Tempe menjadi makanan yang paling diminati oleh masyarakat Indonesia. Selain harganya bersahabat dengan kantong rakyat, tempe juga mengandung banyak sumber gizi yang penting bagi tubuh.
Namun akhir-akhir ini para pengrajin tempe terusik. Produsen makanan khas Indonesia yang kaya akan sumber protein ini kelabakan dengan naiknya harga kedelai yang menjadi bahan baku tempe. Harganya terus melambung,namun belum ada solusi yang pasti. Makanan sahabat rakyat ini terancam "naik kelas" di pasaran.
Kontan saja, kenaikan bahan baku ini berimbas pada stok tempe di pasaran. Tempe tak hanya lebih mahal, namun juga langka. Hal ini dikeluhkan oleh pengrajin tempe Kota Bekasi, Ihsan Budiman. Ia mengatakan, harga bahan baku menjadi dua kali lipat dari harga semula yakni dari harga 17 ribu perkilogram menjadi 38 rb perkilogram. Pasokan tempe pun bertambah sedikit karena produksi jauh berkurang (Republika.co.id, 28 Maret 2021).
Kondisi ini pun mendapatkan respon dari Pemerintah Kota Bekasi, Jawa Barat. Saat meninjau pengrajin tempe di Duren Jaya Kecamatan Bekasi Timur, Wakil Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahjonomengatakan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pengrajin tempe, tahu, dan tauge dapat membentuk paguyuban serta koperasi. Hal ini bertujuan agar Pemda bisa membantu untuk meneruskan keluh kesah pengrajin ke kementerian terkait. "Kami akan segera menindaklanjuti keluhan ini dengan meneruskannya kepada Wali Kota Bekasi yang kemudian akan diteruskan ke Menteri Pertanian," tuturnya (Republika.co.id, 28 Maret 2021).
Pernyataan Wakil Wali Kota Bekasi ini terasa ganjil. Alih-alih memberikan solusi atas mahalnya bahan baku tempe, justru Pemkot Bekasi bersikap seakan-akan lepas tangan dan menyerahkan permasalahan serta solusinya kepada pengrajin sendiri. Inilah karakter khas sistem kapitalis demokrasi. Sistem yang selalu mencari solusi secara tak tuntas karena cenderung melihat masalah hanya dipermukaan saja. Tidak mengakar pada persoalan yang dihadapi sehingga solusi yang dihasilkan pun tidak menyeluruh, tambal sulam serta permasalahannya selalu berulang kembali.
Tak dapat dipungkiri, makin "berkelasnya" harga tempe di pasaran merupakan sinyal akut ketahanan pangan negara. Musuh nyata para petani saat ini adalah konversi lahan dan liberalisasi pertanian. Tak ayal, negara agraris ini pun memilih mengimpor sejumlah bahan kebutuhan pokok yang menyebabkan harga pangan terus meroket, sementara rakyat kian menjerit.
Dengan berbagai permasalahan hidup yang semakin rumit menandakan bahwa sistem hidup yang ada saat ini tidak layak untuk terus berjalan. Ketahanan pangan adalah masalah serius karena menyangkut kebutuhan pokok yang krusial. Jika tidak diperhatikan dengan benar maka kondisi ini dapat membuat kondisi negara kian terpuruk.
Islam memandang pemenuhan kebutuhan hidup rakyat adalah menjadi tanggung jawab dan kewajiban penguasa. Sebagaimana hadits nabi Muhammad Saw: "Setiap kalian adalah pemimpin, yang bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang penguasa yang memimpin manusia (rakyat) adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab terhadap mereka" (HR al-Bukhari).
Maka dari itu, ketaatan pemimpin kepada Allah Swt merupakan jaminan kemakmuran rakyatnya. Sebagaimana kisah Khalifah Umar bin Khattab, beliau rela blusukan berkeliling dari kampung ke kampung untuk mengetahui permasalahan rakyatnya. Bahkan Khalifah Umar rela memanggul sekarung gandum untuk diberikan kepada janda miskin agar bisa dimakan bersama anak-anaknya yang sedang lapar. Kisah lainnya adalah ketika kota Madinah mengalami paceklik, Khalifah Umar bin Khattab membuat kebijakan memotong unta setiap hari agar dagingnya bisa dinikmati oleh rakyatnya.
Inilah figur seorang pemimpin yang hidup dalam sistem terbaik yaitu sistem Islam. Sungguh mustahil figur pemimpin semacam ini lahir dari sistem demokrasi kapitalisme yang telah nyata keburukannya. Maka masihkah kita tetap bertahan pada sistem biang kerusakan umat ini? Sebagai orang yang beriman kita akan berjuang untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dalam naungan sistem yang Allah ridhoi. InsyaAllah.
Oleh Hessy Elviyah, S.S
0 Komentar