Kritik adalah fitrah bagi penguasa. Penguasa dikritik atas kinerjanya itu wajar. Dengan kritik, penguasa bisa bermuhasabah agar kinerjanya lebih baik. Dalam Islam, penguasa tidak anti kritik. Kritik rakyat untuk penguasa adalah keniscayaan. Seperti halnya Khalifah Umar bin Khathab ra. pernah dikritik karena menetapkan mahar bagi perempuan.
Begitu juga Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga pernah dikritik anaknya sendiri karena beristirahat sejenak di kala masih banyak rakyatnya yang terzalimi. Begitu juga yang dialami Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash. Ia diadukan kepada Khalifah Umar lantaran hukuman yang diberikan kepada putra khalifah, yaitu Abdurrahman dan temannya tidak sesuai aturan yang ada.
Di sistem khilafah kritik biasa terjadi. Rakyat menyampaikan kritiknya melalui Majelis Umat, yaitu bagian dari struktur pemerintahan khilafah yang mewadahi aspirasi rakyat serta tempat meminta nasihat bagi khalifah dalam berbagai urusan. Kritik dalam Islam terwujud dalam aktivitas dakwah amar makruf nahi mungkar, yaitu menasihati dalam kebaikan, mengoreksi kebijakan penguasa, mencegah kezaliman dan kemungkaran.
Dari Tamim ad-Dari diriwayatkan, Nabi SAW bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Kepada siapa?” Rasulullah menjawab, “Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin umat Islam dan kaum awam mereka.” (HR Muslim).
Begitu juga dalam hadits berikut, “Siapa saja yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka (ubahlah) dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka (ubahlah) dengan hatinya dan yang demikian itu selemah-lemah iman.” (HR Muslim).
Maka, dalam sistem khilafah siapa pun bebas memberikan kritik dan aduan. Khalifah pun menerima kritikan tersebut dengan tangan terbuka, sehingga penguasa akan terselamatkan dari sikap zalim dan mungkar. Karena penguasa di sistem khilafah menyadari betul tanggung jawabnya kelak di akhirat.
Dalam Islam, kritik merupakan bagian dari aktivitas amar makruf nahi mungkar. Hal ini merupakan suatu hal yang sudah ma’lumun, bukan suatu hal yang asing dalam kehidupan Daulah Khilafah Islamiah. Masyarakat maupun penguasa dalam Daulah Islam menyadari betul masyarakat ini adalah masyarakat manusia. Penguasa dan rakyatnya dari golongan manusia yang mempunyai sifat salah dan lupa. Terlebih lagi, sebagaimana digambarkan dalam satu hadits, masyarakat manusia ini ibarat kapal yang tengah berlayar di lautan menuju satu tujuan.
Hadits dari An Nu’man bin Baysir yang dia berkata, Nabi SAW bersabda, “Kemungkaran adalah bagaikan suatu kaum yang berundi dalam sebuah perahu. Nantinya, ada sebagian berada di bagian atas dan sebagiannya lagi di bagian bawah perahu tersebut. Yang berada di bagian bawah ketika ingin mengambil air, tentu dia harus melewati orang-orang di atasnya. Mereka berkata, ‘Andai kata kita membuat lubang saja sehingga tidak mengganggu orang yang berada di atas kita.’ Seandainya yang berada di bagian atas membiarkan orang-orang bawah menuruti kehendaknya, niscaya semuanya akan binasa. Namun, jika orang bagian atas melarang orang bagian bawah berbuat demikian, niscaya mereka selamat dan selamat pula semua penumpang kapal itu.” (HR Imam Bukhari no. 2493).
Suasana amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat, juga kritik (muhasabah) kepada penguasa dalam kehidupan khilafah menjadi bagian penting bagi tegaknya hukum-hukum Islam selama 1.300 tahun lamanya.
Rasulullah pun, jika bukan masalah wahyu, mau menerima kritikan dari para sahabat untuk keputusan yang diambilnya. Misalnya saat beliau mengambil posisi di Perang Badar. Berikut dialog antara Rasulullah SAW dengan sahabat Al-Khabab bin al-Mundzir. “Wahai Rasulullah, ampunilah aku jika terlalu lancang bertanya kepadamu. Wahai Rasul, apakah tempat ini adalah tempat yang diwahyukan oleh Allah SWT kepadamu sehingga engkau tidak bisa menolaknya atau tempat ini hanyalah pendapat pribadimu yang merupakan bagian dan siasat perang?”
Rasulullah SAW pun menjawab, “Bukan wahai Khabab, ini hanyalah pendapatku semata. Ini bukan wahyu dari Allah.”
Dia pun menjawab, “Jika benar begitu, bolehkah aku berpendapat wahai Rasul?” Selanjutnya pandangan Khabab diterima Rasulullah dan mengantarkan pada kemenangan kaum Muslimin di Perang Badar. Itu Rasulullah SAW sebagai nabi sekaligus pemimpin negara, sudi menerima masukan.
Lalu bagaimana kondisi pemimpin hari ini apakah mau menerima masukan dan kritikan dari rakyat dan menerima dengan lapang dada? []
Oleh Rosidah, Aktivis Dakwah di Kota Depok
0 Komentar