Arus pergerakan kaum pelangi yang turut mewarnai corak sosial dan budaya masyarakat Indonesia ini semakin ngeri. Teranyar, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan memudahkan warga transgender untuk mendapatkan dokumen kependudukan, seperti KTP elektronik (KTP-el), kartu keluarga, dan akta kelahiran.
Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh dalam rapat koordinasi virtual dengan Perkumpulan Suara Kita melalui aplikasi zoom yang digelar, Jumat (23/4/2021).
"Dukcapil seluruh Indonesia akan membantu teman-teman transgender untuk mendapatkan dokumen kependudukan,” kata Zudan dalam keterangan tertulis, Sabtu (24/4/2021).
Transgender, merupakan bagian dari L9BT (kini nge-tren dengan sebutan kaum pelangi), yang merupakan akronim dari “lesbian, gay, biseksual, dan transgender”. Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa “komunitas gay” karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan.
Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman “budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender”. Kadang-kadang istilah L9BT digunakan untuk semua orang yang tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksual, biseksual, atau transgender. Maka dari itu, seringkali huruf Q ditambahkan agar queer dan orang-orang yang masih mempertanyakan identitas seksual mereka juga terwakili.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan Suara Kita, Hartoyo mengungkapkan, banyak transgender di Indonesia tidak memiliki dokumen kependudukan. Bahkan, menurut Hartoyo, transgender kerap mendapatkan hambatan dalam mengurus administrasi kependudukan.
"Kawan-kawan transgender ini masih kerap menemui hambatan ketika mengurus layanan publik terutama terkait administrasi kependudukan. Mungkin karena miskin dan minder, malu, atau hambatan lainnya," ujar Hartoyo.
Ia menyayangkan kondisi tersebut karena hal itu mempersulit mereka dalam mendapatkan akses layanan publik, di antaranya BPJS Kesehatan hingga bantuan sosial.
"Akibatnya mereka sulit mengurus pelayanan publik lain, seperti BPJS-Kes, atau sulit mendapat akses bansos. Padahal banyak di antaranya yang hidup miskin sebagai pengamen dan profesi lainnya," sambungnya.
Dari sini seolah tampak pembelaan pada aspek humanis, untuk memperjuangkan pengakuan, nilai dan martabat dari kaum marginal tersebut. Sehingga mereka mendapatkan penerimaan atas eksistensinya selama ini. Hanya saja, apakah toleransi pada kaum tersebut merupakan sikap yang tepat?
Payung hukum bagi transgender atau pergantian jenis kelamin dikenal dalam Pasal 56 ayat (1) UU Apen sebagai "peristiwa penting lainnya". Dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU Apen dinyatakan bahwa "Yang dimaksud dengan Peristiwa Penting lainnya adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada Instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin".
Jadi, jika benar seseorang telah mengubah jenis kelaminnya, agar mendapatkan pengesahan dari negara, perlu didahului dengan penetapan dari pengadilan terlebih dahulu. Karena tidak seorangpun dapat mengubah, mengganti, atau menambah identitasnya tanpa seizin pengadilan. Dengan adanya perubahan jenis kelamin tentunya ada perubahan juga mengenai data kependudukan.
Setelah mendapati pengesahan dari pengadilan, berdasarkan Pasal 3 UU Apen yang menyatakan bahwa, "Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil". Jadi, seseorang yang telah melakukan transgender diwajibkan untuk melaporkan perubahan atas data identitas kependudukannya kepada Instansi Pelaksana, dalam hal ini yang dimaksud dengan Instansi Pelaksana adalah Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dalam Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Dari aspek hukum di atas, seolah negara menjadi pahlawan yang memudahkan mereka untuk mendapatkan hak fasilitas publik. Selain itu, pemerintah pun gencar membangun opini publik agar masyarakat yang mayoritas masih tidak mendukung kaum pelangi ini pada akhirnya mau memaklumi kondisi mereka sehingga berujung pada penerimaan dari sisi legalitas hukum.
Selain ratifikasi hukum, kita dapat menyaksikan gencarnya opini yang diaruskan di media terkait dukungan agar kaum ini bisa diterima oleh masyarakat. Adanya edukasi-edukasi ilmiah terkait orientasi ini sehingga kaum tersebut mendapatkan pembenaran dan dukungan, tidak lagi hanya pengakuan semata.
Maraknya pergerakan kaum pelangi sejatinya tidak terlepas dari strategi penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara penjajah di negeri muslim terbesar ini, yakni upaya liberalisme. Liberalisme bertujuan untuk melemahkan ketahanan negeri muslim terbesar ini dengan merusak SDM-nya. Liberalisasi terus menerus digencarkan pada bidang pemikiran, perilaku, dan lainnya. Strategi liberalisme dijalankan secara sistematis oleh para agen penjajah, baik yang duduk di pemerintahan, Non-Governmental Organization (NGO) atau yang di Indonesia sering disebut sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maupun pihak-pihak yang lain.
Data menunjukkan, kaum pelangi tidak berdiri sendiri. Mereka adalah gerakan global dengan dukungan dana yang besar. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menghapus LGBT dari daftar penyakit mental (Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders). Mereka menyebut perilaku tersebut normal bukan kelainan mental.
Indonesia mengakui bahwa negeri dengan mayoritas muslim ini ialah negeri yang religius, berketuhanan, berkeadaban dan berperikemanusiaan. Tetapi wajarkah apabila berangkat dari statement tersebut, justru membolehkan perilaku yang menyimpang dari sisi moral terlebih lagi agama ini?
Kaum ini akan mengerahkan berbagai cara mereka untuk mempertahankan eksistensinya. Mereka akan berusaha agar tidak dikriminalisasi dengan cara mempertahankan konstruksi hukum yang ada. Seperti sistem hukum di Indonesia sekarang, yang mandul untuk memberikan sanksi apapun bagi kalangan ini. Secara filosofis, mereka pun menggunakan HAM sebagai senjata bagi mereka untuk berlindung dengan dalih orientasi ini adalah fitrah, bukan penyimpangan.
Sistem pemerintahan di negeri ini berdiri tegak di atas asas sekularisme. Sekularisme telah melepaskan kehidupan dari asuhan agama. Pada kasus ini, negara telah nyata meminggirkan syariat Islam yang telah mengharamkan aktivitas tersebut dengan eksistensi hukum yang baru bagi kaum pelangi ini atas nama HAM tadi.
Ketika Allah Swt telah melaknat kaum Nabi Luth, penguasa dan sistem sekuler di negeri ini justru memberikan hak untuk mereka eksis dan mengaktualisasikan diri serta menolak memberikan sanksi pidana terhadapnya. Padahal, dalam hukum Islam sanksi pidana dari-Nya untuk pelaku penyimpangan ini sudah jelas termaktub dalam ayat Alquran.
Demokrasi telah meminggirkan peran agama, sehingga kondisi ini wajar terjadi. Maka kita memerlukan perubahan revolusioner yang bersifat menyeluruh dan terintegrasi, dengan membuat perubahan nyata pada sistemnya secara komprehensif. Maka sudah saatnya, umat Islam bersatu dalam agenda besar perubahan umat menuju Islam kafah, dengan berjuang menegakkan negara khilafah.
Hanya khilafah yang memiliki sistem komprehensif untuk menghentikan promosi, inisiasi, hingga legalisasi kaum pelangi ini. Melalui integrasi di antara kebijakan hukumnya, sistem media serta aplikasi konten dan programnya, sistem pendidikan baik formal maupun nonformalnya, sistem sosial dalam masyarakatnya, sistem ekonomi, politik, dan penegakan sistem sanksinya yang bersifat antisipatif dengan berbagai macam upaya-upaya pencegahan sampai bersifat kuratif dan solutif. []
Wallahu a'lam biashawab.
Oleh Novita Sari Gunawan
0 Komentar