Polemik Impor Beras, Ketahanan Pangan Kuncinya

 “Di Negeri yang penuh muslihat, korupsi seolah jadi perkara lumrah. Perburuan menjadi paling kaya, menjadi hobi para abdi negara.”

Sebuah deskripsi yang pas kiranya untuk negeri ini.  Kasus demi kasus korupsi yang sekan tidak pernah ada habisnya. Seolah menggambarkan betapa korupsi menjadi sesuatu hal yang lumrah, bukan lagi sebuah aib yang begitu menghinakan pelakunya. Parahnya lagi, seakan tidak ada yang luput dari kasus ini. Korupsi telah merambah semua sektor, tidak terkecuali impor. 

Hal itu juga yang dilihat oleh Mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, Febri Diansyah, menyinggung banyaknya kasus korupsi di balik kebijakan impor. Ia mengingat ada beberapa perkara rasuah yang pernah terjadi, seperti impor daging, impor gula, impor ikan, impor bawang putih, hingga impor tekstil.

“Dalam korupsi impor selalu ada rente di balik berbusa-busanya slogan impor demi mencukupi kebutuhan rakyat,” ujar Febri dalam akun Twitter pribadinya, @febridiansyah, Rabu, 17 Maret 2021. 

Penerima suap, kata Febri, tak pelak adalah pejabat yang memiliki kewenangan, bahkan pemimpin partai politik. Ia mencontohkan kasus suap impor bawang putih. Dalam perkara itu, pejabat menerima fee mulai Rp 50 hingga Rp 1.700 per kilogram. Pernyataan Febri dicuitkan setelah pemerintah mengemukakan rencana impor beras 1 juta ton. Rencana itu diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (Tempo.co, 19/3/2021).

Pernyataan yang berbeda mengenai tidak perlu adanya impor beras inipun dikeluarkan oleh Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso. Ia juga mengklaim bahwa selama ia menjabat sebagai chief Bulog dari tahun 2018 tidak pernah mengimpor beras.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2021, potensi produksi beras pada Januari-April 2021 bisa mencapai 14,54 juta ton beras. Angka ini naik 3,08 juta ton atau 26,84 persen dibandingkan produksi beras pada subround Januari-April 2020 sebesar 11,46 juta ton. 

Buwas meminta pemerintah tidak terburu-buru memberikan penugasan impor beras kepada Bulog. Sebab, stok beras yang dikuasai Bulog sampai hari ini tercatat masih 923 ribu ton. Di samping itu, petani sebentar lagi akan memasuki masa panen raya (Tempo.co, 25/3/2021).

Wacana pemerintah untuk impor beras bukannya tanpa alasan. Menteri Perdagangan Lutfi membeberkan hal tersebut, menurutnya rencana impor bukan dikarenakan kurangnya pasokan beras yang kurang. Melainkan merupakan sebuah mekanisme pemerintah untuk menjaga cadangan beras yang dimiliki oleh Bulog. Pasalnya, Bulog diharuskan memiliki  cadangan beras pemerintah (CBP) sebesar 1 juta ton hingga 1,5 juta ton (Nasional.kontan.co.id, 19/3/2021).

Lebih lanjut, Lutfi mengatakan bahwa rencana impor hanya untuk menstabilkan harga beras, menjaga stabilitas, dan ketahanan pangan. Pemerintah tidak ingin harga beras melonjak saat pandemi karena kurangnya pasokan dan pada saat yang sama tidak akan menurunkan harga gabah kering petani. Pemerintah berencana mengimpor beras sebanyak 1 juta ton pada tahun ini, dari jumlah itu, sebanyak 500 ribu ton dialokasikan untuk cadangan beras pemerintah (CBP), sementara 500 ribu ton sisanya dikhususkan untuk beras komersial bulog (Republika.co.id, 26/3/2021).

Jika memang betul demikian adanya untuk menjaga stabilitas, menstabilkan harga beras, dan juga ketahanan pangan. Apakah harus hanya dengan cara impor? Betul jika keadaan mendesak dan genting maka solusi yang cepat hanyalah dengan cara mengimpor beras. Tidak pernahkah terpikir oleh pemerintah untuk bisa mempersiapkan para petani agar dapat menyediakan beras lebih banyak lagi, sehingga bukan hanya pasokan dalam negeri yang aman, tetapi bisa juga mengekspor beras ke negara-negara lain. 

Sejak dulu negara ini dikenal tidak hanya sebagai negara maritim tetapi juga negara agraris, karena sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani atau bercocok tanam. Tetapi yang mengherankan adalah negara ini hanya bisa bertahan dengan swasembada berasnya sekitar empat tahun saja. Setelah itu Indonesia kembali harus mengimpor beras untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. 

Beras merupakan makanan pokok di negeri ini, sehingga keberadaan dan ketahanannya harus menjadi perhatian yang besar dari pemerintah. Tidak bisa bergantung pada impor, justru ketahanan pangan itu harus ada dan bisa diciptakan sendiri oleh sebuah negara demi keberlangsungan hidup rakyatnya. Adanya para rente atau mafia yang selalu bermain di balik impor pangan, tentu menjadi sesuatu hal yang perlu dibuktikan kebenarannya.  

Seperti dugaan yang dilontarkan oleh Ketua Dewan Nasional Pembaruan Agraria, Iwan Nurdin, mengatakan adanya peran mafia impor pangan di balik kebijakan impor beras satu juta ton tersebut. Menurutnya, keputusan pemerintah dalam melakukan impor tidak sesuai fakta lapangan. 

Ia menjelaskan ada beberapa indikasi atas dugaan tersebut, pertama, selisih harga beras di pasar dalam negeri dan internasional begitu tinggi, yaitu sekitar Rp 2.400 per kilogram. Jika dihitung nilai margin bisa sampai Rp 3 triliun. Selain dugaan adanya mafia yang bermain di belakang demi mendapatkan cuan atau keuntungan dari margin tersebut, ditambah juga karena selalu adanya kesimpang siuran data tentang kecukupan beras (ekbis.sindonews.com, 9/3/2021). 

Jelas kiranya dengan melihat fakta-fakta yang ada tersebut, masalah yang ada bukan lagi tentang hasil panen yang seringnya tidak sesuai ekspektasi, sehingga menjadi alasan bagi para “mafia” tadi untuk bisa mengadakan impor. Tetapi lebih dari itu para petani yang semestinya menjadi fokus perhatian dari pemerintah, justru kerapkali harus menggigit jari jika waktu panen tiba. Banyak permasalahan yang hanya berkaitan dengan teknis, dan harusnya hal itu bisa diselesaikan dengan mudah. Tentunya jika memang pemerintah serius berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan di dalam negeri.

Dan menjadi tipikalnya sistem kapitalisme yang dianut oleh rezim saat ini, selama hal yang dianggap banyak mendatangkan keuntungan meski dengan mengorbankan kepentingan rakyat kecil tidaklah mengapa. Tidak peduli begitu terpukul dan menjeritnya hati para petani ketika waktunya panen tiba dan di waktu yang bersamaan pemerintah justru membuka keran impor beras selebar-lebarnya. 

Suatu negara akan bisa bertahan jika ketahanan pangannya bagus dan kuat. Hal tersebut hanya bisa diwujudkan jika pemerintah berupaya kuat memberantas dan bersikap tegas terhadap praktik-praktik rente dan mafia impor pangan. Seringnya yang terjadi pemerintah seakan menutup mata terhadap fakta yang ada, bahwa para mafia tersebut ternyata memiliki ‘kekuasaan’, seakan menjadi bayang-bayang pemerintah yang memiliki kekuatan hukum atau aturan yang diberlakukan.

Menjadi utopis, berharap adanya tindakan yang tegas untuk memberantas praktik rente dan mafia impor pangan jika masih memakai sistem yang ada saat ini. Ditambah dengan budaya korupsi yang demikian mengakar, serta gaya hidup hedonis dan materialistis yang menghalalkan segala cara, serta kehidupan yang jauh bahkan terpisah dari agama yang menjadikan semakin mustahilnya harapan itu. []

Wallahu a’lam bishshowab.


Oleh Anjar Rositawati

Posting Komentar

0 Komentar