Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) nomor M/6/HK.04/IV/2021 terkait Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan 2021. Surat edaran ini mewajibkan perusahaan membayar THR sesuai dengan perundang-undangan paling lambat sehari sebelum hari raya. Untuk perusahaan yang terdampak pandemi dan tidak mampu membayarkan THR sesuai waktu yang ditentukan, agar dapat berdialog dengan buruh atau pekerjanya.
Menaker menekankan agar pemberian THR wajib diberikan dan tidak dicicil seperti tahun kemarin. Hal ini karena berbagai kebijakan yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi dampak pandemi Covid 19 telah membuat iklim perekonomian Indonesia membaik. (kompas.tv,12/04/2021)
Sontak surat edaran ini mengundang reaksi kedua belah pihak, pekerja dan pengusaha. Kalangan pekerja mengaku kecewa dengan isi surat edaran Menaker tersebut. Mereka pesimis. Isi surat edaran tidak jauh berbeda dengan tahun kemarin. Harapan pekerja agar pemerintah memberikan sanksi yang tegas kepada perusahaan yang mangkir, tak terwujud.
Telah terjadi kekisruhan pembayaran THR tahun kemarin. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan sebanyak 1.487 karyawan yang belum menerima THR secara penuh. Sejumlah karyawan itu berasal dari 13 perusahaan.
"Di Banten, ada perusahaan yang sampai saat ini baru membayar THR karyawan tahun 2020 sebesar Rp 250.000. Di Jakarta saja yang masih ngutang nunggak THR 2020 itu ada, THR-nya dibayar 75 persen, dicicil belum lunas,"(Tribunnews.com 12/04/2021)
Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) menilai surat edaran Menaker justru berpotensi menjadi tameng bagi pengusaha untuk mengindari kewajiban membayarkan THR secara tepat waktu. "Poin tuntutan kami adalah jangan ada surat edaran. Karena pengusaha yang sebelumnya mampu bayar THR jadi punya peluang untuk berlindung dan tidak membayarkan THR secara penuh," ujar Presiden Aspek Mirah Sumirat di sela-sela aksi demonstrasi di Bundaran Patung Kuda Arjuna Wijaya Monas pada Senin (12/4/2021).(CNNIndonesia.com,12/04/2921).
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang Dan Kulit (FSP TSK) Roy Jinto mengatakan pandemi Covid-19 selalu dijadikan alasan pemerintah untuk membuat aturan-aturan yang merugikan kaum pekerja. Aturan itu, antara lain pengesahan UU Cipta Kerja, PP No 34 tentang tenaga kerja asing (TKA), PP No 35 mengenai PKWT, alih daya dan PHK, PP No 36 mengenai pengupahan, PP No 37 mengenai JKP serta Peraturan Menteri No 2 Tahun 2021 mengenai pengupahan untuk industri padat karya di mana aturan tersebut memperbolehkan perusahaan untuk membayar upah buruh di bawah upah minimum.
"Semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sangat berpihak kepada pengusaha dan merugikan kaum buruh. Apalagi dengan rencana Menteri Ketenagakerjaan akan memperbolehkan pengusaha untuk mencicil dan menunda pembayaran THR 2021, maka lengkap sudah penderitaan kaum pekerja," ujar Roy. (CNNIndonesia.com,21/03/2021).
Nasib pekerja semakin celaka pada saat harga-harga kebutuhan pokok merangkak naik, terutama menjelang hari besar keagamaan. THR adalah harapan terakhir para pekerja untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat saat Lebaran tiba.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai bahwa pengusaha masih butuh kebijakan mencicil THR karena banyak sektor ekonomi belum pulih (cnnindonesia.com, 21/3/2021)
Sejumlah perusahaan di wilayah Tangerang Selatan diperkirakan tidak akan bisa membayar tunjangan hari raya (THR) keagamaan 2021 secara penuh. Berdasarkan data sementara yang dicatatkan Kadin Tangerang Selatan, terdapat 80 persen perusahaan terdampak pandemi Covid-19 hingga mengalami kerugian. Hanya 20 persen perusahaan yang saat ini masih berjalan dengan baik dan mampu membayarkan THR untuk para pekerjanya. “Hal ini dikarenakan mayoritas perusahaan yang beroperasi di Tangerang Selatan bergerak pada sektor jasa, " ujar Wakil Ketua Bidang Hukum dan Perpajakan Kadin Tangerang Selatan Arsa Wardana (kompas.com, 14/3/2021).
Ketua Komite Advokasi Dewan Pengupahan Nasional (DPN) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Darwoto meminta jadwal pemberian THR bisa dilakukan sesuai bipartit (antara pengusaha dan pekerja) untuk perusahaan yang benar-benar tidak mampu memberikan THR." Kalau disepakati antara pekerja dan pengusaha kan boleh-boleh saja (dicicil), kan yang penting dibayar dan tidak dikurangi," imbuhnya.
Dalam sistem ekonomi kapitalistik, hubungan antara pengusaha dan pekerja bersifat eksploitatif. Hal ini bersumber dari prinsip ekonomi kapitalistik yang mengutamakan tercapainya keuntungan maksimal dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Pihak pengusaha merasa perlu mengurangi biaya produksi untuk mendapatkan margin keuntungan yang lebar. Hal ini terbukti dengan adanya kenyataan bahwa perusahaan membayar upah pekerja berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) yang ditentukan oleh pemerintah. Dan senyatanya, besaran upah tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja secara minimalis.
Selain itu, sistem demokrasi secara sistemik telah mencetak penguasa yang berprofesi pula sebagai pengusaha. Tak mengherankan jika kemudian terlahir banyak kebijakan yang berpihak kepada pengusaha daripada pekerja. Maka wajar jika kaum pekerja terus bereaksi dengan aneka tuntutan yang terus berkembang sepanjang tahun. Karena pekerja sadar betul bahwa posisi mereka hanya tumbal pemuas keserakahan pengusaha. Ini yang menjadi penyebab hubungan pengusaha dan pekerja tidak pernah harmonis.
Dalam Islam, hubungan pengusaha dan pekerja adalah hubungan kerjasama dan tolong menolong (ta’awun) dengan landasan tujuan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Rasulullaah SAW bersabda “Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi, pen)” (HR. Muslim no. 995).
Pengusaha yang membuka usaha untuk mengembangkan hartanya pasti berharap mendapatkan keuntungan untuk nafkah keluarga. Pekerja yang bekerja dengan ilmu dan tenaganya juga berharap mendapatkan upah untuk nafkah keluarga. Kedua belah pihak ini mampu bersinergi karena syariah Islam mengatur secara ketat relasi keduanya sehingga menghasilkan sikap saling rida.
Pijakan yang menjadi dasar dalam menentukan upah adalah manfaat atau jasa yang dicurahkan oleh seorang pekerja di pasaran dan bukan berdasarkan tingkat kehidupan minimum. Jika pengusaha dan pekerja ini berselisih maka diperlukan pendapat para ahli untuk menentukan upah yang sepadan (ajr al mitsl). Tugas negara adalah menjaga agar akad ijaroh dan pengupahan berjalan dengan baik. []
Wa Allahu a’lam.
Oleh D. Shalindri
0 Komentar