Proyek pembangunan Bukit Algoritma dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sudah menjadi buah bibir di berbagai kalangan petinggi negeri. Seiring berkembangnya zaman, pastilah suatu negara ataupun daerah senantiasa membuat perkembangan yang signifikan demi kemaslahatan masyarakatnya. Tak terkecuali dalam masalah pembangunan pusat start-up yang digadang-gadang sebagai Silicon Valley-nya Indonesia bernama Bukit Algoritma di Sukabumi, Jawa Barat. Proyek tersebut sudah dianggarkan sebesar Rp18 triliun yang akan mengandalkan investor (dari dalam maupun luar negeri) dan Budiman Sudjatmiko sebagai ketua pelaksananya.
Sementara itu PT Kiniku Bintang Raya, dalam hal ini, akan jadi pengembang kawasan Bukit Algoritma seluas 888 hektare di Cikadang dan Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat tersebut. Kiniku kemudian menggandeng PT Amarta Karya (Persero) sebagai kontraktor yang nantinya akan dibayar menggunakan dana dari para investor tersebut. (cnnindonesia.com, 11/04/2021)
Budiman Sudjatmiko menjelaskan, Bukit Algoritma yang segera diwujudkan itu ke depannya diharapkan menjadi pusat research and development serta pengembangan sumber daya manusia Indonesia, utamanya generasi muda. Pada tiga tahun pertama sebagai tahapan awal, nilai total proyek diperkirakan akan mencapai angka 1 miliar euro atau setara Rp18 triliun. Penggunaannya meliputi upaya peningkatan kualitas ekonomi 4.0, peningkatan pendidikan dan penciptaan pusat riset dan development untuk menampung ide anak bangsa terbaik demi Indonesia bangkit, serta peningkatan sektor pariwisata. (kabar24.bisnis.com, 11 April 2021)
Mengapa pemerintah begitu berambisi untuk segera menyelesaikan proyek pembangunan Bukit Algoritma dan KEK teknologi? Proyek pembangunan bukit algoritma untuk siapa?
Padahal, berbagai kalangan menyorot bahwa proyek ini dimungkinkan hanya menjadi proyek prestisius, tanpa visi kemaslahatan bangsa. Adanya pihak investor yang digandeng Indonesia dalam proyek Bukit Algoritma ini tentu jadi perhatian besar. Pasalnya, hadirnya investor merupakan upaya pemerintah agar berlepas tangan terkait pembiayaan proyek pembangunan. Hal ini tentu bukan hal yang patut untuk dibanggakan, adanya unsur bisnis tentu akan berakhir pada pertimbangan asas untung rugi bagi kedua pihak, yaitu pemerintah dan para investor. Seharusnya proyek pembangunan betul-betul mengutamakan terpenuhinya kebutuhan masyarakat , bukan sekadar ‘bancakan’ untuk kalangan para pengusaha dan penguasa.
Indonesia seharusnya berkaca pada dampak Silicon Valley di Amerika sendiri dan banyak sekali masalah kesenjangan sosial yang dihadapi antara masyarakat lokal dan para pekerja start up itu sendiri. Apalagi ditambah dengan banyaknya perusahaan yang memutuskan untuk keluar dari Silicon Valley karena imbas dari pandemi Covid-19.
Sejumlah perusahaan top berbondong-bondong keluar dari Silicon Valley, imbas dari pandemi Covid-19 yang mengubah sistem kerja dan polarisasi politik yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Alasan lainnya adalah biaya hidup tinggi dan lokasi yang berdekatan dengan kebakaran hutan California. Dua alasan yang disebut pertama bahkan sudah menjadi pertimbangan untuk angkat kaki sebelum wabah virus corona melanda dunia, menurut pemberitaan AFP pada Minggu, 20/12/2020). (Kompas.com, 20/12/2020)
Ironi, pemerintah seakan tutup mata terhadap fakta permasalahan yang dihadapi Silicon Valley. Justru rakyat Indonesia lagi-lagi dibuat gigit jari, karena kekayaan yang seharusnya dikuasai oleh negara dan dikelola untuk kemaslahatan umat, ternyata justru diprivatisasi kepada swasta. Hal ini semakin menunjukkan intervensi asing dan hegemoni negara kapital dunia sangat kuat mencengkeram negeri ini. Lantas, apa arti kemerdekaan Indonesia? Jika para kapital diberikan karpet merah untuk terus mengeruk kekayaan SDA Indonesia. Seharusnya pemerintah menjadi pihak yang bertanggung jawab penuh untuk tercapainya kemaslahatan umat, bukan hanya untuk memenuhi hasrat keuntungan bagi para investor itu saja.
Proyek Bukit Algoritma yang diopinikan sebagai sarana agar terdepan dalam teknonogi digital hanya sebatas mimpi di siang hari. Bahkan sangat disayangkan kesiapan berupa independensi/kemandirian teknologi dan dukungan terhadap riset dan inovasi justru dikebiri. Sebab, sudah menjadi rahasia umum riset dan inovasi yang dilahirkan oleh lembaga pendidikan tinggi hanya sekadar pabrik pencetak pekerja yang sengaja disistemkan demi memenuhi kebutuhan pasar yang murah meriah.
Maka antara harapan dan realitas pemerintah sangatlah jauh dari tujuan untuk memberikan kemaslahatan rakyat. Demikianlah, kapitalisme yang sejak awal menguasai Indonesia menyebabkan rakyat terus menerus dalam kubangan penderitaan. Sampai kapan kita mau diatur oleh sistem yang rusak ini, yang telah gagal melindungi aset umat?
Pengembangan riset, inovasi dan teknologi bagi suatu bangsa merupakan ranah kebijakan negara. Untuk itu, melalui strategi pendidikan, kebijakan ekonomi dan politik, kebijakan pada pengembangan riset dan teknologi, akan mampu menciptakan perkembangan riset dan teknologi terkini yang menjawab kebutuhan rakyat.
Mengingat kembali pada masa kejayaan Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi begitu berkembang sangat pesat. Sistem pendidikan dalam peradaban Islam mampu melahirkan banyak ilmuwan yang ahli dalam berbagai bidang kehidupan. Sebab, pendidikan Islam memiliki visi untuk membangun peradaban Islam, berkontribusi untuk kemaslahatan umat, serta mencetak intelektual yang berkepribadian Islam. Maka dari itu, sudah terbukti peradaban Islam mampu menyatukan berbagai potensi umat, termasuk dalam hal riset dan teknologi selama kurang lebih 13 abad.
Sudah saatnya mengembalikan kehidupan Islam dalam bingkai khilafah yang akan membawa kemaslahatan bagi kehidupan seluruh umat manusia. Khilafah yang akan membebaskan dunia dari berbagai bentuk penjajahan, khususnya pengelolaan SDA oleh pengusaha/para kapital. Oleh karena itu, Islam yang diterapkan dalam bingkai khilafah, akan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.” (QS Al Anbiya: 107).[]
Oleh Retnaning Putri, S.S.
0 Komentar