Ramadan tinggal menghitung hari tetapi wacana terkait THR (Tunjangan Hari Raya) kian santer di media. Seolah negara ini enggan bertanggung jawab terhadap kondisi rakyat, tarik ulur kebijakan pun kian membingungkan. Di satu sisi pemerintah menagih janji kepada pengusaha agar bisa memberi THR penuh kepada para karyawan. Hal ini karena para pengusaha sudah mendapatkan bantuan dari pemerintah dengan keringanan pajak.
Namun pengusaha justru malah sebaliknya minta tetap dicicil berhubung kondisi perusahaan tidaklah semua membaik. Sementara itu Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, tidak semua pengusaha mampu untuk membayar THR secara penuh.(Katadata.co.id, 2/4/2021)
Bahkan para buruh mengancam akan melakukan aksinya jika pengusaha enggan membayar THR secara full tahun ini. Hal ini disampaikan oleh Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit (TSK) mendesak pemerintah tak mengeluarkan aturan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) Tahun 2021 dengan cara dicicil. Jika aturan pembayaran THR itu disahkan, mereka mengancam akan turun ke jalan.
Bahkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja TSK SPSI Roy Jinto akan menolak jika rencana Menteri Ketenagakerjaan RI mengeluarkan aturan untuk memperbolehkan pihak perusahaan mencicil dan menunda pemberian THR 2021 kepada Pekerja/Buruh. (detikNews, 20/3/202).
Fakta di atas menjadi sebuah bukti bahwa penguasa ingin melimpahkan periayahan rakyat kepada pengusaha. Padahal seharusnya pemerintah memberi kan jaminan kebutuhan hidup tidak kepada pengusaha. Seolah dengan memberikan bantuan kepada pengusaha itu sudah cukup efektif untuk menagih janji agar rakyat terpenuhi THRnya. Sebenarnya rakyat bukan hanya membutuhkan tunjangan lebaran, yang saat ini ditunda dan dicicil oleh pengusaha. Namun rakyat juga memerlukan terpenuhinya kebutuhan hidup saat lebaran maupun di luar lebaran.
Pemerintah dalam sistem demokrasi memang hanya sebagai regulator bukan pelindung apalagi penyayang masyarakat. Kedudukan pengusaha dan para kapitalis memang memiliki sumbangsih besar terhadap penguasa saat ini. Mereka berperan dalam mengendalikan roda ekonomi masyarakat di negeri ini. Tengok saja bagaimana perundang-undangan yang dibuat lebih bnyak yang pro pengusaha dibandingkan rakyat. Sudah tentu kebijakan apapun yang hadir merugikan rakyat semata.
UU Cilaka menjadi bukti keberpihakan pada pengusaha. Apapun dalihnya penguasa tidak boleh abaikan rakyat yang saat ini ditimpa pandemi berkepanjangan. Bahkan tidak pernah tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Memang dengan pandemi telah memukul perekonomian baik di negeri ini bahkan di seluruh dunia. Namun bukan menjadi alasan hak rakyat tidak terpenuhi.
Fakta tersebut menjadi sebuah fakta adanya simbiosis mutualisme berasaskan materi. Ketika pemerintah memberikan bantuan kepada pengusaha saat memenuhi kebutuhan rakyat, justru yang dilakukan pengusaha mengelak enggan memenuhi tuntutan tersebut.
Terlebih, bantuan subsidi upah sudah dihentikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, konsumsi bisa menjadi semakin menurun di tengah potensi kenaikan harga barang pokok jelang puasa dan Lebaran. Untuk itu, ia menilai harus ada keseimbangan dan rasa keadilan antara kepentingan buruh dan pengusaha. Pengusaha dinilai sudah mendapatkan stimulus ekonomi dan keringanan pajak dari pemerintah.
Sementara karyawan ataupun buruh harus siap gigit jari apabila tuntutan tersebut diabaikan. Betapa posisi yang serba salah karena saat menuntut sana sini justru terkesan ada lempar tanggung jawab tetapi tetap saja pada akhirnya rakyat saja yang jadi korban.
Pemerintah dalam sistem kapitalisme memang dalam pembiayaannya senantiasa dalam mendapatkan sumber utama pendapatan negara berasal dari pajak. Sedangkan dalam pengeluaran belanja utamanya hanyalah untuk membiayai kebutuhannya sendiri. Hal ini seperti administrasi negara, Hankam dsb. Selain itu juga membiayai infrastruktur negara seperti jembatan, jalan, sekolah, dan rumah sakit.
Tidak mengherankan jika dalam pembiayaan negara ini senantiasa berujung terhadap pajak. Hal ini karena pemerintah dalam menyusun anggarannya adalah harus berimbang. Jika pemerintah mengeluarkan belanja negara melebihi sumber penerimaan nya maka biasanya pemerintah akan menutup dengan utang (pinjaman) dari luar bisa swasta maupun asing. Tidaklah heran jika rakyat menuntut di masa pandemi pun terkesan ogah-ogahan sementara pihak kapitalis senantiasa mendapatkan berbagai kemudahan.
Periayahan Umat dalam Sistem Khilafah
Berbicara keadilan dan kesejahteraan rakyat tentu tidak lepas dari sebuah sistem komprehensif yang mengatur. Sistem itu tiada lain adalah khilafah. Mengapa khilafah, karena dalam sistem ini sudah terbukti sejak 13 abad yang lalu yang mampu menyejahterakan umat Islam maupun nonmuslim. Sistem ini dalam melindungi rakyatnya tidak berorientasi dunia tetapi senantiasa berorientasi akhirat. Hal ini karena para penguasa melindungi, mengayomi sepenuh hati atas dasar takwa.
Jika kita baca dari berbagai literatur sejarah Islam yang masih otentik, maka kita akan menjumpai bagaimana khalifah sebagai pemimpin umat Islam melindungi rakyatnya. Di dalam sistem khilafah juga bagaimana mengatur antara pengusaha dan pekerja. Hubungan pekerja dan pengusaha adalah saling menguntungkan. Hubungan yang dilakukan pun tidak membuat pekerja terzalimi. Sementara penguasa akan memonitoring dan memberikan sanksi manakala ada kezaliman di antara mereka.
Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti adalah orang yang telah memberikan (baiat kepada khilafah) karena Aku, lalu berkhianat, orang yang menjual (sebagai budak) orang yang merdeka, lalu dia memakan harga (hasil penjualan nya; serta orang yang mengontrak pekerja kemudian menunaikan pekerjaannya, sedang orang itu tidak memberikan upahnya. HR Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Hadis ini menjadi pegangan bagi siapa pun untuk berbuat adil dan tidak melakukan berbagai kezaliman. Gambaran hadis ini menjadi pemicu hubungan penguasa, pengusaha dan pekerja dalam Islam dengan landasan iman. Tidak lagi ada saling lempar tanggung jawab apalagi kezaliman yang tercipta.
Semua tunduk terhadap aturan hukum syara.
Penguasa memberikan jaminan kebutuhan pokok hidup, mengatur pos-pos penerimaan dan pengeluaran negara berdasarkan hukum syariah Islam, sementara pengusaha menunaikan kewajibannya untuk pekerja secara syari.
Dari sinilah keteraturan kehidupan pekerja, pengusaha dan penguasa. Tidak lagi ada drama THR karena akibat susahnya mencari penghidupan yang layak terutama di masa pandemi. Sebab semua kebutuhan sudah dipenuhi oleh negara.
Oleh karenanya, sistem Islam saja yang mampu mengatasi masalah ketenagakerjaan beserta masalah lainnya.
Keputusan ada di tangan kita memilih sistem dari Allah atau aturan manusia. []
Wallahu a'lam bishshawab.
Oleh Heni Ummu Faiz
Ibu Pemerhati Umat
0 Komentar