5M di tataran individu. 

Vaksinasi adalah salah satu pencegahan terhadap penyakit yang tidak wajib dilakukan, menurut hukum Islam. Hukum berobat adalah sunah di level individu. Rasulullah SAW bersabda dalam satu hadits beliau tentang berobat, “Wahai hamba Allah, carilah pengobatan. Sungguh, Allah tidak menciptakan sebuah penyakit kecuali menciptakan obatnya, kecuali satu, yaitu ‘tua’.” (Sunan At-Tirmidzi 2038). Demikian pula, di level kebijakan negara, hukum berobat (termasuk vaksinasi) juga sunah. Contohnya, vaksinasi yang pernah dilakukan pada masa Kekhilafahan Turki Utsmani untuk pencegahan penyakit _Smallpox_ (Cacar). Pada masa itu, pemberian vaksin pada masyarakat tidak diwajibkan, tergantung kondisi masing-masing orang.

Jadi, di saat pandemi Covid-19 melanda saat ini, jika ada Kekhilafahan Islam, maka khalifah wajib memfasilitasi dan mendanai pengembangan vaksin, dan pendistribusiannya bagi seluruh warga Daulah Islam. Khalifah juga akan memberlakukan lockdown (isolasi) total dan karantina bagi penderita. Sedangkan bagi orang tanpa gejala (OTG), khalifah akan melakukan tes masal dengan masif, guna mencegah penyebaran virus.

Menurut Islam, uji klinis terhadap vaksin selayaknya dilakukan menurut standar keamanan yang lebih tinggi, dibandingkan dengan standar obat umum. Hal ini karena, obat umum diberikan kepada orang yang sakit secara spesifik (tergantung penyakitnya), sedangkan vaksin diberikan kepada orang yang sehat secara umum (masal). Karenanya, pemberian vaksin berisiko lebih tinggi.

Untuk mempercepat proses pengembangan vaksin dalam situasi darurat, maka khalifah harus memerintahkan untuk memotong proses regulasi dan birokrasi yang terlalu panjang. Bukan seperti di negeri ini, di mana proses uji klinis dipaksakan dipercepat, tetapi birokrasi justru dipersulit karena banyaknya pihak berkepentingan yang ‘bermain.’

Semua periayahan (pengurusan) khalifah terhadap warga negara Daulah Islam, sarat dengan semangat untuk membantu kesulitan warga negara yang menderita akibat serangan pandemi. Kemudian, periayahan khalifah yang tidak dilandasi keuntungan materi akan berdampak pada semangat warga negara untuk sungguh-sungguh menjaga kesehatan. Hal ini secara otomatis akan segera memulihkan kondisi kesehatan dan perekonomian dalam negara. 

Berbeda dengan kebijakan pemerintah di negeri ini, yang menjadikan vaksin sebagai bisnis yang menguntungkan negara produsen vaksin. Sementara ketika anak bangsa sendiri mengembangkan vaksin, pemerintah tidak memberi regulasi yang jelas, sehingga akhirnya menimbulkan konflik antar sesama anak bangsa sendiri. Pemerintah juga tidak mendanai pengembangan vaksin yang dibuat oleh bangsa sendiri, sehingga anak bangsa ini terpaksa harus menggandeng pihak swasta atau perusahaan asing untuk mendanai proyeknya. Hal ini tentu akan menjadikan vaksin yang diproduksi menjadi komoditi bisnis kembali, bukan diperuntukkan bagi kemaslahatan warga negara. []


Oleh Dewi Purnasari

Aktivis dakwah politik


Posting Komentar

0 Komentar