Pemerintah dibangun bukan hanya atas pranata institusi negara serta jajaran kepentingan dan kekuatan elektabilitas para anggota penyelenggaraan pemerintahan. Melainkan juga dibangun atas kepercayaan yang tertanam dalam diri masyarakat yang berperan sebagai komponen pembangun negara.
Tanpa kepercayaan, pemerintah hanya sebagai momok yang bertugas mengatur secara legal dan normatif dalam ketatanegaraan, namun tidak mendapatkan legitimasi secara empiris dalam menjalankan peran dan fungsinya. Pemerintah kehilangan tempat untuk menjadi sebuah parameter orientasi bernegara.
Imbasnya, masyarakat lupa bahwa ada yang bertugas secara struktural dan fungsional dalam menjalankan kehidupan berbangsa bernegara karena begitu banyak ketidakpercayaan masyarakat terhadap otoritas yang berlaku. Masyarakat menganggap bahwa semua tidak lagi soal bagaimana menjalankan tugas sebagai komponen negara, melainkan semua yang dilakukan pemerintah hanya soal bagaimana memenuhi nafsu dan selera berpolitik.
Mirisnya, kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah kini terjadi di tanah air. Berbagai kebijakan dan fenomena yang terjadi mengundang kebingungan, ragu bahkan kecewa dari sebagian besar masyarakat.
Salah satu kebijakan yang membuat segenap masyarakat bertanya-tanya yaitu bertolak belakang nya antara larangan mudik dengan dibukanya tempat-tempat wisata. Kebijakan larangan mudik mulai 6-17 Mei 2021 disampaikan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Dikutip dari tirto.id “Sesuai dengan arahan Presiden, kita tegas untuk melarang mudik dan kami juga mengimbau agar bapak-ibu yang berkeinginan mudik untuk tinggal di rumah saja,” ujarnya dalam keterangan pers usai sidang kabinet paripurna, Rabu (7/4/2021).
Budi mengatakan bahwa kebijakan larangan mudik ini untuk menekan angka penularan Covid-19, yang saat ini mengalami lonjakan di beberapa negara. Terlebih saat libur panjang datang dan lebaran yang kian mendorong masyarakat untuk keluar kota.
Hal ini akan berpotensi pada melonjaknya angka penularan bahkan berimbas pada keselamatan para tenaga kesehatan. Selain itu, sebelumnya libur panjang Natal dan tahun baru, Indonesia mengalami lonjakan kasus. Maka tidak ingin mengulang, larangan ini dianggap sebagai langkah antisipasi yang efektif.
Budi menambahkan, “Di bulan Januari [2021], selepas libur Natal itu, terjadi lonjakan kasus kematian yang tinggi bahkan terdapat kematian tenaga kesehatan lebih dari 100 orang,”. Namun larangan ini seharusnya mendapatkan sinergi dengan kebijakan lainnya sehingga dapat diaktualisasikan secara efektif di tengah masyarakat.
Ironisnya di sisi lain, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menyatakan akan memfasilitasi objek wisata saat libur Lebaran dan dia telah berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) untuk itu.
“Kami secara tegas menyampaikan dan memberikan pesan kepada masyarakat pariwisata dan ekonomi kreatif bahwa kami siap untuk mendukung keputusan pemerintah. Dan sekarang kami menyiapkan opsi-opsi staycation, opsi-opsi pariwisata dalam bingkai PPKM skala mikro, termasuk juga penyediaan produk-produk ekonomi kreatif untuk mengganti kehadiran secara fisik masyarakat di kampung halaman,” kata Sandiaga di Kantor Kemenko PMK, Kamis (1/4/2021).
Lantas akan hal ini, masyarakat bertanya-tanya, apa sebenarnya yang menjadi orientasi kebijakan pemerintah? Di satu sisi pemerintah tidak boleh melupakan kewajibannya menjadi regulasi yang mengatur pranata sosial di tengah masyarakat. Namun di sisi lain, sistem operasi intervensi masih diwarnai bahkan dikuasai secara absolut oleh sistem kapitalis. Sehingga tak sedikitpun kesempatan boleh lewat dalam meraup keuntungan dan manfaat dari momentum dan fenomena yang terjadi.
Sebagai contoh, momen lebaran yang akan datang. Ini merupakan bukti bahwa pemerintah hilang arah dan justru membuat masyarakat semakin bingung. Keadaan ini tentunya membuat runyam dan bukan mustahil akhirnya masyarakat mengabaikan larangan mudik.
Pasalnya masyarakat telah hilang kepercayaan terhadap otoritas yang berlaku. Sehingga semua yang dilakukan oleh Rezim hanya dianggap sebagai perwujudan nafsu dan selera berpolitik saja. Maka tak pelak, kebijakan demi Kebijakan yang membingungkan rakyat ini ditenggarai oleh sistem yang dianut oleh negara yakni sistem neoliberal kapitalisme. Dilematis antara melaksanakan tanggungjawab dan memenuhi nafsu keuntungan.
Kebijakan larangan mudik yang mengandung paradoks yang nyata terhadap kebijakan Mentri Ekonomi Kreatif dan Pariwisata yang justru akan memfasilitasi masyarakat untuk menghabiskan liburan di luar rumah, yang tentunya bukan mustahil dapat menyebabkan melonjaknya kasus Covid-19. Seolah kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan hanya menjadi sebuah topeng formalitas negara.
Keadaan mencekik logika masyarakat tak akan berakhir hingga sistem ini diganti dan dibongkar habis-habisan. Sistem yang merusak paradigma pemerintah terhadap tanggungjawab, semakin di kuasai pemerintah dengan nafsu kapitalistik. Maka tak perlu menunggu waktu lama, negara akan beralih menjadi ladang usaha para penguasa. Rakyat sebagai barang dagang paling laku dan ideal dalam sistem ini. Tak peduli bila rakyat akan berdarah-darah dan berguguran di tengah proses pemenuhan nafsu para penguasa.
Sebab, semua kebijakan pemerintah bukan lagi dapat mencekik logika rakyat. Namun juga dapat mencekik nyawa dan jiwa rakyat hingga perlahan-lahan kehidupan berbangsa dan bernegara bukan soal kemaslahatan rakyat melainkan soal pemenuhan nafsu dan selera berpolitik Rezim. []
Wallahu a'lam bissowab.
Oleh Dian Fitriani
0 Komentar