‘Tersengat’ Solusi Pragmatis Kompor Listrik


Terdengar kabar bahwa PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menyiapkan produk layanan untuk mengakselerasi pengguna kompor induksi (kompor listrik). Proses rancangan program mulai dilakukan pada awal April 2021. Upaya pengguna kompor induksi sendiri dinilai tak hanya memberi keuntungan bagi masyarakat dan menekan angka impor LPG dalam negeri, namun juga mampu mendorong kinerja keuangan PLN. 

Dilansir dari kumparanbisnis.com, (18/1/2021) bahwa rencana pemerintah yang akan membagi-bagikan kompor listrik selain untuk meningkatkan penjualan listrik PLN yang saat ini turun, juga untuk menekan impor dan subsidi Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram (kg). Pembagiah kompor listrik ini direncanakan dalam bentuk paket perdana seperti saat konversi minyak tanah ke LPG berisi kompor, selang, hingga regulatornya. Meski begitu, pemerintah belum menyebut siapa saja masyarakat yang mendapatkan kompor listrik ini.   

Dikeluarkannya kebijakan tersebut bukan tanpa sebab, dilansir dari cnbcindonesia.com bahwa saat ini impor gas menjadi komponen migas yang memberatkan neraca dagang Indonesia ditengah peningkatan konsumsi elpiji nasional yang diprediksi mencapai 8 juta metrik ton di 2020 sementara produksi domestik masih stagnan. 

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, Djoko Siswanto, menyebutkan saat ini pemerintah terus berupaya mencari solusi untuk mengurangi porsi impor gas yang mencapai 70,7% salah satunya dengan mendorong pembangunan jaringan pipa gas (jargas) rumah tangga yang diharapkan dapat mencapai 500-750 ribu sambungan rumah tangga per tahun. Selain itu didorong penggunaan kompor listrik sekaligus mendorong produksi elpiji dalam negeri sebesar 500 ribu metrik ton/tahun dan menggantikan elpiji dengan DME.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai rencana bagi-bagi kompor listrik menjadi sebuah dilema. Sebab, bagi pelanggan subsidi 450 VA dan 900 VA akan kaget dengan tagihan listriknya yang berpotensi naik. Selain itu, kemungkinan harus membeli alat-alat masak baru yang terbilang mahal.    

Ternyata perluasan penggunaan kompor listrik ini pernah dicetuskan pada 2017 oleh Ignasius Jonan yang kala itu merupakan Menteri ESDM. Jonan menyebutkan kompor listrik jauh lebih hemat dibanding kompor gas. Menurutnya, biaya pemakaian kompor listrik hanya sekitar 50-60 persen kompor gas. Walaupun memasak dengan kompor listrik relatif lebih murah, tetapi harga kompor listrik jauh lebih mahal dibandingkan dengan kompor gas. Belum lagi untuk sebuah kompor listrik yang bagus membutuhkan daya 800 Watt sampai 1.600 Watt. Tentunya hanya rumah-rumah yang berlangganan listrik diatas 1.300 VA yang bisa memakainya, lalu bagaimana dengan masyarakat pengguna daya 450 VA – 900 VA? dan mereka adalah mayoritas di negeri ini. 

Betulkah nantinya rencana konversi kompor listrik dapat menjadi sebuah solusi untuk mengurangi impor gas di negeri ini? Atau malah kebijakan ini menjadi sebuah celah keuntungan yang bisa diraup oleh para oknum nakal. Alih-alih rencana pemerintah tersebut bisa mengurangi angka impor gas dan meningkatkan penjualan listrik PLN, yang ada justru membuat kehidupan rakyat kecil semakin susah.

Belum meratanya listrik di semua wilayah di negeri ini menjadi salah satu kendala, ditambah masih belum maksimalnya pelayanan PLN dan kerap terjadi kenaikan Tarif Dasar LIstrik (TDL) tentu akan membuat masyarakat berfikir ulang jika harus mengkonversi kompor gas tersebut. 

Menjadi tugas pemerintah saat ini untuk bisa membenahi permasalahan impor gas yang terus membengkak, menggunakan cara lain bukan dengan cara instan mengkonversi kompor gas ke kompor listrik. Fabby mempertanyakan mengapa justru rakyat yang harus berjibaku dan ikut pusing menyelamatkan PLN? Pemerintah dan PLN lah yang perlu memikirkan solusinya tanpa harus membebankan rakyat.

Menurut Fabby ada cara lain yang bisa dilakukan pemerintah, yaitu dengan mengurangi PLTU dan mengatur ketat distribusi LPG 3 kg,  dan seharusnya negara memerintahkan PLN untuk mengurangi kontrak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan renegosiasi take or pay dari PLTU yang beroperasi agar pasokannya tidak berlebih di tengah lesunya konsumsi listrik akibat terbatasnya aktivitas masyarakat. 

Selain mengurangi PLTU, pemerintah juga diminta membuat kebijakan harga energi yang terintegrasi. Mengatur dan mengendalikan distribusi dan subsidi LPG 3kg, dengan demikian rumah tangga kelas menengah akan melihat alternatif energi lain untuk memasak, yaitu listrik. Juga solusi yang lain dengan memangkas subsidi LPG 3 kg bukan menggantinya dengan kompor listrik, tapi membuat subsidi LPG 3 kg benar-benar tepat sasaran untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, ujar Fabby (kumparan.com, 18/1/2021).

Selain hal pengaturan dan distribusi, ternyata permasalahan pemerintah adalah bagaimana caranya untuk bisa membangun kilang secepatnya serta memberantas para mafia gas sampai tuntas. Karena salah satu penyebab terus membengkaknya impor gas adalah karena masih gagal dan selalu tertundanya pembangunan kilang di negeri ini. Anggota Tim Reformasi & Tata Kelola Migas (2014-2015), Fahmi Radhi melihat adanya intervensi sistemik yang dilakukan mafia gas yang secara kuat mempengaruhi kebijakan atas pencegahan pembangunan kilang tersebut (cnbcIndonesia.com, 18/12/2019).

Listrik adalah kebutuhan yang vital, sama vitalnya akan kebutuhan terhadap air dan api. Dan sudah semestinya ketersediaan listrik ini menjadi perhatian utama pemerintah kepada masyarakat. Menjamin listrik dengan harga yang murah bahkan gratis dan bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, baik yang kaya ataupun miskin. 

Di dalam sistem kapitalis yang sekarang dianut oleh pemerintah membuat  hal tersebut sulit untuk diterapkan. Seringnya pemerintah abai bahkan lepas tangan dari tanggung jawabnya untuk bisa menjamin seluruh kebutuhan rakyatnya, termasuk untuk urusan listrik ini. Rakyat masih harus membayar cukup mahal agar bisa mendapatkan fasilitas listrik yang memadai. Begitu vitalnya listrik ini, hingga pengelolaan dan pemilikannya tidak boleh menjadi milik swasta atau sebuah korporasi, apalagi asing, tetapi mutlak harus menjadi milik negara. Sehingga bisa dimaksimalkan penggunaannya untuk kemaslahatan rakyat banyak, bukan hanya untuk segelintir kelompok saja.

Berbeda dengan sistem Islam, dimana dalam pandangannya bahwa listrik termasuk dalam kepemilikan umum dan juga sebagai kebutuhan dasar yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara. Listrik yang digunakan sebagai sebagai bahan bakar masuk dalam kategori ‘api (energi)’ yang merupakan milik umum. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api (energi).” (HR. Abu Dawud). 

Barang-barang tambang seperti migas, batubara, emas, perak, tembaga, timah, dan lain sebagainya adalah termasuk kepemilikan umum. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadist dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia meminta kepada Rasulullah Saw untuk diperbolehkan mengelola tambang garam. Lalu Rasulullah Saw memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air mengalir.” Rasulullah Saw kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”. 

Tindakan Rasul Saw yang membatalkan pengelolaan tambang yang sangat besar (bagaikan air yang mengalir) menunjukkan bahwa barang tambang yang jumlahnya sangat besar tidak boleh dimiliki oleh pribadi, karena tambang tersebut milik umum. Sehingga bisa kita lihat bahwa solusi konversi kompor gas ke kompor listrik adalah solusi yang pragmatis. Solusi tambal sulam yang selalu dilontarkan pemerintah untuk mengatasi sebuah permasalahan, tetapi justru selalu menimbulkan permasalahan baru. Tidak melihat sebuah persoalan yang menimpa negeri ini sejatinya adalah dikarenakan penerapan sistem buatan manusia, dimana sistem tersebut sarat dengan kepentingan dan hawa nafsu segelintir orang yang sedang berkuasa. Wallahu a’lam bishshowab.


Oleh Anjar Rositawati

Posting Komentar

0 Komentar