Pemilik akun YouTube Joseph Paul Zhang viral, setelah forum diskusi via Zoom yang ditayangkan di akun YouTube pribadinya tersebar di media sosial, pasalnya video tersebut dinilai sebagai penistaan agama dengan diskusi yang bertajuk 'Puasa Lalim Islam' secara terbuka menghina umat beragama Islam.
Ia membuka forum diskusi tersebut dengan menyapa peserta yang ada di beberapa belahan dunia, kemudian pembahasan di mulai soal ibadah puasa teman-teman muslimnya yang ada di Eropa, kemudian ia melanjutkan pembahasan tentang keresahannya ketika bulan puasa, ia mengaku merasa tidak nyaman dengan adanya bulan puasa, Ia bahkan menyebut suasana menjelang Idul Fitri sebagai sesuatu yang mengerikan.
"Tapi dari dulu saya kalau lagi bulan puasa itu adalah bulan-bulan paling tidak nyaman. Apalagi kalau deket-deket Idul Fitri. 'Dung... dung... breng... dung... dung... breng... Sarimin pergi ke pasar... dung dung... breng... Allah bubar'. Wah itu tuh udah paling mengerikan. Itu horor banget," Pungkasnya
Setelah berbagai tudingan dan hinaan yang ia lontarkan terhadap umat Islam, seolah belum cukup, ia membuat sayembara dan menantang orang-orang untuk melaporkannya ke polisi karena penistaan agama dengan mengaku sebagai nabi ke-26.
Dilansir dari detiknews.com
"Gua kasih sayembara. Gua udah bikin video. Saya udah bikin video tantangan. Yang bisa laporin gua ke polisi gua kasih uang yang bisa laporin gua ke polisi penistaan agama, nih gua nih nabi ke-26, Jozeph Paul Zhang. Meluruskan kesesatan ajaran nabi ke-25 dan kecabulannya yang maha cabulullah," tutur Joseph.
Pengakuannya sebagai Nabi ke-26 merupakan penistaan agama yang cukup berat, ia mengatakan bahwa ajaran Rasulullah itu sesat dan mengklaim dirinya sebagai nabi ke 26 dengan dalih ia akan meluruskan ajaran nabi ke 25, pernyataan ini sangat menggores hati umat muslim, setelah ocehan panjang lebarnya mengenai suasana Ramadan yang ia gambarkan cukup berlebihan seolah menyiksa keberlangsungan umat Kristiani, secara tidak langsung, ia menjadikan dalil pembelaan agamanya untuk melegalkan tindakannya yang dinilai menista agama.
Tindakan penistaan agama yang Joseph lakukan pun menuai berbagai kicauan warganet dan beberapa tokoh agama yang heran mengapa ada seseorang mengaku nabi ke-26 di agama Islam. Padahal, dia menyebut, kelakuan dari orang tersebut tidak mencerminkan sifat-sifat nabi.
Tanggapan selanjutnya datang dari Wakil Ketua Nahdlatul Ulama (NU) Kota Bogor, Turmudi Hudri pun mengaku, mengikuti perkembangan isu tersebut, Turmudi menuturkan, pada bulan suci Ramadhan seharusnya seluruh umat menjaga dan menjalankan ibadah dengan menekankan nilai ketakwaan. Bukan malah mencoba memecah belah umat. Bahaya ujaran penistaan agama ini pun dianggap Turmudi setara dengan bahaya terorisme dan radikalisme.
Dilansir dari Republika.co.id
"Ini sama bahayanya dengan terorisme dan radikalisme karena menyebabkan perpecahan. Kita kan menjaga kerukunan umat bergama maupun seagama, jadi kehadirannya ini sangat berbahaya," jelas Turmudi.
Namun disayangkan, tanggapan Turmudi ini dinilai tidak relevan jika penista agama disandingkan dengan orang-orang yang dituding radikal. Pasalnya tindakan penistaan agama yang dilakukan Joseph terlalu jelas dan konkret dampaknya, ujaran kebencian yang dibalut dengan penghinaan Nabi lebih dari cukup untuk menjadikan dia sebagai tersangka dan seharusnya patut di pidanakan, lain hal nya dengan radikal yang tidak jelas indikatornya, siapapun bisa saja di tuding radikal hanya karena silang pendapat dengan Rezim atau Ormas tertentu, bahkan Ramadan ini, beberapa Da'i dilarang ceramah hanya karena dinilai radikal.
Padahal jika kita menilik lebih dalam soal tudingan radikal terhadap kelompok tertentu, kita dapat menemukan sebuah pola deislamisasi dibalik tudingan radikal, pasalnya istilah radikal adalah landasan untuk membatasi gerak dakwah umat Islam, mereka yang dituding radikal diberikan stigma seolah mereka yang membahayakan keberagaman umat beragama dan persatuan NKRI sehingga pantas di sudutkan.
Namun beda halnya dengan penistaan agama, tindakan yang jelas memiliki indikator yang membahayakan keberlangsungan umat beragama seperti penghinaan simbol agama, melecehkan ibadah umat agama, bahkan hingga menantang umat beragama ini jelas akan dampaknya terhadap integritas bangsa.
Seharusnya tanggapan yang diberikan tidak melenceng ke permasalahan radikal yang dinilai masih buram orientasinya, bila tanggapan ini terus di lestarikan, maka tak mustahil akan menuai kesalahpahaman, bisa jadi masyarakat luas akan turut membandingkan dengan pelaku penista agama seperti Joseph dan para Da'i yang belum lama ini di tuding radikal oleh sejumlah pihak.
Tanggapan tersebut bisa jadi akan di tunggangi oleh pihak yang memiliki motif deislamisasi dan memecah belah umat Islam, alih-alih terselesaikan permasalahan penistaan agama yang dilakukan oleh Joseph, justru umat malah di sibukkan dengan kasus radikal yang hanya menjadi cerita fiktif, bahkan dampak tanggapan yang tak relevan ini bisa mengendarai khalayak untuk memperlakukan sama orang-orang yang di tuding radikal dengan penista agama, bagaimana jadinya kalau para penceramah yang dituduh radikal tesebut akhirnya turut di pidanakan hanya karena tanggapan melenceng dari seorang tokoh agama.
Memang tidak dipungkiri, bahwa sistem sekuler turut menginternalisasi aktivitas masyarakat Indonesia, maraknya tindakan penistaan agama merupakan bukti bahwa Indonesia masih belum memiliki hukum yang membuat jera para pelaku penista agama, bahkan dewasa ini penista agama yaitu Joseph dengan berani menantang siapa saja yang melaporkan nya ke polisi akan diberi imbalan 1 juta rupiah, dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa pelaku penista agama telah menunjukkan sikap tak percaya akan penegakan hukum di Indonesia terhadap ujaran penistaan yang dilakukan.
Ini seharusnya menjadi PR besar bagi pemerintah untuk menjaga kerukunan umat beragama, seharusnya mulai sekarang pemerintah fokus menegakkan hukum seadil-adilnya terhadap siapa saja yang menistakan agama, bukan justru sibuk dengan proyek deradikalisasi yang tak jelas orientasi nya, bahkan justru di nilai menyudutkan sebagian umat beragama khususnya Islam, yang alih-alih menjaga kerukunan antar umat beragama justru memecah belah umat beragama.
Kemudian kita patut menyadari bahwa maraknya penistaan agama diakibatkan sistem sekuler yang menjadi corak aktivitas kehidupan bernegara, ketika agama hanya menjadi status dan tidak dijadikan sebagai instrumen dan way of life bangsa maka tak heran masyarakat hanya menganggap agama seperti ada dan tiada sehingga tindakan menista suatu agama pun dianggap tidak memberikan pengaruh terhadap keberlangsungan umat beragama, tak heran jika pemerintah terbilang lambat memproses para pelaku penista agama, terutama jika pelaku nya justru pemilik otoritas seperti kasus Ahok pada tahun 2017 silam, ini sebagai bukti bahwa pemerintah telah menjadi konsumen sistem sekulerisme. []
Wallahu A'lam bissowab
Oleh Dian Fitriani
0 Komentar