Mudik Dilarang, Hasil dari Kebijakan yang Tak Maksimal?


Bulan suci tak berapa lama lagi mendekati, haru biru perasaan tentunya sudah menyelimuti umat untuk menyambutnya. Berbagai persiapan pun sudah dilaksanakan. Dari fisik, mental juga tak ketinggalan pendanaan. Hal itu digunakan selain untuk memperbanyak sedekah, juga untuk silaturahmi kepada orangtua di rumah. 

Namun beberapa waktu lalu pemerintah mengeluarkan aturan pelarangan mudik. Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy di kantornya secara daring. “Maka ditetapkan bahwa tahun 2021 mudik ditiadakan," ujarnya melalui konferensi pers yang ditayangkan melalui YouTube Kemenko PMK (Suara.com 29/3/2021).

Larangan mudik Lebaran ini berlaku bagi seluruh ASN, TNI, Polri, pegawai BUMN, karyawan swasta dan seluruh masyarakat. Hal tersebut dilakukan selain untuk mengurangi penyebaran virus yang akan menyebabkan lonjakan kasus Covid-19, juga untuk mensukseskan program vaksinasi yang digalakkan pemerintah. 

Namun kebijakan ini menuai kritikan di masyarakat, menurut pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah larangan mudik Lebaran 2021 sama seperti melakukan lockdown. Sedangkan yang diterapkan di Indonesia adalah pembatasan sosial hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyakarat (PPKM). 

Aturan pelarangan ini memang terkesan tidak maksimal, masih banyak celah agar pelanggaran bisa terjadi. Karena diketahui bahwa bandara internasional Sukarno-Hatta akan tetap beroperasi walaupun pelarangan ini sudah ditetapkan. 

VP of Corporate Communication PT Angkasa Pura II Yado Yarismano menyatakan pihaknya akan tetap mematuhi peraturan yang tercantum dalam Surat Edaran (SE) Satuan Tugas Nomor 12 Tahun 202, tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri dalam Masa Pandemi Covid-19 (Kontan.co.id 29/3/2021).

Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono juga buka suara terhadap kebijakan ini. Ia menganggap larangan mudik ini tidak akan efektif, jika pemerintah tidak benar-benar menghentikan moda transportasi yang digunakan masyarakat untuk ke luar kota. Baik itu kendaraan umum maupun pribadi.

Pandu menilai seluruh transportasi kecuali angkutan barang harus dihentikan sementara. Berkaca pada pengalaman larangan mudik tahun lalu, di saat pandemi Covid-19, angka pemudik masih cukup tinggi. Ia katakan bahwa membatasi ketat pergerakan masyarakat akan lebih efektif ketimbang melarang mudik tanpa standar operasional yang jelas.

Pandu memaparkan bila pelarangan mudik tidak efektif, maka pemerintah dapat mengambil jalan untuk membatasi arusnya. Dengan cara, mendorong masyarakat untuk menggunakan kendaraan umum yang pastinya akan menurunkan jumlah pemudik. Ia katakan, bila pelarangan mudik dilakukan secara umum bagi masyarakat, itulah yang dinamakan lockdown, yang sedari awal pemerintah tidak mengambil kebijakan tersebut. 

Namun anehnya kebijakan pelarangan mudik ini tidak satu suara diantara para pembantu presiden. Seperti yang dikatakan oleh Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, yang membolehkan mudik tahun ini, yang diucapkan sebelum Muhadjir melarangnya. Sedangkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno menyesalkan adanya pelarangan mudik, karena industri pariwisata selama satu tahun ini lesu dampak dari wabah Covid-19. 

Maka tak heran bila Trubus Rahadiansyah mengatakan pelarangan ini merupakan test the water. Maksudnya menguji reaksi publik terhadap kebijakan tersebut. Padahal bila pemerintah selalu melakukan kebijakan yang selalu berubah dan tak jelas, maka kepercayaan public menjadi luntur. Yang pada akhirnya menimbulkan ketidak pedulian masyarakat terhadap bahaya yang mengancam.  

Hal ini terjadi karena lagi-lagi merupakan akibat kebijakan yang tak tegas oleh pemerintah dalam hal penangangan wabah dari awal pandemi Covid-19. Padahal penanganan yang dilakukan pemerintah telah disorot dunia karena lambannya penanganan Covid-19 di dalam negeri. 

Ketidakseriusan pemerintah ini diakibatkan karena selalu berupaya menyeimbangkan antara factor kesehatan dan ekonomi. Padahal kedua upaya tersebut mengakibatkan tidak padunya sebuah kebijakan. Karena wabah ini merupakan masalah kesehatan, maka pamerintah haruslah fokus penanganannya kepada kesehatan. Setelah itu barulah beralih pada sektor lainnya termasuk ekonomi.  

Bila hal ini terus dilakukan, maka rakyatlah yang menanggung akibatnya. Terganggunya aktivitas silaturahmi kepada orang tua di kampung halaman, salah satunya. Belum lagi korban nyawa yang entah berapa jumlah pastinya, ekonomi yang kian terpuruk dan masih banyak hal lainnya.

Oleh karenanya pemerintah bukan hanya dituntut untuk cepat dan tegas dalam menyelesaikan setiap masalah, namun lebih dari itu. Harus mempunyai landasan kuat dan gambaran yang jelas dalam mengarahkan rakyatnya, itulah ideologi. 

Di dunia ini, ideologi kuat yang telah merubah peradaban menjadi bangkit dan cemerlang selama ratusan tahun hanyalah Islam. Selain itu, mudah lapuk dimakan zaman, termasuk kapitalisme. Karena hanya ditopang pada akal manusia yang sangat terbatas. Sedangkan Islam, adalah ideologi buatan Yang Maha Kuasa yang tak akan punah selamanya.  

Walaupun saat ini kapitalisme berkuasa di dunia, namun sudah banyak tanda kehancurannya. Fernand Brendel mengatakan bahwa jika ada pukulan yang teramat keras dari luar dan ada alternatif terpercaya yang siap menggantikannya, kapitalisme pasti akan runtuh (“Kapitalisme Dulu dan Sekarang”, Dawam Rahardjo, LP3ES, Jakarta, 1987). 

Sehingga, upaya pemerintah untuk menangani wabah harus disegerakan dan difokuskan. Karena ekonomi akan bisa meningkat apabila rakyatnya sehat. Selain itu yang lebih penting lagi adalah standar yang dipakai dalam penanganan tiap masalah haruslah menjawab persoalan secara mandasar. Standar itu adalah Islam yang memang merupakan aturan dari Sang Pencipta untuk menyelesaikan semua masalah manusia. []

Wallahu ‘alam bishawab


Oleh Ruruh Hapsari

Posting Komentar

0 Komentar