THR: Drama Tahunan Antara Penguasa, Pengusaha dan Buruh


Awal tahun 2021 lalu, buruh dan pekerja dibuat resah lantaran rencana Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) yang memberikan pilihan kepada perusahaan untuk mencicil atau membayar penuh tunjangan hari raya (THR). Sebelumnya, Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang Dan Kulit (SP TSK SPSI) melalui Ketua Umum Pimpinan Pusat, Roy Jinto menolak keputusan yang pernah diberlakukan di tahun 2020 lalu tersebut (CNNIndonesia.com, 21/3/2021).

Akhirnya, pada tanggal 12 April 2021 terbit Surat Edaran Menaker Nomor M/6/HK.04/IV/2021 Tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Sayangnya, SE tersebut tidak menyelesaikan masalah antara pengusaha dan buruh. 

Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, aturan tersebut dinilai sangat sulit dilaksanakan bagi perusahaan yang tidak mampu membayarkan THR. Hal ini akibat situasi perusahaan yang belum kondusif.

Dalam poin 1 SE tersebut terdapat klausa yang ambigu. Dia menilai klausa itu sangat membingungkan dan sangat sulit dilaksanakan oleh perusahaan. Karena, intinya hanya mengubah waktu pembayaran dari H-7 ke H-1. Dia sangat menyayangkan, karena di poin tersebut pemerintah tidak memberi kesempatan kepada perusahaan yang tidak mampu untuk mencicilnya. 

Di sisi lain, kaum pekerja mempertanyakan mengapa negara justru melonggarkan perusahaan yang sudah beroperasi, tetapi akan membayar THR dengan dicicil? Tentu, hal tersebut sangat wajar. Karena, THR merupakan hak mereka. Menurut Roy Jinto, kondisi tahun ini jauh berbeda dengan tahun 2020 lalu. Dia dan kaum buruh menyayangkan pemerintah menjadikan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk membuat aturan-aturan yang sangat merugikan kaum buruh (CNNIndonesia.com, 21/3/2021).

Sejatinya, "drama" pembayaran THR yang terjadi tiap tahun tidak akan pernah berakhir bahagia. Mengapa? Karena, pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab tidak sepenuhnya hadir memberi solusi terbaik.

Permasalahan THR seharusnya memberi rasa keadilan bagi pengusaha maupun para pekerja. Bukan memberi peluang kelonggaran bagi pengusaha yang akan merugikan para pekerja atau malah memaksa perusahaan dalam kondisi terpuruk untuk memenuhi dan menjatuhkan denda apabila tidak menunaikannya. 

Hasil kajian Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan (Barenbang Naker) menyebutkan sebanyak 40,6 persen responden mengaku kondisi perusahaannya sangat merugi di masa pandemi Covid-19. Sementara 47,4 persen responden menjawab merugi (merdeka.com, 25/11/2020).

Harga bahan baku benang juga tidak terkendali. Pada bulan Januari 2021 bahan baku naik sampai 30%. Kenaikan harga bahan baku tersebut, tidak sejalan dengan harga jual di pasaran. Contoh, polyester dari Rp21 ribu per kilogram sekarang mencapai Rp29 ribu (detik.com, 11/3/2021).

Oleh karena itu, harusnya pemerintah melakukan verifikasi terhadap perusahaan mana yang telah pulih dan perusahaan mana yang mengalami kerugian. Klasifikasi diperlukan agar pengusaha dan pekerja merasa sama-sama berlapang dada memberi/menerima THR penuh atau terpaksa dicicil.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan bahwa terkait mekanisme bipartit THR dicicil, harusnya didahului dengan membuka laporan keuangan perusahaan yang rugi dalam 2 tahun berturut-turut (tempo.co, 11/4/2021). 

Selain itu, pemerintah tentunya harus membuat regulasi yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Sudah jadi pemahaman umum bahwa selama ini paradigma yang dianut bangsa Indonesia adalah sistem ekonomi kapitalisme. Oleh karenanya, kebijakan yang dilahirkan dari kapitalisme, tidak akan pernah menguntungkan rakyat.

Pemerintah juga harus menjaga stabilitas ekonomi agar perusahaan mudah mendapatkan bahan baku yang berkualitas tapi dengan harga murah. Sehingga, roda perusahaan bisa berjalan normal. Namun fakta hari ini berbicara, aturan yang ada membuat buruh dan pengusaha lokal terutama, terpuruk.

Dilansir dari laman kontan.co.id, 2/3/2020, Sri Mulyani mengatakan bahwa hampir 20% hingga 30%. Bahkan untuk industri tertentu bisa 50% bahan bakunya berasal dari Cina. Tentu fakta tersebut sangat mempengaruhi produksi apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini.

Sebaliknya, sistem kapitalisme memberi perhatian khusus pada pengusaha yang bermodal besar. Sudah barang tentu perusahaan raksasa yang dimaksud berasal dari kalangan swasta dan asing. Sehingga, jangan sampai perusahaan tersebut memanfaatkan situasi pandemi berlepas tangan dari kewajibannya membayar hak pekerja, yakni THR. 

Sayangnya, penguasa yang lahir dari rahim kapitalisme jarang sekali yang peduli pada nasib rakyat. Berkebalikan dengan sistem Islam dalam menjamin kesejahteraan semua warga negara. Hal ini disebabkan aturan Islam bersandar pada ketentuan Al Quran dan assunnah. Dalam sistem Islam, tidak ada yang namanya THR. Tetapi, bisa dipastikan seluruh rakyat mendapatkan jaminan semua kebutuhannya, sepanjang waktu.

Negara yang mengadopsi sistem Islam menjamin kebutuhan dasar dan sekunder setiap individu warga negara dengan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya, bagi pria dewasa yang mampu. Jika ada warga yang mampu bekerja, tetapi tidak mempunyai modal usaha, maka bisa mengadakan kerja sama dengan sesama warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Bisa juga dengan akad qardh (utang), ataupun hibah (pemberian secara cuma-cuma). 

Bagi warga yang tidak mampu bekerja seperti anak yatim piatu, wanita, orang tua ataupun orang berkebutuhan khusus, atau tidak ada keluarga yang bisa menanggungnya, maka kerabat atau tetangga dekat berkewajiban untuk membantunya. Jika tidak ada, maka negaralah yang akan menanggungnya. 

Sistem Islam memiliki mekanisme pasar yang sangat ideal. Negara akan menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Taubah: 34), riba, monopoli harga dan barang, serta penipuan. Dalam menetapkan standar gaji pekerja, Islam menentukan berdasarkan manfaat tenaga yang diberikan pekerja, bukan living cost terendah. Oleh sebab itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan.

Dalam aturan Islam, akad ijarah antara pekerja dan pengusaha sudah diatur dalam syariat Islam. Besaran upah kerja, jenis pekerjaan, dan waktu kerja merupakan akad yang ditetapkan berdasarkan keridaan kedua belah pihak. Jangan sampai ada yang merasa terpaksa, apalagi dirugikan. Jika terdapat akad pemberian THR atau tunjangan lain, maka pengusaha wajib memberikannya sesuai kesepakatan kerja yang telah disepakati di awal.

Apabila terjadi konflik antara pekerja dan majikan terkait upah, maka pakar (khubara’) lah yang menentukan upah sepadan. Pakar tersebut dipilih oleh kedua belah pihak. Jika masih ada sengketa, negaralah yang memilih pakar tersebut dan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan sangat pakar.

Dengan mekanisme seperti ini, maka kondisi perekonomian rakyat bisa stabil. Namun, semua itu hanya bisa dilaksanakan dengan penerapan syariat Islam secara kaffah. Sehingga, kesejahteraan bagi seluruh rakyat bisa terwujud, wallahualam bishawab.


Oleh Anggun Permatasari


Posting Komentar

0 Komentar