Kemendikbud tengah menggodok Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 dan Revisi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Rencananya, peta jalan pendidikan ini akan disahkan menjadi Peraturan Presiden pada Mei-Oktober mendatang. Dalam PJPN tersebut, dikatakan visi pendidikan Indonesia adalah, “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.”
Dalam draft rumusan paling mutakhir tertanggal 11/12/2020, tidak ditemukan kata ‘agama’ dari Visi Pendidikan Indonesia 2035. Justru ‘budaya’ masuk sebagai acuan nilai mendampingi Pancasila. Tidak adanya kata ‘agama’ dalam draft PJPN 2020-2035 adalah bentuk nyata dari sekularisasi pendidikan di Indonesia. Bahkan yang terjadi adalah de-islamisasi dan de-agamisasi dalam dunia pendidikan.
Namun, masalah ini bukan hanya soal ada atau tidaknya frasa ‘agama’, melainkan soal paradigma pendidikan. Ketika frasa ‘agama’ tidak ada, itu berarti agama telah ditiadakan di dalam seluruh pembahasan mengenai pendidikan. Mulai dari analisis masalah, penetapan solusi, hingga bangunan struktur kurikulum dan proses pendidikan.
Padahal, visi pendidikan menurut UU 20/2003 tentang Sisdiknas masih menyebutkan tujuan pendidikan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan visi seperti ini saja, implementasinya masih jauh dari pembentukan manusia yang mempunyai keimanan dan ketakwaan tinggi dalam makna hakiki. Bahkan nilai-nilai demokrasi dan HAM malah menjadi acuan dalam proses pendidikan. Visi mewujudkan manusia beriman dan bertakwa menjadi tidak relevan karena pelajaran agama hanya diberikan 2-3 jam dalam seminggu. Ditambah, penyampaian pelajaran agama lebih bersifat teoretis.
Jika saat ini visi pendidikan Indonesia dalam rancangan PJPN tidak lagi mencantumkan tujuan mencetak manusia yang beriman dan bertakwa, bisa dibayangkan bagaimana arah pendidikan bangsa ini ke depannya? Tentu akan semakin jauh dari nilai-nilai agama. Dengan pendidikan seperti sekarang ini saja, berbagai problematikan remaja seperti seks bebas, tindak asusila, kriminalitas, tawuran, narkoba dan lain-lain datang bertubi-tubi, apalagi nanti bila benar-benar menyingkirkan agama.
Problematika pasti akan makin mengerikan. Upaya sekularisasi dalam dunia pendidikan makin massif dan sistematis. Sebenarnya, wacana untuk penghapusan pelajaran agama telah dicetuskan sejak 2017 oleh Muhajir Effendy, Mendikbud saat itu. Juga oleh Setyono Djuandi Darmono, pendiri President Unversity, pada 2019 menyebut bahwa pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah, cukup diajarkan orang tua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah. Dengan alasan, jika agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sering dijadikan sebagai alat politik dan memicu intoleransi.
Tidak adanya perhatian terhadap kesejahteraan guru agama pun terlihat. Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) mengancam akan melakukan aksi mogok mengajar secara nasional, sebagai bentuk protes kepada negara karena tidak dimasukkannya formasi guru pendidikan agama dalam rekrutmen satu juta guru melalui skema pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) pada 2021.
Pelajaran agama yang ada sekarang disusupkan pemahaman liberal melalui penyusunan kurikulum berbasis moderasi tentang paham pluralisme dan multikulturalisme. Kurikulum sebagai elemen penting dalam pendidikan saat ini seperti tengah disasar berbagai pihak yang berkepentingan. Pengawasan terhadap materi kurikulum yang diajarkan di pesantren-pesantren, berujung pelarangan pembahasan fiqih jihad dan khilafah. Menegaskan bahwa arah pendidikan bangsa ini yang semakin sekuler dan ketakutan terhadap ideologi Islam.
Pendidikan sebagai proses penanaman nilai yang terstruktur sangat menentukan produk generasi output pendidikan. Karena peran strategis ini, kurikulum menjadi sasaran pembentukan pribadi liberal. Kalau tujuan akhir pendidikan adalah perubahan perilaku, tentunya hasil dari penanaman nilai sekuler liberal dalam sistem pendidikan adalah terbentuknya sosok liberalis yang tidak ingin terikat aturan agama, bebas tanpa kendali.
Konsepsi seperti ini jelas-jelas telah menyingkirkan agama dari arena pendidikan.
Maka, umat harus tegas menolak disahkannya draf sangat sekuler tersebut. Sebab, bila dibiarkan, pendidikan makin tak jelas arah. Terlihat pula adanya kepentingan asing dalam rancangan peta jalan pendidikan ini. Dikutip dari Republika.co.id (16/11/20), dalam penyusunan peta jalan pendidikan 2020-2035 ini, Kemendikbud juga menerima masukan dari organisasi dunia seperti Bank Dunia dan The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Kapitalisme global mengaruskan kebijakan pendidikan yang berubah-ubah mengikuti logika pasar bebas. Dampaknya, pengelolaan pendidikan semakin jauh dari tanggung jawab negara dan menyerah pada mekanisme pasar.
Peta Jalan Pendidikan dalam Sistem Islam
Visi Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, serta sistematis untuk menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdullah dan khalifah Allah di muka bumi. Asas pendidikan dalam Islam berlandaskan Paradigma Islam, yaitu akidah, syariah dan mabda Islam. Dengan membentuk kerangka berpikir bahwa manusia adalah hamba Allah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya kelak. Hal ini menjadikan siapa pun yang belajar di dalamnya akan menjadi sosok yang membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah (penghambaan pada penjajah, jabatan, pekerjaan, materi, takhayul dan sebagainya).
Pendidikan dalam Islam bertujuan menguasai tsaqafah Islam, membentuk syakhsiyyah islamiyyah, juga menguasai ilmu kehidupan. Yaitu membangun dan memajukan peradaban. Negara bertanggung jawab penuh dalam mengarahkan potensi peserta didik dan calon intelektual, serta mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Sebab, pendidikan merupakan hajat asasi atau kebutuhan pokok publik. Rasulullah SAW bersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Penyelenggaraan pendidikan dalam Daulah Khilafah akan mencetak generasi pemimpin visioner dengan kedalaman keimanan, kepekaan nurani, ketajaman nalar, kecakapan berkarya, keluasan wawasan, kemandirian jiwa, kepedulian sosial, hingga kemurnian kreativitas.
Beberapa teknis kebijakan pendidikan oleh daulah antara lain berupa: Pertama, pendanaan yang cukup dalam pembangunan sarana prasarana pendidikan. Perhatian khalifah akan tertuju pada kesejahteraan tenaga pendidik dan fasilitas sekolah, beserta sarana pendidikan seperti laboratorium dan alat-alatnya, perpustakaan, auditorium, observatorium, teknologi informasi, dan lain-lain. Individu dan swasta pun didorong untuk mendukung pendanaan, antara lain mewakafkan sarana pendidikan sebagai keutamaan amal jariah. Khilafah akan memberi dukungan pendanaan berbasis sistem ekonomi Islam dengan jumlah pendanaan yang melimpah mengingat pendidikan adalah kebutuhan pokok umat.
Kedua, ilmu yang dipelajari harus pada satu kesadaran prioritas dan urgensi dalam pandangan hukum syariat. Khalifah akan memperbanyak program studi dan mencetak SDM unggul sebagai asset yang mampu menyelesaikan masalah umat.
Ketiga, tenaga pendidik berkompeten. Menyediakan sekolah dengan tenaga pendidik berkualitas terbaik di seluruh penjuru wilayah daulah agar tidak ada warga negara khilafah Islamiyah yang tidak terdidik.
Keempat, penelitian yang dilakukan mengedepankan skala prioritas yang paling urgen dengan persoalan bangsa. Seperti kemandirian pangan, bidang kesehatan baik obat maupun alat kesehatan, ketersediaan lapangan pekerjaan, industri pertahanan dan keamanan, penataan infrastruktur dan transportasi dan sebagainya. Target capaiannya harus sampai pada terselesaikannya persoalan umat. Berbagai penelitian yang ada langsung diberdayakan untuk urgensi persoalan bangsa terkait teknologi, ide inovatif, bibit unggul, makanan bergizi, efisiensi energi dan sebagainya. Pemberian sarana penelitian yang layak akan menjadi lokomotif para peneliti dalam upaya menyelesaikan problem umat yang paling mendesak.
Kelima, iklim yang kondusif (jawwil iman). Untuk menciptakan iklim yang kondusif negara harus menutup tempat-tempat maksiat dan berbagai aktivitas yang cenderung menyia-nyiakan waktu dan potensi umat.
Semua berjalan optimal karena peran utama negara dalam membina akidah umat, menetapkan kebijakan, menyediakan sarana prasarana, pendanaan yang cukup serta suasana yang mendukung keoptimalan tersebut. Disertai kesadaran individu dalam beramal, serta adanya muhasabah/koreksi oleh masyarakat dan partai politik.
Menuju Peta Jalan Pendidikan yang Sahih
Dalam menyelesaikan problem pendidikan bangsa ini, sudah seharusnya mengambil solusi dari aturan Allah SWT dan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Konsekuensi keimanan seorang Muslim mengharuskan dirinya menggunakan aturan Islam dalam mengatur seluruh aspek kehidupannya. Mengapa kita harus menggunakan sistem lain yang telah terbukti menyengsarakan dan menghancurkan? Sementara Allah sudah menyiapkan aturan yang tinggal diterapkan dan tentu saja akan membawa kesejahteraan dan kebaikan?
Allah SWT telah memberikan pertanyaan retorik dalam Al-Qur’an Surah al-Maidah ayat 50, yang artinya, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” Semestinya tidak ada lagi keraguan pada diri umat untuk segera mengganti tatanan kehidupan ini, termasuk pendidikan harus berlandaskan tatanan Islam.”
Pendidikan dalam perspektif Islam merupakan upaya yang dilakukan untuk membentuk manusia berkepribadian Islam, menguasai tsaqafah serta ilmu kehidupan (sains dan teknologi). Pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hidup Islam. Teknologi hanya membuat hidup semakin mudah, tapi agama membuat hidup jadi terarah dan berkah.
Peta pendidikan yang harus dirancang umat ini adalah peta jalan yang sahih, demi mewujudkan sistem pendidikan Islam dalam rangka menghasilkan kualitas generasi terbaik yang disebut Al-Qur’an sebagai khairu ummah. Wallaahu Alam bisshowab.[]
Oleh Asih Pertiwi
0 Komentar