Harga sejumlah bahan pokok kompak menanjak sepekan sebelum ramadan. Berdasarkan pantauan di Pusat Informasi Harga pangan Strategis (PIHPS) pada Senin (5/4) ini, Kenaikan salah satunya terlihat jelas pada komoditas cabai rawit. (CNN Indonesia.com, 5/4/2021).
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri mengatakan harga berbagai komoditas pangan mulai menunjukkan kenaikan.Harga bahan pangan yang meningkat dan cukup mencolok dalam 1-2 hari ini yakni daging ayam, daging sapi dan minyak goreng. (Kompas.com, 8/4/2021).
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (DPPKUKM) Provinsi DKI Jakarta dalam kurun waktu Januari sampai dengan Juli di tahun 2018-2020, secara berturut-turut terjadi fluktuasi harga rata-rata dari komoditas pangan daging sapi, ayam broiler, bawang merah, beras, cabai keriting, dan telur ayam.
Misalnya, pada tiga tahun belakangan, harga rata-rata pada komoditas daging sapi lokal mengalami kenaikan pada saat menjelang bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Namun demikian, setelah melewati bulan tersebut harga rata-rata pada komoditas daging sapi lokal pada kurun waktu tiga tahun belakangan cenderung stabil, yaitu pada rentang harga Rp130.000,00 sampai dengan Rp145.000,00 per kilogram di setiap bulannya. (statistik.jakarta.go.id, 14/1/2021).
Pelaku usaha mengatakan, ada berbagai faktor yang mendorong peningkatan harga pangan dan bahan pokok menjelang hari raya keagamaan, seperti Lebaran yang didahului dengan bulan puasa. Menurut perwakilan pelaku usaha pangan Nur Iswan dalam diskusi Ketahanan Pangan Jelang Ramadhan, Sabtu (28/4) mengatakan faktor yang sulit dikendalikan adalah psikologi pasar, terutama yang dilakukan oleh para pedagang.
Mereka sudah berpikir secara insting, pasti supply kalah dari demand, makanya harga naik. Kalau pun terjadi kontrol pemerintah melalui kementerian atau lembaga terkait hanya terbatas hanya pada pengusaha-pengusaha besar. Sementara untuk pelaku usaha kecil yang banyak menjual barang yang dibutuhkan masyarakat menjelang puasa dengan mematok harga tinggi melebihi harga pasaran tidak mampu dijangkau oleh Pemerintah, padahal pengusaha kecil ini justru langsung bersinggungan dengan konsumen. (Kompas.com, 28/4/2018).
Kondisi ini terus berulang setiap tahun, padahal tahun ini Ramadhan untuk kedua kalinya dalam kondisi pandemi dan resesi ekonomi melanda berbagai negara termasuk Indonesia, sehingga daya beli masyarakat turun. Namun, seolah tidak terpengaruh dengan resesi, meningkatnya konsumsi di bulan Ramadhan tetap terjadi.
Secara hukum ekonomi yang ada sekarang, kondisi permintaan (demand) lebih tinggi daripada supply (penawaran) itulah yang menjadikan harga-harga barang meroket, biasanya dengan alasan semua biaya mendatangkan barang-barang tersebut ongkos kirimnya juga naik atau memang karena ada permainan tengkulak atau kartel. Kartel adalah gabungan beberapa produsen independen yang menimbun barang dalam rangka menguasai pasar. Pelaku kartel akan memainkan harga dengan cara menimbun banyak hasil panen hingga stok di pasar menipis, kemudian mematok harga setinggi mungkin agar untung. (dana.com, 27/4/2020).
Menjelang ramadhan dan lebaran menjadi saat yang tepat untuk kartel ini beraksi. Maka, terjadinya monopoli pasar, penimbunan dan panjangnya rantai distribusi yang sangat dipengaruhi oleh segelintir orang diatas menjadikan harga-harga di pasar fluktuatif,
Demikianlah gaya penerapan sistem ekonomi kapitalisme, seluruh harta kekayaan tidak peduli sangat vital dan dibutuhkan masyarakat semua diserahkan kepada mekanisme pasar, Negara hanya menjamin ketersediaan dan kecukupan barang di pasar, sementara apakah ada sekelompok masyarakat yang tidak mampu menjangkau harga-harga di pasar itu bukan lagi tanggung jawab negara, karena semua diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar.
Operasi pasar hanya menjadi tambal sulam agar tampak negara berperan, padahal tetap saja tidak semua masyarakat mampu mendapatkan barang kebutuhannya secara mudah dan murah. Kondisi ini sangat berbeda dengan sistem ekonomi Islam, negara selalu hadir dan terjun langsung dalam upaya distribusi di tengah masyarakat dengan memastikan masing-masing individu masyarakat bisa mendapatkan semua kebutuhannya secara mudah, murah, bahkan gratis di setiap waktu.
Negara menggerakkan semua komponen pemerintahan untuk memastikan hal itu. Kekuatan distribusi yang langsung dilakukan negara mampu menjangkau rakyat per individu, tentu saja membutuhkan kekuatan dana yang besar dari negara. Pendanaan ini diperoleh dari pengaturan ekonomi Islam terkait konsep kepemilikan yang sangat khas diantaranya, pertama: kepemilikan individu, negara membebaskan rakyat untuk bekerja seperti berdagang atau memiliki sesuatu asalkan sesuai ketetapan syariat Islam, kedua: kepemilikan umum,
Komponen yang masuk didalamnya seperti kekayaan alam berupa bahan tambang, laut, gunung, hutan dan sebagainya itu dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat secara utuh, tidak boleh di kuasai individu maupun swasta dan ketiga: kepemilikan negara misalkan ghanimah, fa'i jizyah, kharaj dan sebagainya merupakan kepemilikan negara tapi diarahkan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Monopoli pasar tidak pernah terjadi dalam Islam karena tidak boleh individu/swata itu memiliki kepemilikan umum dan kepemilikan negara, kontrol dan pengurusan negara sangat detil dalam hal ini, karena negara hadir untuk menjamin kesejahteraan rakyat, mereka laksana pelayan yang mengayomi dan mengurusi rakyatnya,
Sangat masyhur dalam ingatan umat ini seorang Khalifah Umar Bin Khattab yang memanggul gandum dan memasakkannya untuk seorang ibu dan anak-anak yang kelaparan, bagaimana seorang Khalifah Umar Bin Abdul Aziz dalam pemerintahannya yang sangat singkat hanya 2,5 tahun saja tapi mampu menjadikan rakyatnya sejahtera sampai beliau kesulitan mencari rakyatnya yang membutuhkan zakat.
Akhirnya, hanya berharap bahwa kebangkitan Islam dalam bentuk sistem Islam dengan penerapan syariah Islam secara kaafah segera terjadi demi menjadikan negeri mayoritas muslim ini sebagai negara yang baldatun Thoyyibatun wa Robbin Ghofur. Wallahu a'lam Bi asshawwab.
Hanin Syahidah
0 Komentar