Dunia belum bisa bernapas lega atas pandemi covid-19. Sudah setahun lebih berlangsung, dunia kembali dikejutkan dengan Tsunami Covid-19 yang terjadi di India. Dilansir dari Replubika.co.id (01/05/2021), menurut Pusat Covid-19 Johns Hopkins yang berbasis di AS, sejauh ini India telah melaporkan 17,3 juta kasus dengan 195.123 kematian. Selama enam hari berturut-turut, negara itu melaporkan 300.000 infeksi dan lebih dari 2.000 kematian. Tetapi para ahli memprediksi ada banyak kasus yang tidak dilaporkan di berbagai negara bagian.
Ledakan kasus yang terjadi di India ini menyebabkan fasilitas kesehatan yang dimiliki kewalahan menangani pasien covid-19. Tidak hanya di fasilitas kesehatan, di krematorium juga tidak henti-hentinya terus melakukan kremasi jenazah Covid-19, bahkan terjadi antrean panjang jenazah yang menunggu untuk dikremasi.
Diberitakan KOMPAS.com (24/04/2021), lonjakan kasus tersebut sebagian dikaitkan dengan varian baru virus corona yang menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) pertama kali terdeteksi di India musim gugur lalu. Varian baru virus corona itu, oleh WHO diberi nama B.1.617 atau disebut juga ‘mutan ganda’. Faktor lain di luar varian baru virus corona, yang disebutkannya adalah kepadatan penduduk dan rumah multi generasi dengan ruangan berventilasi buruk yang banyak di India.
Seperti diketahui, India adalah negara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 1,3 miliar jiwa dengan kondisi kemiskinan yang juga cukup tinggi sehingga ini menjadi salah satu penyebab tingginya penyebaran Covid-19. Kondisi di India dengan penduduk yang padat disertai kemiskinan dan mobilitas yang masih tinggi, hampir serupa dengan kondisi Indonesia.
Harusnya mendorong pemerintah Indonesia agar mengambil kebijakan lebih komprehensif untuk mencegah hal serupa. Ledakan Covid-19 yang terjadi di India pun juga disebabkan pemerintah India yang terlalu percaya diri dapat menang melawan virus dengan membangun kapasitas dalam waktu singkat serta program vaksinasi terbesar di dunia dengan meluncurkan dua vaksin "Made in India".
Namun di sisi lain pemerintahnya justru juga melonggarkan aturan larangan berkerumun. Mereka mengizinkan dilakukannya pemilihan majelis di lima provinsi dan juga acara keagamaan umat Hindu di tepi Sungai Gangga sehingga mengundang lautan manusia untuk berkerumun dalam jumlah besar. Meskipun terdapat himbauan untuk tetap melaksanakan protokol kesehatan namun praktiknya malah sebaliknya.
Kebijakan mendua ini juga sebenarnya terjadi di Indonesia. Saat ini pemerintah menetapkan kebijakan larangan mudik namun dengan kontrasnya pemerintah tetap memperbolehkan wisata bahkan terkesan seperti menggiatkan. Memperbolehkan kerumunan di tempat perbelanjaan yang sebagaimana kita ketahui akan sangat padat saat mendekati hari raya. Juga masih segar diingatan kita bagaimana perkawinan seleb tanah air justru dihadiri dan diapresiasi petinggi-petinggi negara.
Belum lagi juga adanya safari politik yang memancing kerumunan justru tetap diperbolehkan. Alih-alih belajar dari kasus Covid-19 India, Indonesia justru kecolongan masuknya penumpang dari India yang lolos dengan bantuan mafia karantina. Hal ini menunjukkan tidak adanya ketegasan dalam penanganan Covid-19.
Pemerintah Indonesia harusnya bisa mengambil pelajaran dari kasus di India. Saat ini yang dibutuhkan adalah tindakan yang tegas dan komperhensif dalam melawan Covid-19. Sayangnya kita saat ini berjalan dengan sistem kapitalis, justru ekonomi menjadi prioritas utama. Bagaimana bisa ingin menuntaskan virus namun rakyat terpaksa berada di kerumunan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Memang amat jelas dalam karakter kapitalis jaminan kesehatan rakyat bukan perihal melindungi nyawa manusia namun untuk melindungi faktor produksi agar ekonomi tetap berjaya.
Dalam Islam satu nyawa saja sangat berharga dan tentu saja saat terjadi pandemi seperti Covid-19 ini, melindungi keselamatan rakyatlah yang menjadi prioritas bukan ekonomi. Islam sebagai agama sekaligus sistem kehidupan yang berasal dari Allah SWT, mengatur segala lini kehidupan dan menjadi solusi atas segala permasalahan tidak terkecuali dengan masalah wabah. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda “Maka, apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari darinya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid). Dalil tersebut menjelaskan upaya preventif untuk mencegah penyebaran wabah secara total melalui karantina wilayah.
Keberhasilan Islam dalam menangani wabah juga telah dibuktikan oleh Khalifah Umar bin Khathab RA yang saat kepemimpinannya pernah terjadi wabah ‘Thaūn Amwās yang menyerang wilayah Syam. Keberhasilan Khalifah Umar dalam menangani wabah dikarenakan sistem yang diterapkannya. Wilayah yang terkena wabah segera mungkin dikunci dan diurus hingga tuntas. Sedangkan kehidupan di luar wabah tetap berjalan secara normal.
Negara juga tidak perlu khawatir dengan masalah ekonomi karena sistem keuangan yang ada adalah sistem yang kuat dan stabil dengan baitul mal. Adanya baitul mal menjadikan negara memiliki cadangan harta untuk masalah mendesak dan disalurkan dengan tepat. Meskipun baitul mal kosong, tapi adanya umat yang hanya mengharapkan ridha Allah akan senantiasa menginfakan hartnya untuk membantu keselamatan umat.
Kesehatan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Khilafah wajib menyediakan fasilitas kesehatan yang layak, tenaga medis profesional dan terampil yang telah mendapatkan pendidikan yang diselenggarakan oleh negara, serta negara juga menyelenggarakan penelitian untuk menciptakan teknologi dan inovasi di bidang kesehatan.
Untuk menerapkan sistem beserta aturan Islam tersebut, maka diperlukanlah negara dengan seorang khalifah yang menerapkan segala aturan yang diturunkan oleh Sang Pencipta, Allah SWT, yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk ciptaan-Nya. Wallaahu a’lam bishawab.[]
Oleh Tiara Mailisa
0 Komentar