Mampukah Deviden Memenuhi Kebutuhan Masyarakat Kota Bogor?


Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor menerima lebih besar pembagian laba (deviden) dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kota Bogor pada tahun 2020. Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Bogor, Deni Hendana mengatakan tahun 2020 merupakan kondisi dimana semua mengalami awal pandemi Covid-19, meski demikian kondisi tersebut tak mempengaruhi penurunan pendapatan dari perusahaan plat merah yang signifikan. Ada empat BUMD yang beroperasi di Kota Bogor menyumbang deviden sebesar Rp 31,9 miliar. Perumda Tirta Pakuan menempati urutan pertama dengan realisasi deviden sebesar Rp 22,9 miliar atau 100 persen (RadarBogor, 15/04/2021)

Setiap tahunnya Kota Bogor mendapatkan deviden dari BUMD. Dampak pandemi Covid-19 ternyata tidak berpengaruh pada pendapat deviden Kota Bogor dari BUMD. Bahkan pendapatan ditahun 2020 meningkat sekitar Rp 3 miliar dari tahun sebelumnya (tahun 2019). Ada empat BUMD yaitu Perumda Tirta Pakuan, BJB, Perumda Bank Kota Bogor dan Perumda Pasar Pakuan Jaya (PPJ) yang menyumbang deviden ke Pemkot Bogor. 

Deviden didapat atas penyertaan modal dari Pemkot Bogor. Deviden di tahun 2020 ini memang mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan di tahun 2018 mengalami minus pendapatan.  Hal ini menunjukkan pendapatan yang berasal deviden bersifat naik turun/tidak stabil (fluktuatif). Sehingga tidak bisa dipastikan setiap tahunnya akan mendapatkan peningkatan deviden, atau bahkan bisa terjadi sebaliknya penurunan atau kerugian.

Deviden merupakan salah satu pos pemasukan Pemkot Bogor selain dari pajak dan merupakan pendapatan asli daerah (PAD) yang akan digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan Pemkot. Oleh karena itu Pemkot Bogor terus berupaya semaksimal mungkin agar setiap tahunnya deviden yang diterima terus mengalami peningkatan seperti yang diharapkan.

Jika kita melihat fakta di atas, bahwa sistem keuangan yang diterapkan Pemkot Bogor merujuk pada kapitalisme, maka dapat dipastikan akan berdampak pada sulit terwujudnya kesejahteraan rakyat. Karena sistem keuangan yang berasaskan pada aspek ribawi tidak akan membawa kemaslahatan bagi rakyat, bahkan membawa rakyat pada kemudharatan. Di sisi lain Pemkot pun tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhannya jika hanya bersandar pada deviden yang bersifat tidak menentu. Maka lagi-lagi pajak dan hutang yang terus ditingkatkan untuk menutup biaya operasional dan kebutuhan daerah.

Padahal negeri ini memiliki sumberdaya alam (SDA) yang melimpah ruah, jika dikelola negara dengan cara yang benar maka daerah pun tidak perlu berharap pada deviden, pajak apalagi dari hutang ribawi. Tapi sayangnya meskipun berada di negeri kita, hasil pengelolaan SDA tidak banyak dirasakan oleh rakyat. Ini semua terjadi karena negara dengan sukarela menyerahkan pengelolaan SDA kepada korporasi (asing/aseng) atas nama investasi. Merekalah yang merasakan hasil pengelolaan SDA yang jelas-jelas merupakan kepemilikan umum/rakyat.

Inilah potret sistem kehidupan berlandaskan kapitalisme yang bertahta di negeri ini. Rakyat yang hidup bergelimang dengan kemiskinan, kebodohan dan biaya hidup yang tinggi menjadi pemandangan tragis di negeri yang dikenal dengan sebutan zamrud khatulistiwa. Berharap hidup layak dan sejahtera bagaikan mimpi di siang bolong. Walaupun mereka telah bekerja siang dan malam tapi tetap saja uang yang mereka dapat tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.   

Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan penerapan sistem keuangan dan sistem ekonomi yang berbasis syariah Islam dalam negara Khilafah. Peradaban Islam telah menorehkan tinta sejarah dalam perjalanan kehidupan manusia diseluruh aspek kehidupan. Kemajuan ilmu pengetahuan hingga kesejahteraan rakyatnya menjadi catatan gemilang ketika peradaban Islam berjaya di muka bumi ini. Jaminan kesejahteraan di masa Khilafah dapat terwujud karena Khilafah memiliki seperangkat aturan atau kebijakan bersumber dari Islam yang diterapkan secara menyeluruh dan utuh. 

Khilafah memiliki kebijakan mengatur kepemilikan kekayaan negara sesuai syariah Islam, yang meliputi kepemilikian individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara, yang ketiganya diatur dan dikelola untuk kesejahteraan rakyat. Pengelolaan tersebut diatur di dalam baitul mal yang menjadi pusat pengelolaan kekayaan Khilafah. Arahnya adalah untuk menjamin kebutuhan pokok per individu rakyat agar benar-benar mendapatkan sandang, pangan dan papan secara layak. Serta untuk menjamin kebutuhan kolektif rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, pertanian, industri, infrastruktur dan lain sebagainya. Hal tersebut di atas bisa terwujud karena ditopang oleh sistem keuangan dan ekonomi Islam yang menjadi salah satu paket dari sistem lainnya seperti politik-pemerintahan, hukum dan sebagainya.

Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan papan diberikan negara dengan mekanisme secara tidak langsung. Ketentuan syariat Islam dalam hal ini, negara akan menempuh tiga strategi kebijakan. Pertama, Islam menetapkan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok individu dengan mewajibkan setiap laki yang sudah baligh, berakal dan mampu untuk bekerja. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya seperti anak, istri, ibu, bapak dan saudaranya. Dalam hal ini, negara pun wajib menyediakan lapangan pekerjaan yang halal seluas-luasnya dan membangun iklim kondusif untuk berkembangnya usaha dan investasi yang halal.

Mekanisme kedua, jika individu tidak mampu dan tidak bisa memenuhi kebutuhan dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka beban tersebut akan dialihkan sesuai jalur wajib nafkah dan kerabat dekatnya untuk menanggung kebutuhan mereka.

Mekanisme ketiga, jika point kedua pun belum bisa memenuhi kebutuhan pokok secara layak, maka beban itu beralih pada negara. Negara wajib menanggung pemenuhan kebutuhan pokok orang tersebut dengan mengambil harta melalui baitul mal, termasuk harta zakat.

Apabila negara tidak memiliki dana untuk memenuhi kebutuhan pokok, maka negara menetapkan dharibah (pajak) dari kaum muslim yang kaya. Pungutan dharibah ini hanya bersifat sementara yaitu ketika kas baitul mal sedang kosong atau dana yang ada tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Walhasil ketika taraf hidup tiap individu rakyat meningkat, ditambah dengan gaya hidup yang Islami, maka tentu pertumbuhan ekonominya akan stabil dan impian rakyat hidup sejahtera bukanlah hanya sekedar mimpi.  

Demikianlah gambaran sistem keuangan daulah Khilafah dalam mengatur dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya tanpa memandang dan membedakan  suku, ras dan agama. Dan gambaran ini tidak akan pernah kita temukan jika sistem kapitalisme masih bercokol dimuka bumi ini. Sudah saatnya kita beranjak meninggalkan sistem yang rusak dan batil untuk menuju kepada sistem Khilafah yang mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keberkahan hidup baik di dunia maupun diakhirat. Wallahu a’lam. []


Oleh Siti Rima Sarinah (Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)




Posting Komentar

0 Komentar