Kebijakan Pelarangan Pengamen Ondel-Ondel
Kebijakan Pemprov DKI Jakarta menertibkan dan melarang ondel-ondel yang digunakan untuk mengamen telah diberlakukan pada Rabu (24/3/2021) lalu. Sontak kebijakan ini mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan, selain protes dari para pegiat ondel-ondel sendiri. Sejarawan asal Betawi, JJ Rizal menyayangkan diberlakukannya larangan tersebut dengan tuduhan bahwa Pemprov DKI Jakarta tidak memahami esensi dan sejarah ondel-ondel. Sedangkan budayawan Betawi, Ridwan Saidi menilai bahwa, pelarangan ondel-ondel sebagai sarana mengamen justru akan menimbulkan masalah pengangguran baru.
Ondel-ondel sebagai ikon budaya Betawi, menurut Pemprov DKI Jakarta haruslah dijaga kelestariannya bukan dengan menjadikan ondel-ondel tersebut sebagai sarana untuk mengamen. Justru dengan dijadikan sarana mengamen, maka ondel-ondel tidak ditempatkan sebagai ikon lagi, tetapi terkesan menjatuhkan posisi ondel-ondel jadi terhina. Hal ini karena mengamen di pinggir-pinggir jalan identik dengan upaya mengemis. Karena itu Pemprov DKI Jakarta menjadikan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Ikon Budaya Betawi sebagai rujukan pelarangan ondel-ondel digunakan untuk mengamen.
Di dalam Pergub tersebut, ondel-ondel hanya diperuntukkan bagi upacara adat Betawi, dekorasi acara-acara seremonial seperti pameran dan festival, serta untuk _photo wall_ di panggung pementasan atau dalam bentuk visual. Karenanya, ondel-ondel dinilai tidak pantas keliling kampung untuk digunakan mengamen. Larangan bagi ondel-onel ini sejalan dengan larangan memberikan uang bagi pengamen dan pengemis yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 Tentang Ketertiban Umum. Sanksi bagi pelaku pengamen, pengemis, dan pemberi uang adalah pidana kurungan paling singkat 10 hari, dan paling lama 60 hari, serta denda antara Rp 100.000 sampai Rp 20.000.000.
Ondel-ondel dalam sejarahnya dahulu merupakan boneka besar yang diperuntukkan menolak bala dan hiburan pada perayaan panen. Kemudian seiring waktu, ondel-ondel diangkat sebagai warisan kebanggaan budaya Betawi. Namun kemudian terjadi pergeseran fungsi ondel-ondel, menjadi alat yang digunakan untuk mencari uang. Hal inilah yang tidak dikehendaki oleh Pemprov DKI Jakarta, disamping sebagai respon dari banyaknya keluhan masyarakat yang merasa tidak nyaman dengan banyaknya ondel-ondel berkeliaran di pemukiman warga.
Di Kota Depok, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) juga menindak tegas pengamen ondel-ondel yang berkeliaran di Kota Depok. Pemerintah Kota (pemkot) Depok telah membuat peraturan daerah dan surat edaran terkait pelarangan pengamen ondel-ondel ini, demikian yang disampaikan oleh Lienda Ratnanurdiany, Kasat Pol PP Kota Depok. Pemkot Depok kerap melakukan razia dan penangkapan terhadap pengamen ondel-ondel, terutama yang melibatkan anak-anak sebagai pegiat ondel-ondel. Hal ini sejalan dengan kebijakan Pemkot Depok dalam upaya untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi ekonomi.
Penangkapan pengamen ondel-ondel di Kota Depok ini kemudian dilanjutkan dengan assesment yang dikoordinasi oleh Dinas Sosial dengan Dinas Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat (DPAPMK). Akan ditanya dan didalami kepada anak-anak pegiat ondel-ondel tersebut tentang motif mereka mengamen. Apakah karena suruhan pihak lain, atau karena kondisi terpaksa demi mencari penghasilan.
Upaya penangkapan pengamen ondel-ondel di Kota Depok yang disebut-sebut dilanjutkan dengan proses pembinaan, tidak diketahui lebih lanjut pembinaan seperti apa yang diberlakukan. Karena menurut satu penelusuran yang pernah dilakukan oleh tirto.id terhadap anak-anak (manusia) silver yang diangkut oleh Satpol PP Kota Depok, anak-anak tersebut hanya dibawa ke Dinas Sosial, dimandikan, lalu dijemput oleh orang tuanya. Bahkan tak jarang, penangkapan oleh Satpol PP ini tak membuat mereka jera untuk kembali mengamen dengan cara ‘nyilver’ tersebut. Pihak Satpol PP-pun akhirnya mengaku kuwalahan untuk menertibkan mereka.
Menurut Elly Malihah, Guru Besar Sosiologi Universitas Pendidikan Indonesia, banyaknya pengamen termasuk anak-anak disebabkan oleh tingginya angka kemiskinan, dan gonjang-ganjingnya perekonomian akibat pandemi Covid-19. Dalam kondisi ini, pemerintah termasuk Pemkot sangat perlu menyediakan lapangan pekerjaan bagi orang tua dan para pemuda usia produktif.
Senada dengan Elly Malihah, seperti perkataan ‘Babe’ Ridwan Saidi di atas, bahwa pelarangan pengamen ondel-ondel akan berpotensi menimbulkan pengangguran baru. Hal ini karena, pengamen ondel-ondel telah bertahun-tahun menjalani pekerjaan tersebut untuk mencari penghasilan. Maka ketika dilarang, mereka tentu akan kesulitan mendapatkan penghasilan untuk makan sehari-hari. Apalagi jika pemerintah tidak memberikan solusi dengan memberikan pekerjaan pengganti bagi para pengamen tersebut.
Tinjauan Syariat Islam yang Solutif Terhadap Ondel-Ondel
Menurut syariat Islam, hukum ondel-ondel sendiri disandarkan pada satu dalil dari sabda Rasulullah SAW tentang larangan menggambar obyek bernyawa. “Barangsiapa menggambar suatu gambar, maka Allah akan mengazabnya dengan gambar itu pada Hari Kiamat, hingga ia dapat meniupkan ruh ke dalamnya, padahal ia tak akan mampu meniupkannya,” (HR Bukhari). Larangan tashwir (menggambar) ini bersifat umum, karena lafaz _“shuurah”_ dalam hadits tersebut adalah _shighat_ lafaz umum ( _isim Nakirah_ dalam redaksi kalimat syarat). Keharaman _tashwir_ ini juga bersifat umum, baik obyek _tashwir_-nya tidak mempunyai bayangan (gambar dua dimensi), ataupun mempunyai bayangan (bentuk benda tiga dimensi atau patung).
Jadi membuat patung, termasuk mengenakan kostum seperti manusia atau binatang menurut Islam hukumnya adalah haram. Ondel-ondel disandarkan pada bentuk patung atau boneka manusia, karena kemiripannya. Apalagi dengan adanya orang yang berada di dalam ondel-ondel tersebut, ondel-ondel dapat berjalan dan menggerakkan tangannya seperti mahluk hidup. Ini jelas keharamannya.
Namun ada satu dalil _takhsiis_ yang mengecualikan keharaman menggambar atau membuat patung (boneka) bernyawa tersebut. Dalam dalil riwayat Aisyah RA dinyatakan, “Dulu aku pernah bermain boneka-boneka berbentuk anak perempuan di dekat nabi SAW, waktu itu aku punya beberapa teman yang suka bermain-main denganku,” (HR Bukhari dan Muslim). Hadits Aisyah RA ini, menunjukkan kebolehan membuat dan memainkan boneka atau patung bagi anak-anak. Karena jika diharamkan, tentu Rasulullah SAW akan menasihati Aisyah untuk tidak memainkan boneka-boneka tersebut.
Jadi hukum membuat dan bermain dengan boneka atau patung dibolehkan dalam ajaran Islam untuk anak-anak, meskipun patung atau boneka tersebut berbentuk obyek yang bernyawa. Hal ini karena anak-anak memerlukan pembelajaran tentang makhluk hidup. Jadi patung atau boneka itu diperuntukkan menjadi miniatur makhluk hidup untuk sarana pembelajaran bagi anak-anak. Sedangkan selain untuk anak-anak maka diharamkan.
Hukum menurut Islam tentang keharaman dan kebolehan patung atau boneka ini ternyata bisa dijadikan acuan yang solutif bagi penyelesaian polemik pengamen ondel-ondel di atas. Jika Islam membolehkan penggunaan patung dan boneka bagi anak-anak, maka alangkah baiknya jika pemerintah memberikan pekerjaan pada para pengamen ondel-ondel ini di wahana-wahana wisata yang diperuntukkan bagi anak-anak bermain.
Jika pemerintah serius menggaji para pengamen ondel-ondel untuk menghibur anak-anak di tempat-tempat wisata, tentu para pengamen ondel-ondel tidak perlu lagi keliling perumahan warga untuk meminta receh. Mereka berkeliling mengamen adalah dalam upaya untuk bertahan hidup. Jika ada pekerjaan yang menjanjikan, tentu mereka tidak akan berlelah-lelah berjalan mengamen hingga ke kampung-kampung. Hal ini tentu dapat menjadi solusi yang pasti bisa mengentaskan permasalahan pengamen ondel-ondel ini.
Namun itu semua berpulang kepada kemauan pemerintah untuk berhukum dengan hukum Islam. Apakah pemerintah termasuk pemkot ada keinginan untuk melirik syariat Islam yang solutif dalam menyelesaikan berbagai problematika masyarakat? Sekali lagi semua itu berpulang pada kemauan. Tentu kemauan akan lahir jika dilandasi oleh keyakinan akan kebenaran Syariat Islam. Jika tidak yakin, atau belum yakin, maka tentu tidak akan ada kemauan itu. []
Oleh Dewi Purnasari
Aktivis dakwah politik
0 Komentar