Membangun Kemandirian Ekonomi Tanpa Utang Ribawi



Menanggapi keinginan Menkeu, Sri Mulyani, untuk meminta bantuan IMF dan Bank Dunia dalam pengelolaan beban utang, Rizal Ramli menyatakan kritiknya dengan tajam bahwa hal itu justru akan membawa Indonesia pada jurang kehancuran. Bahkan mantan Menko Perekonomian itu memprediksi krisis 1998 akan terulang lagi jika IMF dilibatkan dalam pengelolaan beban utang sebagaimana yang dulu pernah terjadi di masa Soeharto sebagaimana dilansir dalam detikfinance.com (Sabtu,17/04/2021)

            Realitas memang menunjukkan tak satupun negara di dunia ini yang lepas dari cengkeraman utang luar negeri berbasis riba. Dan fakta yang ada menunjukkan bantuan keuangan berbasis riba ini tidak membuat perekonomian negara-negara peminjam menjadi lebih baik. Sebaliknya yang terjadi adalah utang yang kian menumpuk dan ketergantungan yang semakin tinggi terhadap utang luar negeri.

Riba dan Penguasaan Dunia

            Allah swt telah mengharamkan riba. Keharaman riba bersifat mutlak. Karenanya tidak layak bagi kaum muslimin menganggap sepele larangan Allah ini. Dahsyatnya siksa bagi mereka yang memakan riba seharusnya cukup untuk mencegah manusia melakukannya. Dan riba bukanlah utang. Menyamakan riba dengan utang adalah kesalahan berpikir yang sangat fatal. Sebab meski ada kemiripan, keduanya jelas berbeda dalam kacamata syariat Islam.

Dan setiap yang diharamkan Allah sudah bisa dipastikan mengandung kemafsadatan bagi manusia. Bukan hanya dosa dan siksa yang akan didapat, kemurkaan dan azab Allah juga berlaku bagi mereka yang mengabaikan larangan ini. Dalam sebuah hadits Nabi SAW bersabda:

إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim)

Selain kerugian yang bersifat ukhrawi, riba juga menimbulkan kerugian duniawi. Hilangnya kemandirian ekonomi sebuah negara adalah salah satunya. Dan jika itu terjadi pada negara Islam, maka hilang pulalah ketinggian Islam atas segala agama dan umat yang lain.

Dan saat ini, kondisi itu benar-benar terjadi. Negara-negara berkembang yang notabene adalah negeri-negeri Islam semuanya berada dalam jeratan riba. Tak terkecuali Indonesia. Akibatnya, negeri-negeri Islam tersebut selalu bergantung pada negara-negara Barat sebagai pihak pendonor.

Ketika ketergantungan itu kian kuat, maka lambat laun kedaulatan sebuah negara juga akan digerogoti. Akhirnya bisa dipastikan bahwa seluruh sumber daya di negara itu harus tergadai untuk kepentingan pihak pendonor. Begitulah cara-cara yang dilakukan orang-orang kafir untuk menguasai dunia melalui penggunaan utang luar negeri yang ribawi.

Mewujudkan Kemandirian Ekonomi

            Tak ada yang bisa memungkiri bahwa Islam menorehkan masa kegemilangan ekonominya hampir 13 abad lamanya. Dan kegemilangan serta kemandirian ekonominya itu disebabkan akibat penerapan syariat Islam secara kaffah dalam sistem khilafah. Itu sebabnya kaum muslimin harus kembali pada perjuangan untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyah.

Khilafah akan menerapkan kembali hukum-hukum syariah Islam untuk membangun kemandirian ekonominya. Dan untuk mewujudkan hal itu ada beberapa hal penting yang akan dilakukan antara lain adalah

Pertama, menghentikan utang luar negeri baik utang dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia atau IMF maupun utang dari negara lain. Sebab selain karena keharaman riba, selama ini utang luar negeri memberikan syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan ekonomi negara peminjam. Dan hal ini jelas diharamkan sesuai dengan kaidah syariah “al-wasilah ila al-haram haram” (sarana menuju yang haram hukumnya haram juga). Dan utang luar negeri terbukti telah menjadi sarana (wasilah) bagi kaum kafir untuk mendominasi umat Islam sehingga hukumnya haram.

Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam bukunya As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla  dengan tajam mengatakan bahwa utang luar negeri sebenarnya bukanlah bantuan, melainkan senjata politik di tangan negara donor untuk memaksakan politik dan pandangan hidupnya atas negara debitor. Pernyataan tersebut terkonfirmasi dengan pernyataan Presiden AS, John F. Kennedy pada tahun 1962 yang mengatakan, “Bantuan luar negeri merupakan suatu metode yang dengan itu Amerika Serikat mempertahankan kedudukannya yang berpengaruh dan memiliki pengawasan di seluruh dunia…” (M. Dawam Rahardjo (Ed.), Kapitalisme Dulu dan Sekarang)

Kedua, menghentikan segala bentuk hubungan dengan negara-negara kafir yang sedang memerangi umat Islam (daulah muharibah fi’lan), seperti Israel dan Amerika Serikat. Pasalnya, adanya hubungan dengan negara-negara kafir seperti itu, misalnya hubungan diplomatik, hubungan budaya dan hubungan dagang, berarti menghentikan jihad fi sabilillah (perang) kepada mereka. Padahal Islam telah mewajibkan jihad fi sabilillah untuk melawan negara-negara kafir yang nyata-nyata tengah memerangi umat Islam.

Ketiga, menghentikan keanggotaan dalam PBB, termasuk lembaga-lembaga internasional di bawah PBB seperti IMF dan Bank Dunia. Ini disebabkan dua alasan. Pertama, karena lembaga-lembaga tersebut menjalankan peraturan yang bertentangan dengan syariah Islam. Kedua, karena lembaga-lembaga tersebut adalah instrumen negara kapitalis penjajah (khususnya AS) untuk mendominasi umat Islam.

Keempat, menghentikan keanggotaan dalam blok-blok perdagangan kapitalis seperti NAFTA, AFTA, MEA, dan sebagainya. Keanggotaan dalam blok-blok seperti ini haram hukumnya karena telah terbukti mendatangkan dharar (bahaya) bagi umat Islam, yaitu mendominasi perekononian dalam negeri, selain juga karena adanya peraturan perdagangan yang bertentangan dengan syariah Islam

Kelima, mencetak mata uang emas (dinar) dan perak (dirham). Hal ini hukumnya wajib atas negara Khilafah. Penggunaan dinar dan dirham dalam perdagangan internasional akan memberikan kemandirian ekonomi yang sangat kuat bagi negara Khilafah.

Keenam, menghapus seluruh lembaga-lembaga keuangan kapitalis, seperti perbankan, asuransi, pasar modal, perseroan terbatas (PT), dan sebagainya. Alasannya, karena lembaga-lembaga tersebut tidak disyariatkan Islam. Selain itu lembaga-lembaga tersebut telah menjadi instrumen dominasi yang dimanfaatkan oleh kekuatan kapitalisme global untuk melakukan penjajahan ekonomi atas umat Islam.

Ketujuh, menghentikan investasi asing yang bertentangan dengan syariah. Misalnya, investasi asing pada sektor-sektor milik umum, seperti pertambangan. Ini haram karena sektor milik umum hanya boleh dikelola oleh negara saja, bukan yang lain. Contoh lain adalah investasi asing pada sektor bisnis yang haram, seperti bisnis barang haram (daging babi, darah, bangkai, khamr, dan sebagainya), maupun bisnis jasa haram seperti riba, judi, prostitusi, minuman keras, dan sebagainya. Demikian juga halnya dengan investasi yang mendominasi umat Islam sehingga ekonomi rakyat tidak dapat berkembang atau bahkan mengalami kerugian. Investasi seperti ini tidak dibolehkan syariah karena menimbulkan mudharat (bahaya) dan juga menyebabkan harta hanya beredar di kalangan orang kaya (pemodal asing) saja.

Maka sudah jelas, satunya-satunya sistem yang mampu untuk menjamin adanya kemandirian ekonomi kaum muslimin hanyalah sistem Islam yang dibingkai dalam sebuah institusi Daulah Khilafah. Karenanya jika ingin perekonomian negeri ini selamat, tak perlu alergi atau bahkan gengsi dengan penerapan syariat Islam secara kaffah. Sebab hanya dengan sistem Islam inilah keberkahan akan didapatkan. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan(ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka akibat perbuatannya”.(QS. Al-A’raf :96). Wallahu a’lam wa bishshowwab

 

 

 

 

Penulis : Kamilia Mustadjab 

Posting Komentar

0 Komentar