Kini Ramadhan telah tiba. Walau masih diterpa pandemi, kaum Muslimin masih menyambut Ramadhan dengan suka cita. Apasih rahasianya? Mengapa Ramadhan menjadi momen yang ditunggu-tunggu, apa keutamaannya dari bulan lain?
Ramadhan adalah bulan yang didambakan dan kedatangannya disambut antusias oleh kaum Muslimin, khususnya oleh Rasulullah SAW. Ramadhan adalah sayyidul asyhar, satu-satunya bulan yang Allah SWT sebutkan dalam Al-Qur’an. Sebagaimana sabda beliau: “Sungguh telah datang bulan Ramadhan yang penuh keberkahan. Allah mewajibkan kalian berpuasa di dalamnya. Di dalamnya pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan (Lailatul Qadar). Siapa saja yang terhalangi (untuk mendapatkan) kebaikan malam itu maka sungguh dia telah dihalangi (dari keutamaan yang agung). (HR Ahmad dan an-Nasa’i).
Mengomentari hadits di atas, Imam Ibnu Rajab berkata, “Bagaimana mungkin orang yang beriman tidak gembira saat pintu-pintu surga dibuka? Bagaimana mungkin orang yang pernah berbuat dosa (dan ingin bertobat serta kembali kepada Allah SWT) tidak gembira saat pintu-pintu neraka ditutup? Bagaimana mungkin orang yang berakal tidak gembira saat setan-setan dibelenggu?” (Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâif al-Ma’ârif, hlm. 174).
Keutamaan Ramadhan menjadi alasan mengapa Kaum Muslimin sangat antusias menyambutnya. Hal yang paling diketahui oleh khalayak, Allah SWT mengaruniakan dilipatgandakannya nilai amalan baik khusus di bulan ini. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman: “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151)
Namun, yang harus kita pahami bukanlah hanya sekadar berpaku pada nilai ganjaran pahala yang dijanjikan. Jangan sampai kita disibukkan mengalkulasi nilai pahala ibadah dan menjadikannya tujuan. Namun tetap harus fokus terhadap niat dalam setiap ibadah yang kita lakukan semata meraih ridha Allah SWT. Maka kita tidak akan pernah merasa cukup dengan amalan kita. Jangan sampai janji Allah SWT melipatgandakan pahala membuat kita lalai dan merasa cukup, akhirnya menjadikan ibadah bernilai kosong atau tidak diterima di sisi-Nya, “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa, kecuali lapar dan dahaga.” (HR Ahmad).
Sejatinya esensi dari momen Ramadhan beserta seruan ibadah yang ada adalah wasilah membentuk dan melatih kaum Muslimin agar berupaya meraih gelar takwa. Berbagai keutamaan yang ada mempunyai tujuan agar kaum Muslimin berlomba-lomba menempa dirinya sebagai hamba yang terbaik, sebagaimana Allah SWT menjanjikan dengan janji terbaik, yakni surga.
Agar mampu meraih gelar takwa, apakah kita sudah tahu takwa itu apa? Mengutip perkataan sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra: “Takwa adalah takut terhadap al-Jalil, Allah. Dan beramal dengan at-Tanzil (Al-Qur’an). Dan menerima (qona’ah) terhadap yang sedikit. Dan mempersiapkan diri untuk hari kemudian.”
Itulah definisi takwa dari sahabat Nabi yang dijuluki madinatul ‘ilm (kotanya ilmu). Dari perkataan beliau kita bisa ambil kesimpulan, takwa adalah menjalankan dan menerapkan at-Tanzil (Al-Qur’an). Al-Qur’an bukanlah sekadar bacaan, melainkan pedoman, di dalamnya berisi syariat yang wajib diterapkan oleh kaum Muslimin yang aktivitasnya disebut ibadah. Dan ibadah menjadi bekal persiapan menjumpai hari kemudian, yakni akhirat.
Syariat sendiri itu meluas dan mengikat hamba-Nya yakni mengatur segala aspek dari bangun tidur, bangun rumah tangga hingga bangun negara. Maka sangatlah keliru jika mencukupkan diri dengan puasa Ramadhan dan merasa mampu meraih predikat takwa tetapi syariat Allah SWT yang lainnya diabaikan.
Hari ini kita bisa melihat sendiri banyak syariat Allah SWT yang terabaikan. Kezaliman dan kerusakan merajalela sebab hidup yang tak berjalan sesuai tuntunan. Maraknya riba, khamr, zina, krisis keadilan, kesenjangan sosial, rusaknya moral generasi dan rendahnya kualitas kehidupan negeri ini di berbagai sektor membuat kita menderita. Hal itu terjadi akibat kita berpaling dari peringatan (syariat). Maha benar Allah dengan firman-Nya:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ
Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".
(Thaha: 124)
Lantas bagaimana menghadapi fakta tersebut? Bagaimana sikap kita seharusnya? Rasululullah SAW bersabda, “Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim).
Nah, di sini berlaku syariat dakwah. Ketika kita dihadapkan oleh fakta berupa pelangggaran syariat atau disebut kemungkaran, maka sebagai Muslim wajib mengubahnya dengan segala daya upaya. Beban kewajiban dakwah berada di pundak kita semua, khususnya pemuda. Pemuda dianugerahi berbagai potensi dan kelebihan, di situ juga terdapat kewajiban serta amanah umat.
ألا ان فى يد الشبان امر الأمة وفى اقدامها حياتهاِ
Ketahuilah bahwa di tangan pemudalah urusan ummat dan di kakinyalah kehidupan umat
Pemuda seharusnya berada di garda terdepan melakukan perubahan dengan Islam. Kewajiban dan amanah tersebut berlaku selama kita masih berstatus Muslim dan pemuda. kewajiban ini tak pernah absen walau bulan Ramadhan tiba. Bahkan Ramadhan dalam Islam dikenal sebagai bulan dakwah. Banyak sekali jihad dan kemenangan Islam selama bulan Ramadhan tercatat dalam sejarah. Sebagaimana Perang Badar, Fathu Makkah, penaklukan Andalusia dilakukan selama Ramadhan dan berkat pemuda.
Melihat tanggung jawab pemuda begitu besar, namun mengapa fenomena apatis dan individualis sangat melekat pada pemuda hari ini? Ya, karena hari ini kita hidup di sistem sekuler-kapitalistik. Sungguh menyedihkan bagi saya mengatakan bahwa hari ini jati diri seorang Muslim menjadi luntur dan kabur sebab sistem kehidupan yang kita jalani saat ini. Akhlak dan kepribadian Muslim sejati sulit diwujudkan sebab sekularisme yang akut menjangkiti tatanan bermasyarakat kita.
Sekularisme tanpa sadar membentuk cara pandang pemuda terhadap dunia menjadi berbeda. Seharusnya pemuda Muslim memandang dunia adalah sarana mengumpulkan bekal dan masa mengabdi, namun kini teralihkan. Kapitalisme-sekuler justru mengarahkan pandangan serta orientasi hidup pemuda ditujukan pada materi dan kesenangan dunia. Hedonis, individualis, segan berdakwah, apatis dan lain-lain. Jadi, memang kita dihadapkan dengan masalah yang mengakar dan kompleks. Walau berat, bukan berarti tidak bisa. Sulit namun tidak berarti kewajiban menjadi hilang.
Karena tantangan dan persoalan yang kita hadapi adalah persoalan yang sistematis, maka dibutuhkan perbaikan yang sistematis pula. Dakwah yang dilakukan sebagai individu tidak mampu meraih tujuan yang diharapkan. Maka di sinilah letak kebutuhan kita terhadap jamaah dakwah. Sebagaimana jamaah dakwah Rasul SAW. Beliau tidak bergerak sendiri, ada para sahabat yang senantiasa membersamai perjuangannya. Dan kebanyakan para sahabat adalah pemuda. Dan saya berani mengatakan kemenangan Islam bukan semata-mata usaha Rasul SAW, namun juga berkat perjuangan serta semangat dakwah para pemuda di kalangan sahabat.
Mengingat bagaimana seharusnya semangat pemuda dalam ibadah dan dakwah adalah sebagaimana Thariq bin Ziyad mencontohkan. Ia adalah salah satu sosok yang sungguh mengagumkan. Salah satu jasa yang ia pernah lakukan adalah menyinari kegelapan Eropa dengan cahaya Islam. Pada usianya yang masih sangat belia, ia mampu menakhlukkan Andalusia, Spanyol pada bulan Ramadhan. Tercatat ia berusia 17 tahun, namun mampu mengemban amanah sebagai pemimpin pasukan jihad.
Pada saat itu kedatangan Thariq bin Ziyad justru didukung oleh warga setempat karena muak terhadap kedurjanaan Raja Andalus. Islam datang sebagai rahmat dan cahaya atas kegelapan Eropa pada era tersebut, yang dikenal dengan ‘the dark age’. Bahkan ada bukit di Andalusia yang menggunakan nama Tahriq bin Ziyad untuk mengenang jasanya. Karena sejak kedatangannya, Andalusia menjadi kota paling makmur dan sejahtera di Eropa. Dan itu semua terwujud bukan semata-mata berkat Thariq bin Ziyad, melainkan Islam.
Islam yang mendorong sosok Thoriq bin Ziyad mampu menyeberangi daerah antar benua. Islam pula membuat Andalusia yang sebelumnya mundur dan terbelakang, menjadi tinggi dan bermartabat. Sekali lagi, kejayaan Islam dapat diraih karena pemudanya menjadikan agama adalah kebanggaanya, akhlak adalah pakaiannya dan Allah adalah tujuannya. Jadi, Ramadhan bukan hanya menjadi bulan memupuk amalan ruhiyah, tapi juga memupuk semangat untuk terus bergerak dalam dakwah. Karena dakwah adalah aktivitas utama orang bertakwa.[]
Oleh Safina An-Najah Zuhairoh A.
0 Komentar