Gencarnya
narasi moderasi Islam akhir-akhir ini memang harus disikapi dengan benar. Sebab
narasi moderasi ini merupakan gagasan yang sengaja dimunculkan agar kaum
muslimin lebih terbuka terhadap nilai-nilai Barat, tidak terlalu kuat dan
militan dalam memegang agama Islam, dan menerima berbagai keberagaman yang ada.
Sepintas gagasan ini nampaknya tidak bertentangan, namun jika dicermati lebih
jauh gagasan ini bisa membawa kaum muslimin semakin jauh dari ajaran agamanya
bahkan bisa mengantarkan pada kekufuran.
Landasan Islam Moderat:
Tidak Tepat
Sebagian
orang berpendapat bahwa moderasi Islam adalah gambaran tentang Islam sebagai
sebuah agama yang ramah dan toleran dan bisa menerima semua bentuk perbedaan yang
ada di masyarakat. Dalil yang digunakan
adalah QS. Al Baqarah:143.
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian (pula)
Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al Baqarah: 143)
Lafadz
al-wasath diartikan sebagai pertengahan, tidak memihak dan seimbang
(tawazun). Dari pemahaman ini kemudian ditarik kesimpulan bahwa Islam adalah
agama yang netral, yang berada di tengah dan bisa menjadi titik temu dari
setiap kubu yang ada.
Padahal
para ulama telah menafsirkan kata al-wasath tersebut dengan makna al-khiyar
(pilihan), terbaik, dan adil. Pengertian al-wasath sebagai al-khiyâr juga
terdapat dalam firman Allah Swt:
قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلَا
تُسَبِّحُونَ
“Berkatalah seorang
yang paling baik pikirannya di antara mereka: "Bukankah aku telah
mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?"
(QS al-Qalam: 28).
Sedangkan
status sebagai umat terbaik itu tidak bisa dilepaskan dengan Islam itu sendiri
sebagai risalah yang diberikan kepada mereka. Ibnu Katsir mengatakan, ketika
umat ini dijadikan sebagai ummah wasath, Allah mengkhususkan mereka dengan syariah paling sempurna, manhaj
paling lurus, dan madzhab paling jelas. Itulah
Islam.
Oleh
karena itu, maka umat yang mengikuti agama ini pun layak mendapatkan status
umat terbaik. Tentu saja, status mulia tersebut dapat disematkan kepada mereka
tatkala menjalankan dan mengemban risalah tersebut. Makna ini juga sejalan
dengan firman Allah Swt:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ
لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”
(QS Ali Imran: 110).
Sedangkan
menurut Abu Said al-Khudri, Mujahid, Qatadah, dan Al-Qurthubi, kata wasath
dalam ayat ini berarti adil berdasarkan penjelasan Rasulullah saw yang
diriwayatkan Abu Said dan Abu Hurairah ra. Dari Abu Said al-Khudri:
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى قَوْلِهِ
(وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا) قَالَ )عَدْلاً(
“Dari Nabi saw tentang
firman-Nya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu sebagai umat
wasath.” Beliau bersabda: Adil (HR al-Tirmidzi)
Atas
dasar ini, maka Islam bukanlah agama yang moderat dan umat Islam bukanlah umat
yang harus bersikap moderat. Tetapi Islam adalah agama terbaik, agama pilihan
dan adil. Oleh sebab itu agar bisa menjadi umat yang terbaik, justru umat Islam
harus menjalankan tugas mulianya untuk melakukan amar makruf nagi mungkar
sebagaimana dalam QS. Ali Imron: 110.
Moderasi: Upaya Meredam
Dakwah
Sebagian kaum muslimin menggunakan landasan perbuatan
Rasulullah saw dalam perjanjian Hudaibiyah untuk menguatkan bahwa Islam adalah
agama yang moderat. Dalam perjanjian dengan kafir Quraisy
tersebut, keputusan yang dilakukan Rasulullah tidak populis dalam pandangan
para sahabatnya. Dalam perjanjian tersebut, Rasulullah
memilih jalan tengah (moderat, red) untuk mencapai kesepakatan damai, meskipun
kala itu beberapa sahabat tidak menyetujuinya karena sejumlah hal yang menurut
mereka sangat prinsip dalam perjuangan menegakkan ajaran Islam. Peristiwa
inilah yang dijadikan landasan untuk menyatakan bahwa Islam adalah agama yang
moderat.
Namun, perlu diingat, ada fragmen lain dari perbuatan
Rasulullah yang justru menunjukkan kondisi sebaliknya. Fragmen tersebut justru
menunjukkan betapa teguhnya beliau memegang amanah dakwah ini. Saat para
pembesar Qurays meminta agar Rasulullah menghentikan dakwahnya melalui paman
beliau, Abu Thalib, Rasul sangat etgas menolaknya. Jawaban Rasulullah atas
permintaan ini sangat masyhur. Beliau menjawab, "Wahai Paman, Demi
Allah, kalau pun matahari diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan
kiriku, agar aku meninggalkan perkara ini (penyampaian risalah), sehingga Allah
memenangkannya atau aku binasa, pastilah tidak akan aku meninggalkannya."
Sikap teguh Rasulullah ini tak pernah digunakan oleh para
pendukung moderasi Islam. Padahal peristiwa ini jelas menunjukkan bagaimana teguhnya
sikap Rasulullah terhadap upaya untuk meredam dakwah. Dan tentu sikap inilah
yang harus dicontoh kaum muslimin dalam kondisi saat ini. Ketika rezim
menginginkan agar dakwah dijalankan dengan nuansa damai dan menyejukkan, justru
kaum muslimin harus berani bersikap dengan tegas terhadap upaya-upaya semacam
ini.
Keteguhan Rasulullah dalam memegang perkara agama ini
juga ditunjukkan saat Rasul menghadapi bani Amir bin Sha’sha’ah. Salah seorang
dari mereka yang bernama Biharah bin Firas berkata, “Bagaimana menurutmu jika
kami berjanji setia padamu untuk mengikuti agamamu, kemudian Allah menaklukkan
orang-orang yang menentangmu, apakah setelah itu urusan ini menjadi milik
kami?” Rasulullah saw bersabda, “Semua urusan itu milik Allah. Terserah Dia mau
berbuat apa!”
Fragmen ini menunjukkan bahwa upaya bani Amir untuk
bernegosiasi dengan Rasul terkait persoalan keyakinan, kekuasaan, dan dakwah,
tidak menggoyahkan keteguhan Rasulullah saw. Mereka ingin Rasul juga mengakui
kayakinan dan kekuaaan mereka. Namun Rasul tidak pernah memilih sikap lain
selain teguh hanya memegang Islam saja. Ini justru menjadi indikasi kuat bahwa
dalam hal ini, berpegang teguh pada Islam adalah sikap satu-satunya yang harus
diambil oleh kaum muslimin.
Tentu kaum muslimin tidak boleh mempertukarkan
keimanannya dengan apapun. Sekalipun posisi mereka ada di pemerintahan dan
sekalipun mereka memiliki jabatan yang tinggi. Bukan berarti mereka harus
menggadaikan aqidahnya dengan menunjukkan sikap toleran kepada umat lain. Bukan
pula berarti sebagai pejabat, mereka boleh masuk ke rumah ibadah umat
lain,memberi sambutan, mengucapkan selamat hari raya kepada mereka. Toleransi
semacam itu adalah toleransi yang kebablasan, yang justru menjerumuskan umat
Islam pada kekufuran. Naudzubillahi min dzalik.
Butuh Pemahaman Sempurna
Oleh
sebab itu, kaum muslimin harus berhati-hati terhadap penggunaan istilah-istilah
asing yang diislamisasi. Nampaknya berasal dari Islam, karena terlhat islami
dengan mencomot dalil, padahal sejatinya itu bukan berasal dari Islam.
Program
moderasi ini memang tak dikenal dimasa para sahabat. Bahkan hingga Daulah
Khilafah runtuh, istilah ini juga tidak dikenal. Istilah ini baru muncul di
tengah-tengah kaum muslimin saat mereka dijajah oleh Barat. Baratlah yang
memunculkan istilah ini dengan harapan umat Islam tunduk dan menerima
nilai-nilai Barat.
Serangan
pemikiran melalui berbagai istilah terus dilakukan oleh Barat dengan harapan
kaum muslimin tidak bertahan dengan nilai-nilai Islam. Dikenalkanlah istilah
demokrasi, HAM, terorisme dan berbagai istilah yang lain. Dan lemahnya
pemahaman kaum muslimin telah membuat mereka menerima istilah ini. Bahkan sikap
defensif apologetik yang muncul pada diri mereka membuat mereka berusaha
mencari pembenaran melalui berbagai nash dan dalil.
Karenanya
satu-satunya jalan untuk mengembalikan umat Islam pada ajarannya adalah dengan
membersihkan berbagai pemikiran-pemikiran Barat itu dari benak umat. Kemudian
menanamkan istilah-istilah yang shahih yang sesuai dengan apa yang dimaksud
dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Intinya kaum muslimin harus kembali mempelajari
agamanya, jika ingin mendapatkan kemuliaan, kemajuan dan kebangkitan yang
hakiki.
Penulis: Kamilia
Mustadjab
0 Komentar