Masih ingat dengan hasil penelitian 2019 lalu bertajuk “Wacana dan Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa: Memetakan Ancaman atas Negara Pancasila di PTN.” yang menyajikan data bahwa terdapat 10 perguruan tinggi negeri di Indonesia terpapar paham radikalisme karena adanya gerakan keagamaan eksklusif? Katanya, mereka yang cenderung berpegang teguh pada Al-Quran dan Al-Hadist tanpa mempunyai pemahaman komprehensif dan selalu beranggapan agama Islam dalam kondisi tertekan adalah ciri-ciri mahasiswa dengan paham radikalisme. Oleh karena itu, pihak kampus menjadi lebih sensitif terhadap perkumpulan yang dilakukan secara melingkar, khususnya di area masjid, karena khawatir termasuk ke dalam kegiatan yang memboncengi paham radikal.
Bahkan sempat ramai berita yang mengatakan ide-ide yang dianggap berbahaya ini masuk melalui agen radikalisme yang fasih berbahasa Arab, memiliki pemahaman agama yang baik, karismatik dan penghapal Al-Quran. Alhasil ‘anak-anak good looking’ berada dalam pengawasan. Belum lagi dengan peristiwa bom di Gereja Katedral Makassar kemarin. Kejadian bom bunuh diri terus saja berulang. Islam dan umat Islam lagi-lagi menjadi pihak yang tertuduh jika berkaitan dengan radikalisme ataupun terorisme, menambah ketakutan orang-orang terkhusus umat Islam pada agamanya sendiri.
Mirisnya, berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia yang bertendensi mendiskreditkan Islam dengan framing Islam dan umat Islam sumber radikalisme yang dirilis Maret 2021, menyajikan data bahwa mayoritas anak muda menilai persoalan radikalisme mendesak untuk segera ditangani pemerintah. Seolah mau mengalihkan persoalan utama negara yaitu kegagalan sistem sekuler demokrasi dalam menyelesaikan masalah Covid-19 dan mewujudkan kesejahteraan, survei ini menggiring pada framing radikalisme Islam, seolah Islam sebagai sumber masalah bangsa yang mendesak untuk diatasi.
Memang apa yang dimaksud dengan radikalisme? Mengapa seperti bermakna negatif dan dikhususkan hanya untuk Islam? Sampai saat ini definisi radikalisme menjadi subjektif saat diolah dengan paradigma tertentu apalagi paradigma kapitalis. Padahal, secara bahasa, radikalisme berasal dari bahasa latin ‘radix’ yang artinya akar. Maka, Islam radikal sesungguhnya pemahaman yang menyeluruh dari akar atau dasar, bermakna kembali ke asas dan asas Islam adalah akidah Islam.
Radikalisame adalah paham yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar untuk mencapai kemajuan. Hal ini jelas sesuatu hal yang positif kan? Jika gairah keislaman ini yang dimaksud dengan radikalisme, maka selama ini kita sedang menggelisahkan sesuatu hal yang positif. Jangan sampai istilah radikalisme yang diidentikkan dengan tindak kekerasan digunakan untuk membungkam suatu gairah keislaman.
Makna radikalisme yang ramai diperbincangkan saat ini adalah makna subjektif dengan narasi dan framing negatif karena Isu-isu radiakalisme dan terorisme ini berkontribusi menimbulkan ketakutan atau membuat umat Islam insecure untuk berislam secara kafah. Radikalisme hanyalah tuduhan dari rezim untuk membungkam dakwah Islam dan tokoh-tokoh yang tidak disukai. Label radikalis disematkan pada siapa saja yang menginginkan penerapan syariat Islam.
Ada juga statement yang mengatakan mereka yang menginginkan syariat Islam diterapkan itu Muslim yang fanatik, intoleran, anti keragaman dan label negatif lainnya sengaja mereka lontarkan. Lebih jauh lagi, yang juga wajib diwaspadai munculnya gelombang fobia Islam pasca peristiwa terorisme. fobia Islam itu ya ketakutan akan segala hal yang berbau ajaran Islam. Coba kita lihat berita bagaimana jihad yang notabene ajaran Islam itu didiskreditkan. Jilbab, cadar, celana cingkrang, jenggot dan sejenisnya disimbolkan sebagai pakaian para pelaku teror. Jika sudah begini, siapa yang dirugikan?
Umat Islam saat ini jelas-jelas sudah dijauhkan dari agamanya sendiri. Mirisnya para pemuda yang jadi agen perubahan justru ikut terseret arus framing radikalisme Islam, mengikuti arahan yang dibajak kepentingan elite tertentu. Mereka turut menuntut pemerintah untuk membasmi Islam politik dan khilafah, padahal kesengsaraan umat hasil penerapan sistem sekuler demokrasi.
Sedih kan melihat generasi milenial saat ini enggan berdekatan dengan Islam, kira-kira apa saja penyebabnya? Pertama, Islam dipandang sebelah mata, hanya dipandang sebagai agama ritual, perkara salat, puasa, zakat, haji mau pakai Islam. Namun, dalam keseharian semisal pergaulan dengan lawan jenis, bernegara, ekonomi, Islam disisihkan.
Kedua, monsterisasi ajaran Islam. Ada pihak-pihak tertentu yang sengaja menakut-nakuti umat Islam pada agama mereka sendiri. Beberapa ajaran Islam dicitrakan sebagai monster yang menakutkan saat diterapkan. Misalnya: hijab syar'i, jihad dan khilafah serta terakhir, pemuda yang dekat dengan Islam dianggap tidak gaul.
Alhasil, milenial radikal, mendadak viral. Dan istilah milenial radikal ini muncul dari isu radikalisme dan terorisme yang membuat orang tua was-was sehingga mengawasi anak-anaknya. Di sekolah hingga kampus juga tak ketinggalan mengawasi anak-anak rohis atau lembaga dakwah kampus. Padahal Islam jelas tidak membenarkan segala bentuk kekerasan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah SWT Qur’an Surah al-Araf ayat 33 yang artinya, “Katakanlah (Muhammad), ‘Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar’.”
Begitu juga dalam firman Allah SWT Qur’an Surah al-Anbiyâ' ayat 107 yang artinya, “Dan tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali untuk (menyebarkan) kasih sayang terhadap seluruh alam.”
Sejak di pendidikan dasar hingga tinggi, umat termasuk di dalamnya para pemuda hanya disajikan politik sekuler demokrasi yang di-framing sebagai sistem terbaik, meskipun telah jelas bobrok dan gagal dalam mewujudkan kesejahteraan. Seolah tidak ada pilihan sistem lain. Perlu diketahui isu radikalisme dan terorisme sebenarnya lahir dari sistem kapitalisme sekuler untuk mencegah kebangkitan ideologi Islam dengan melakukan framing-framing negatif, menjadikan moderasi Islam sebagai solusi. Hal ini jelas berbahaya sehingga yang perlu dilakukan adalah cabut sistemnya dan ganti dengan sistem Islam.
Selain itu, sebagai Muslim, tentu saja hal yang penting bagi kita adalah meneliti setiap kejadian, memahami motifnya apa dan menentukan respon yang tepat terhadap suatu peristiwa. Tidak asal menyerap berita, karena di tengah gencarnya dakwah Islam dan besarnya keinginan kaum Muslimin untuk kembali ke Islam kafah, tidak sedikit yang mengatakan penerapan syariat Islam akan berujung diskriminasi pada agama lain. Oleh karena itu, dibutuhkan dakwah untuk mengabarkan bahwa Islam adalah rahmatan lil-alamin, bukan hanya rahmatan lil-muslimin, juga dibutuhkan proses belajar yang terus menerus.
Penting sekali untuk memahamkan anak muda terkait makna politik Islam yang sahih dan memahamkan sistem Khilafah Islamiah dalam mengurusi rakyat dengan menerapkan Islam secara kafah. Sebagai generasi Islam, tak perlu takut untuk memahami ajaran Islam secara utuh. Rasa takut terhadap ajaran sendiri justru hanya akan membuat kaum kafir bersorak-sorai. Mengapa? Karena generasi yang seharusnya menjadi pejuang dan pelanjut peradaban Islam, justru menjauhi ajaran Islam yang notebene merupakan rahasia bagi kebangkitan Islam di masa mendatang. Islam bukan agama yang mengajarkan aktivitas terorisme. Dalam rentang peradaban Islam berjaya, Islam bahkan melindungi warga non-Muslim yang hidup di wilayah khilafah.
Jadi apa yang harus kita lakukan? Tentu saja bergerak mengambil peran untuk melakukan perubahan, karena para pemuda memiliki peran yang sangat penting dalam tatanan kehidupan manusia secara umum dan masyarakat kaum Muslimin secara khusus. Jika mereka adalah para pemuda yang baik dan terdidik dengan tsaqafah Islam maka merekalah yang akan menyebarkan dan mendakwahkan kebaikan Islam serta menjadi nakhoda umat ini yang akan mengantarkan mereka kepada kebaikan dunia dan akhirat.
Hidup ini adalah pilihan; diam atau berjuang. Ujung keduanya adalah sama; kematian. Tapi para pemuda yang memilih diam sebenarnya sudah menjadi mayat saat mereka hidup. Maka mulailah hidup sebagaimana manusia hidup, yaitu dengan perjuangan. Bukan menjadi mayat hidup dengan meninggalkan amar makruf nahi mungkar.
Negeri ini telah mencoba menerapkan banyak sistem selain Islam yang juga sudah berulang kali direvisi untuk kepentingan rezim penguasa. Namun, hasilnya tetap sama. Tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan sistem yang rusak sejak dari akar dan terbukti gagal. Jadi, selain tetap mempelajari Islam, kita juga perlu berdakwah, mengabarkan bagaimana keindahan Islam yang sesungguhnya agar Islam bisa kembali ditegakkan.
Jika ada ketakutan pada agama ini jelas kita harus mencari tahu adakah kesalahan dari pemahaman kita? Jadi, ayo pemuda, semangat mengkaji Islam agar tidak terjebak perangkap yang dibuat oleh musuh, kembalilah mengambil jalan perjuangan untuk melanjutkan peradaban Islam. []
Oleh Sanya, Alumni Universitas Indonesia
0 Komentar